21 Lembar Tanggapan Bupati Jember Belum Tersampaikan
Bupati Jember Faida semula hendak mengikuti sidang melalui telekonferensi video. Namun, usul tersebut ditolak oleh anggota Dewan. Sebagai gantinya, Faida mengirimkan 21 lembar berisi tanggapan tertulis.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — DPRD Jember sepakat memakzulkan Bupati Jember Faida dalam Rapat Parpurna Hak Menyatakan Pendapat. Keputusan tersebut diambil tanpa ada tanggapan langsung dari Faida yang tidak hadir dalam rapat paripurna tersebut.
Faida semula hendak mengikuti sidang melalui telekonferensi video. Namun, usul tersebut ditolak oleh anggota Dewan. Sebagai gantinya, Faida mengirimkan 21 lembar berisi tanggapan tertulis. Tanggapan tersebut hanya dibagikan kepada anggota Dewan tanpa dibacakan secara publik.
Kamis (23/7/2020), Kompas mendapat salinan tanggapan tertulis Bupati Jember tersebut dalam bentuk soft file. Saat dikonfirmasi, Faida membenarkan dan mengizinkan untuk mengutip pernyataan tertulis tersebut.
”Monggo atau silakan, Mas,” ujar Faida singkat.
Tanggapan tertulis sepanjang 21 lembar tersebut dibagi dalam tiga bagian. Pertama, perihal konsekuensi hasil rapat koordinasi dan asistensi (mediasi) penyelesaian permasalahan pemerintahan di Kabupaten Jember yang melibatkan kepala daerah dan DPRD.
Kedua, pemenuhan aspek prosedural/aspek formil usul hak menyatakan pendapat oleh DPRD Kabupaten Jember. Ketiga, pendapat Bupati Jember perihal materi yang menjadi alasan pengajuan hak menyatakan pendapat DPRD Kabupaten Jember.
Mengingkari kesepakatan
Dalam bagian pertama, Faida menilai langkah atau mekanisme penyelesaian masalah di Kabupaten Jember mengingkari kesepakatan antara DPRD Jember dan Pemerintah Kabupaten Jember yang sudah di mediasi Kementerian Dalam Negeri. Kemendagri sudah pernah melakukan langkah mediasi dengan mengundang perwakilan DPRD Jember dan Bupati Jember pada 7 Juli 2020 di kantor Kemendagri di Jakarta.
”Disepakati bahwa bila terdapat permasalahan di pemerintahan Kabupaten Jember, seharusnya Pemerintah Kabupaten Jember dan DPRD Kabupaten Jember akan berkoordinasi serta bersinergi secara berkelanjutan dalam penyelesaian setiap permasalahan tersebut,” tulis Faida.
Untuk itu, segala langkah/mekanisme penyelesaian setiap permasalahan pemerintahan di Kabupaten Jember dil uar sebagaimana kesepakatan yang telah dicapai dalam mediasi di Kemendagri, pada dasarnya adalah bentuk pengingkaran terhadap hasil mediasi tersebut yang tidak sesuai dengan etika penyelenggaraan pemerintahan.
Faida juga menilai bahwa pengusulan hak menyatakan pendapat tidak memenuhi prosedur. Menurut dia, ada persyaratan yang tidak dipenuhi sehingga hak menyatakan pendapat tersebut tidak memenuhi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 78 Ayat (2) PP No 12/2018.
”Bahwa tidak diserahkannya/dilampirkannya dokumen materi dan alasan pengajuan usulan pendapat oleh pengusul hak menyatakan pendapat telah membawa kerugian kepada Bupati Jember, yaitu Bupati Jember tidak dapat mengetahui secara pasti dan mendalam mengenai materi dan alasan pengajuan usulan pendapat oleh DPRD,” tulis Faida di bagian kedua tanggapan tertulisnya tersebut.
Sementara di bagian ketiga, Faida mengklaim bahwa sejumlah rekomendasi yang diberikan Gubernur Jawa Timur dan Kementerian Dalam Negeri sudah ia lakukan. Ia menjelaskan beberapa rekomendasi yang telah dilakukan, antara lain, mencabut 30 Peraturan Bupati tentang KSOTK yang ditandatangani dan diundangkan pada 3 Januari 2019.
”Pemerintah Kabupaten Jember hingga saat laporan ini disusun telah mengikuti semua prosedur yang ada dan hanya menunggu penerbitan Surat Keputusan Pelantikan/Pengukuhan dari Menteri Dalam Negeri,” tulis Faida.
Lantas mengapa surat tanggapan tersebut tidak dibacakan saat sidang? Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi ketika dihubungi dari Banyuwangi, Kamis (23/7/2020), menjelaskan, hal itu sudah menjadi keputusan anggota Dewan.
Tidak bisa diintervensi
”DPRD berdaulat dengan tata tertib dan aturan internal yang dibuat dan disepakati oleh DPRD. Tata tertib dan aturan tersebut tidak bisa diintervensi siapa pun, termasuk bupati,” ujar Itqon.
Oleh karena itu, saat Badan Musyawarah memutuskan rapat paripurna berjalan secara luring (off line), maka permohonan bupati yang menghendaki untuk mengikuti melalui telekonferensi video ditolak. Bupati, ujar Itqon, tidak hadir dengan alasan mengkhawatirkan protokol kesehatan di masa pandemi.
Bupati harusnya datang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan soal protokol kesehatan yang pasti kami terapkan. Tata tertib dan aturan internal menyepakati bupati harus hadir dan tidak ada opsi untuk telekonferensi, diwakilkan orang lain, atau bahkan hanya diwakilkan oleh kertas.
Itqon mengatakan, Bupati memang mengirimkan surat tanggapan tertulis. Mohammad Halim yang kala itu memimpin jalannya rapat paripurna sempat menanyakan kepada seluruh peserta rapat paripurna apakah surat tanggapan dari Bupati akan dibacakan akan diabaikan. Saat itu semua peserta rapat paripurna sepakat mengabaikan.
”Bupati harusnya datang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan soal protokol kesehatan yang pasti kami terapkan. Tata tertib dan aturan internal menyepakati bupati harus hadir dan tidak ada opsi untuk teleconfrence, diwakilkan orang lain, atau bahkan hanya diwakilkan oleh kertas,” ujar Itqon.
Atas dasar itulah, tanggapan tertulis Bupati tidak dibacakan dalam rapat paripurna. Surat tersebut hanya dibagikan kepada anggota Dewan yang hadir.
Saat ini pimpinan DPRD Jember masih mengkaji hasil keputusan rapat paripurna hak menyatakan pendapat dan melengkapi berkas-berkas pendukung sebelum nantinya mengirimkan permohonan ke Mahkamah Agung. Harapannya dengan kajian dan melengkapi berkas-berkas tersebut, usulan DPRD Jember untuk memakzulkan Bupati Jember dikabulkan oleh MA.