Legenda Bajingan Manis nan Empuk dari Magelang
Bajingan telah sekian lama hadir di tengah masyarakat di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Namun, tidak perlu ditakuti, tidak perlu dihindari.
Bajingan telah sekian lama hadir di tengah masyarakat di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Namun, tidak perlu ditakuti, tidak perlu dihindari. Cukup hadapi dengan berbekal piring, sendok, atau garpu. Lalu, kunyahlah dan nikmati kesedapan kuliner khas yang satu ini.
Menghadapinya tidak akan pernah menjadi perkara yang susah karena bajingan yang dimaksud adalah makanan khas desa berbahan utama ketela pohon atau singkong. Lepas dari namanya yang terkesan ”gahar”, bajingan adalah hidangan manis untuk dipandang dan disantap. Berwarna putih agak kekuningan, bajingan yang empuk dan hangat seusai dimasak otomatis akan mengeluarkan aroma wangi nan sedap.
Kudapan ini dibuat dari potongan singkong yang dimasak dalam cairan nira. Oleh warga Kecamatan Borobudur yang dahulu memiliki banyak pohon kelapa dan bekerja sebagai perajin gula merah, bajingan biasa dibuat di tengah proses memasak nira menjadi gula merah.
Baca juga : Kue Tradisional yang Tetap Eksis
Tak ada seorang pun yang mengetahui asal muasal nama bajingan. Di tengah ketidaktahuan tersebut, di kalangan masyarakat akhirnya muncul berbagai versi cerita, seturut pemikiran masing-masing.
Sugiyono (67), warga Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, mengatakan, menurut kisah dari orangtuanya dan banyak orang lain yang lebih tua darinya, nama bajingan muncul karena warga di desanya—yang sebagian besar adalah penderes nira—kesal karena nira dari kelapa, yang ditampung dalam bumbung bambu, sering kali habis disedot tupai atau yang juga disebut bajing. Kejengkelan seraya muncul karena itu membuat produksi gula merah menjadi tidak optimal.
”Di tengah kejengkelan tersebut, warga biasanya kemudian menyebut bahwa kondisi nira yang tinggal tersisa sedikit itu sebagai bajingan,” ujarnya. Pada kondisi itu, sulit diketahui lebih jauh, apakah warga sedang mengumpat atau sekadar menyebut nira sebagai produk alam yang erat terkait bajing.
Baca juga : Klepon Merespons Zaman
Versi lain menyebutkan, nama bajingan sekadar muncul untuk menyebut nira yang disisakan oleh bajing. ”Karena nira itu adalah ’produk sisa’ bajing, akhirnya warga menyebutnya sebagai bajingan,” ujar Agus Prayitno (35). Cerita tentang asal-usul nama bajingan tersebut sering kali didengar dari nenek dan kakeknya.
Sehari-hari, Agus adalah pelaku wisata pemilik warung Gubuk Kopi dan anggota kelompok sadar wisata (pokdarwis) Desa Karangrejo. Kendatipun nama bajingan terdengar kasar, Agus sama sekali tidak berniat mengganti nama produk makanan tersebut saat memperkenalkannya kepada tamu. ”Saat saya mempromosikan bahwa ada makanan tradisional bernama bajingan, banyak tamu justru tertarik dan ingin tahu bagaimana proses membuatnya,” ujarnya.
Di warungnya di Gubuk Kopi, Agus sering menerima kedatangan rombongan wisatawan. Di sanalah dia membuat paket wisata gula merah, di mana dalam paket itu ia menunjukkan proses pembuatan gula merah, serta terkadang juga menerima permintaan membuat makanan tradisional berbahan singkong dan gula merah.
Sebaliknya, Ida Sutomo (60), pemilik Hotel Rajasa dan rumah produksi makanan berbahan ketela, Rumah Ketela di Desa Borobudur, mengaku agak malu untuk memperkenalkan bajingan kepada para tamu.
”Rasanya terlalu kasar untuk mengatakan bajingan kepada tamu. Apalagi mereka yang tidak biasa kami temui setiap hari,” ujarnya. Setelah bertanya kepada sejumlah warga lainnya, dia pun mendapatkan ide nama baru, yaitu ”cemplung badheg”. Nama ini berasal dari pembuatannya, di mana bajingan dibuat dari potongan ketela yang dicemplungkan dalam nira, yang dalam bahasa Jawa disebut badheg.
Berkurang
Sugiyono mengatakan, bajingan sebenarnya adalah makanan yang diproduksi sebagai ”sambilan” semata. Warga Kecamatan Borobudur membuat bajingan sebagai pekerjaan sambil lalu sembari menunggu nira mengental menjadi bahan untuk gula merah. Itu untuk mengoptimalkan proses pembuatan gula merah, di mana dalam satu kali kegiatan, mereka bisa mendapatkan dua hasil sekaligus.
”Ibarat pepatah, sambil menyelam kita minum air,” ujar Sugiyono, tertawa.
Bajingan, menurut dia, biasa dikonsumsi sebagai menu sarapan. Singkong sebagai penyumbang karbohidrat dan manis nira sebagai penyumbang kalori cukup memberikan rasa kenyang dan energi untuk beraktivitas setengah hari.
