Sri Purnomo Yakin Kemampuan Istrinya pada Pilkada Sleman 2020
Bupati Sleman Sri Purnomo menampik ada upaya pembentukan dinasti politik olehnya dalam pilkada 2020. Tanggapan itu menyusul pengusungan istrinya sebagai calon bupati dalam kontestasi politik itu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·2 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Bupati Sleman Sri Purnomo membantah hendak membangun dinasti politik keluarga lewat Pilkada 2020. Dia yakin, rekomendasi PDI Perjuangan kepada istrinya, Kustini, untuk maju sebagai calon bupati Sleman bukan semata-mata karena hubungan keluarga.
Sri adalah Bupati Sleman selama dua periode, yaitu pada 2010-2015 dan 2016-2021. Sebelumnya, Sri menjabat sebagai Wakil Bupati Sleman pada periode 2005-2010. Kustini akan didampingi Danang Maharsa, anggota anggota DPRD Sleman dari Fraksi PDI Perjuangan periode 2019-2024.
”Yang dimaksud dinasti itu apa? Dinasti itu, kan, pemberian yang tidak melalui pemilihan. Kalau pemilihan, dalam satu keluarga saya hanya ada lima orang. Apa artinya suara lima orang di antara sekitar 750.000 suara yang lain?” kata Sri seusai pencocokan dan penelitian data pemilih Pilkada 2020 di rumah dinas Bupati Sleman, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (18/7/2020).
Sri menyampaikan, hendaknya publik lebih memperhatikan visi dan misi para calon. Program kerja hingga kinerja dari setiap pasangan calon selama ini juga harus banyak dibicarakan. ”Jadi, ini pesta demokrasi. Pilihan langsung oleh rakyat. Bukan ditentukan keturunan, melainkan kemampuan, kapasitas, dan kapabilitasnya,” kata Sri.
Kustini juga percaya diri saat membuka peluang koalisi dengan partai lain. Komunikasi politik dengan partai-partai lain terus dijalin secara intensif. Pihaknya tak membatasi upaya pembentukan koalisi.
Dihubungi terpisah, Wawan Mas’udi, pengajar ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan, pihaknya melihat ada upaya pembentukan dinasti politik di Sleman. Dinasti politik merupakan fenomena nasional dalam dunia perpolitikan Indonesia.
”Memang ada kecenderungan keluarga-keluarga politik semakin memperkuat upaya untuk bertahan di dalam lingkaran kekuasaan dengan cara apa pun,” kata Wawan.
Wawan mengungkapkan, terbentuknya dinasti politik didukung proses kaderisasi ataupun kandidasi calon kepala daerah yang tertutup. Masyarakat diberikan pilihan-pilihan pasangan calon yang sudah ditentukan sebelumnya oleh partai politik tanpa masyarakat mengetahui betul pertimbangan pemilihan nama-nama yang dicalonkan itu.
Kemudian, Wawan mengingatkan, jika dinasti politik dibiarkan saja, kepercayaan publik atas demokrasi akan terkikis. Skeptisisme terhadap proses politik bermunculan. Masyarakat enggan berpartisipasi dalam pemilihan umum.
”Ini (dinasti politik) bisa melahirkan skeptisisme publik. Kalau itu terus terjadi, bisa menghasilkan erosi yang lebih jauh lagi bagi sistem demokrasi sendiri,” kata Wawan.
Sekretaris DPD PDIP DI Yogyakarta Totok Hedi Santosa mengatakan, pengusungan Kustini-Danang telah melalui banyak pertimbangan. Pihaknya memiliki alasan tertentu menunjuk pasangan calon tersebut. Survei juga telah dilakukan sebelum akhirnya dukungan partai politik tersebut diberikan kepada pasangan calon itu.
”Perjalanannya cukup panjang. Tidak serta-merta begitu saja mendapatkan rekomendasi. Melalui banyak proses. Antara lain, ya, survei kemungkinan (keterpilihan) pasangan tersebut dan lain sebagainya,” kata Totok.