Pertanian Ramah Gambut Tingkatkan Pembangunan Desa
Pengembangan pertanian di lahan gambut dengan bijak dan benar dapat membangkitkan ekonomi masyarakat dan mendorong pembangunan desa.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revitalisasi dan pemanfaatan lahan gambut terus dilakukan melalui program desa peduli gambut. Ekonomi kerakyatan dan pembangunan desa pun dapat didorong melalui sektor pertanian.
Hingga Juni 2020, terdapat 525 desa peduli gambut (DPG) di Indonesia. Desa-desa tersebut berada di Kalimantan Tengah (147), Riau (123), Kalimantan Barat (90), Sumatera Selatan (73), Jambi (44), Kalimantan Selatan (36), dan Papua (12).
Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri menyampaikan, terdapat 366 DPG yang dianalisis datanya berdasarkan hasil pengukuran indeks desa membangun tahun 2018 dan 2019. Hasil analisis menyimpulkan, terdapat penurunan besar pada kategori desa tertinggal dan peningkatan besar pada kategori desa berkembang.
Mereka memiliki demplot pertanian alami dan tanpa bakar.
Menurut Myrna, banyaknya status peningkatan desa tersebut tidak terlepas dari program sekolah lapang petani yang diinisiasi oleh BRG pada 2018. Program ini didesain dengan sebuah sistem kurikulum berbasis pengolahan lahan gambut tanpa bakar, teknik pertanian organik berkelanjutan, dan pelopor kampanye perlindungan ekosistem gambut.
”Ada 799 petani yang sekarang terlibat sekolah lapang petani. Setiap provinsi memiliki kadernya sendiri dan mereka memiliki demplot pertanian alami dan tanpa bakar,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Ekonomi Kerakyatan dalam Transformasi Desa Gambut”, Jumat (19/6/2020).
Dengan pendampingan BRG, petani bisa memproduksi berbagai macam produk di lahan gambut yang bekas terbakar. Selain memberikan hasil ekonomi, warga juga mulai mengurangi aktivitas pengolahan lahan dengan cara membakar.
Meski demikian, Myrna menegaskan bahwa pihaknya dan warga tidak membuka lahan gambut baru. Lahan gambut yang direvitalisasi merupakan lahan yang dulunya dialokasikan untuk sektor pertanian atau persawahan.
”Lahan gambut ada yang memiliki fungsi lindung dan budidaya. Pertanian yang sering dilakukan masyarakat pada umumnya dilakukan di lahan gambut tipis yang berada di kawasan budidaya,” ujarnya.
Pertanian yang sering dilakukan masyarakat pada umumnya dilakukan di lahan gambut tipis yang berada di kawasan budidaya.
Berdasarkan data BRG, Indonesia memiliki 13 juta hektar ekosistem gambut dan 2,67 juta hektar di antaranya mengalami kerusakan. Kondisi umum kerusakan gambut itu, antara lain, terbakar, berkanal, tutupan lahan terbuka, tinggi muka air tanah di atas 0,4 meter, dan tereksposnya sedimen berpirit.
Bupati Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan Abdul Wahid yang turut menjadi narasumber mengatakan, luas lahan gambut di wilayahnya seluas 25.672 hektar. Adapun 6.273 hektar di antaranya merupakan prioritas restorasi gambut berkanal yang akan dimaksimalkan melalui pengembangan DPG.
Berdasarkan Peraturan Bupati Hulu Sungai Utara Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penetapan Kawasan Pedesaan, terdapat 14 desa di enam kecamatan yang mendapat dukungan dari BRG untuk mengembangkan restorasi gambut. Sektor yang dikembangkan desa tersebut yakni perikanan, pertanian, dan kerajinan.
Pengembangan restorasi gambut juga membuat luas kawasan pertanian mencapai 33.880 hektar atau 38,37 persen dari luas wilayah Hulu Sungai Utara. Setiap tahun luas panen dapat mencapai 26,084 hektar dengan produksi sebanyak 143.403 ton.