Namun, seiring waktu, semuanya berubah. Karena jumlah pohon kelapa makin berkurang, banyak ditebang untuk kebutuhan rumah pribadi, homestay, ataupun hotel, para penderes nira pun terus berkurang. Di Desa Karangrejo saja, jumlah penderes nira, yang dahulu sekitar 30 orang, dalam 15 tahun terakhir menyusut dan kini tinggal tersisa kurang dari 12 orang. Mengikuti kondisi itu, aktivitas membuat bajingan pun kian jarang dilakukan.
Baca juga : Wirausaha Surabaya Menolak Menyerah
Warga tidak lagi memaksakan diri melestarikan pohon kelapa. Pekerjaan sebagai penderes nira tidak lagi dianggap penting karena kini sudah tersedia banyak pilihan pekerjaan, termasuk pilihan berwirausaha mengikuti tren. Sarapan juga tidak lagi melulu bajingan karena banyak pilihan menu lain, mulai dari roti hingga nasi.
Sejak semula, karena banyak dibuat warga sendiri, bajingan memang tidak pernah ditemui dijual bebas seperti di pasar dan di toko jajanan. Aroma bajingan juga sulit ditemui di rumah-rumah. Ida Sutomo mengatakan, membuat bajingan di masa sekarang sulit dilakukan karena memperoleh air nira juga tidak mudah.
”Kalau memang ada pesanan membuat bajingan, saya biasanya harus memesan nira dari warga dahulu,” ujarnya. Karena sulit mendapatkannya di Desa Borobudur, Ida biasanya memesan nira dari Desa Wringinputih.
Tarumi (73), warga Desa Borobudur, mengatakan, membuat bajingan hanya sebatas kenangan masa lalu ketika masih memiliki sekitar 10 pohon kelapa dan masih menjalankan aktivitas membuat gula merah.
Baca juga : Deras Tetesan Nira di Tengah Badai Korona
Ketika itu, bajingan banyak dicari, dipesan para taruna yang menghabiskan waktu berakhir pekan di Kecamatan Borobudur ataupun tentara dan polisi saat mengamankan suatu acara. Di luar itu, bajingan acap kali dibuat berdasarkan keinginan sendiri atau untuk kebutuhan menyajikan hidangan bagi tamu. ”Bagi kami, bajingan adalah hidangan yang paling cepat bisa disiapkan karena kami pasti memiliki nira dan bisa mengambil singkong di kebun,” ujarnya.
Namun, sejak tahun 1985, hal itu tidak lagi dilakukannya. Ia tidak lagi memiliki pohon kelapa karena kebun yang semula dipakai untuk menanam pohon tersebut sudah dijual. Sama seperti warga lainnya, Tarumi, yang sudah lebih dari sepuluh tahun beralih profesi berjualan bahan pokok, merasa tidak lagi perlu memaksakan diri menanam pohon kelapa ataupun singkong. Aneka hidangan lain bisa langsung secepat kilat dihidangkan bagi tamu, kapan saja dibutuhkan.
Miskin inovasi
Penyuluh Pendamping Unit Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Magelang, Rini Wijayanti, mengatakan, pihaknya sering kali terjun ke lapangan untuk mendampingi pelaku UMKM, termasuk di antaranya pelaku usaha makanan tradisional.
Dari pengamatan dan pendampingan yang dilakukan di lapangan, banyak pelaku UMKM, terutama yang berbahan baku lokal, seperti singkong, masih memiliki sejumlah kekurangan, di antaranya kurang berinovasi, minim kreasi produk, dan tidak gencar berpromosi secara daring.
”Tidak semua pelaku usaha makanan itu melek teknologi. Dalam kegiatan pendampingan, saya sering kali harus terlibat mengajari mereka agar memiliki akun di media sosial,” ujarnya. Saat ini, jumlah pelaku usaha makanan tradisional sudah semakin sedikit. Oleh karena itu, para pelaku diharapkan juga terus berinovasi agar makanan tradisional terus ada, lestari di masyarakat.
Perlu ada inovasi dan usaha lebih agar makanan tradisional tetap bertahan, tidak sekadar dalam ingatan.
Untuk produk bajingan, misalnya, bisa ditambahkan keju dan disajikan seperti hidangan singkong Thailand. Chef de Partie Hotel Puri Asri, Magelang, Indah Suprapti, mengatakan, makanan tradisional, seperti getuk dan sawut, sering kali juga disajikan di hotel-hotel, seperti Hotel Puri Asri.
Namun, sebagian tamu, terutama dari kota-kota besar, seperti Jakarta, sering kali kurang berminat saat melihat. Makanan tradisional kerap dianggap asing dan aneh. Namun, setelah ditawari dan mencicipi, biasanya tamu-tamu tersebut justru beralih menyukai dan ingin mengonsumsinya kembali.
”Perlu ada cerita dan promosi lebih banyak sehingga makanan tradisional menjadi tren dan diminati banyak khalayak luas. Tidak saja dilakukan oleh hotel, promosi ini semestinya gencar dilakukan oleh pelaku usahanya sendiri,” ujarnya.
Perlu ada inovasi dan usaha lebih agar makanan tradisional tetap bertahan, tidak sekadar dalam ingatan. Sebenarnya, peluang mengangkat kembali makanan tradisional legendaris masih ada, termasuk bajingan yang manis dan empuk.