Mendagri Tunggu Proses di Mahkamah Agung soal Pemakzulan Bupati Jember
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, pihaknya baru dapat mengambil keputusan terkait pemakzulan Bupati Jember Faida setelah proses hukum di Mahkamah Agung selesai. Proses itu kini sedang bergulir di DPRD.
Oleh
Frans Pati Herin/Angger Putranto
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian di Ambon, Maluku, Jumat (24/7/2020), mengatakan, terkait pemakzulan Bupati Jember Faida, pihaknya baru dapat mengambil keputusan setelah proses hukum di Mahkamah Agung selesai. Proses pemakzulan itu kini sedang bergulir di DPRD Kabupaten Jember.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam Rapat Paripurna DPRD Jember pada Rabu (22/7/2020), disepakati penggunaan hak menyatakan pendapat untuk memakzulkan Faida yang dinilai melanggar sumpah jabatan. Dari total 50 anggota DPRD Jember, 44 orang hadir dalam rapat paripurna. Semua peserta rapat dari tujuh fraksi sepakat mengusulkan pemberhentian Faida sebagai bupati.
Menurut Tito, setelah proses politik di DPRD Jember, tahap selanjutnya adalah hasil keputusan pemakzulan itu diuji ke Mahkamah Agung (MA). Di MA, Faida juga akan diberi kesempatan membela diri hingga kemudian diambil keputusan. Mekanisme pemakzulan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana disebut dalam Pasal 80 undang-undang tersebut, setelah permintaan oleh DPRD disampaikan, MA diberi waktu paling lama 30 hari untuk menyidangkan dan memutuskan. Hasil uji MA itu kemudian diberikan kepada DPRD untuk ditindaklanjuti. Jika MA memutuskan bahwa kepala daerah melakukan pelanggaran, DPRD dapat melaporkan hal itu kepada Menteri Dalam Negeri.
”Nanti Mendagri akan memberikan keputusan berdasarkan pengujian dari Mahkamah Agung,” jelas Tito. Keputusan Mendagri paling lama 30 hari setelah menerima usulan pemberhentian dari pimpinan DPRD.
Mendagri akan memberikan keputusan berdasarkan pengujian dari Mahkamah Agung.
Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi menilai Bupati Jember melanggar sumpah jabatan dan peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, DPRD akan mengajukan permohonan fatwa pemberhentian Bupati Jember ke Mahkamah Agung.
Itqon mengatakan, unsur pimpinan DPRD Jember akan mengkaji putusan rapat paripurna bersama para ahli. Selanjutnya pimpinan DPRD Jember akan melengkapi persyaratan sebelum nantinya mengirim pengajuan fatwa ke MA.
”Secara administratif, DPRD tidak bisa memecat bupati. Pemecatan hanya bisa dilakukan Menteri Dalam Negeri sesuai fatwa MA. Oleh karena itu, permohonan kepada MA akan kami kirimkan segera, sesaat setelah kami rampung mengkaji putusan ini bersama para ahli. Jangan sampai keputusan ini gagal hanya karena urusan berkas yang tidak sempurna,” ungkap Itqon.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Rachmat Hidayat, menilai fenomena politik yang terjadi di Jember merupakan proses pendidikan politik yang baik. Proses yang terjadi selama ini menjadi bukti bahwa pendidikan demokrasi di tingkat daerah berjalan baik.
Fenomena politik yang terjadi di Jember merupakan proses pendidikan politik yang baik.
”Pemakzulan ini merupakan hak DPRD yang dilindungi konstitusi, sah, dan diperkenankan. Proses demokrasi ini merujuk pada checks and balances antara legislatif dan eksekutif,” ujarnya.
Namun, Rachmat menilai pemakzulan juga dilatarbelakangi konflik di tataran elite politik lokal. Kebuntuan komunikasi yang tak kunjung rampung membuat konflik ini terus bergulir.
”Kondisi ini membuat masyarakat Jember tidak beruntung. Pasalnya, daerah mereka diterpa badai politik lokal di tengah upaya penanganan pandemi Covid-19. Situasi ini tentu akan menyita energi pemerintah daerah yang sedang berupaya menangani pandemi,” ungkapnya.
Faida dan wakilnya, Muqit Arief, dilantik menjadi bupati dan wakil bupati Jember pada 17 Februari 2016. Belum genap setahun memimpin, 13 anggota DPRD Jember dari empat fraksi mendaftarkan usulan pelaksanaan hak interpelasi kepada Bupati Faida menyusul pergantian sekretaris DPRD Jember yang dinilai tidak sesuai prosedur perundang-undangan.
Pada akhir 2019, DPRD Jember kembali mengajukan interpelasi kepada Bupati. Kali ini terkait sengkarut kedudukan struktur organisasi dan tata kelola serta pengadaan barang dan jasa.
Agenda interpelasi semula dijadwalkan Jumat (27/12/2019). Namun, pada kesempatan tersebut Bupati Jember tidak hadir dan hanya mengirim surat untuk penjadwalan ulang. Suasana menjadi memanas seusai Bupati Jember menyebut agenda interpelasi itu sebagai hal yang tidak penting saat dimintai tanggapan oleh wartawan.
DPRD Jember akhirnya berembuk untuk mendorong dan mengusulkan hak angket. Dalam sidang paripurna hak angket, Senin (30/12/2019), dari 50 anggota DPRD, hanya empat orang yang tidak hadir. Semua anggota DPRD yang hadir sepakat melayangkan angket kepada Bupati Jember.
DPRD Jember akhirnya resmi menggulirkan ”Hak Angket Tata Kelola Pemerintah Kabupaten Jember Periode Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2019”. Dalam angket tersebut, ada lima kebijakan Pemerintah Kabupaten Jember yang ingin diselidiki oleh DPRD Jember.
Kelima materi penyelidikan tersebut ialah hilangnya kuota formasi CPNS 2019 untuk Jember; mutasi yang tidak sesuai dengan perundang-undangan; penerbitan Peraturan Bupati tentang Kedudukan, Susunan, Organisasi, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja; pengadaan barang dan jasa yang diduga melanggar peraturan sehingga mengakibatkan ambruknya bangunan gedung; serta kebijakan Pemerintah Kabupaten Jember lainnya yang memiliki dampak meluas kepada masyarakat yang akan ditentukan kemudian oleh Panitia Khusus Hak Angket untuk dilakukan penyelidikan.