Waspadai Potensi Gempa akibat Sesar Dangkal di Utara Jawa
Gempa jenis dalam dengan Magnitudo 6,1 di perairan Jepara terjadi pada Selasa pukul 05.54 WIB dan minim dampak. Namun, di utara Jawa juga terdapat sesar dangkal aktif sehingga perlu tetap diwaspadai.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA/HARIS FIRDAUS/MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Gempa dengan Magnitudo 6,1 yang berpusat di perairan utara Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (7/7/2020) pagi, menimbulkan dampak minim karena pusat gempa berada pada lokasi yang sangat dalam. Namun, wilayah utara Jawa, termasuk Jepara, juga menyimpan potensi gempa akibat sesar dangkal yang bisa menimbulkan dampak lebih signifikan.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa Magnitudo 6,1 itu terjadi pada Selasa pukul 05.54 WIB. Pusat gempa tersebut berada di laut pada jarak 85 kilometer (km) arah utara Jepara dengan kedalaman 539 km.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, gempa tersebut tergolong sebagai gempa bumi dalam. Adapun penyebab gempa itu adalah deformasi atau penyesaran pada lempeng yang tersubduksi di bawah Laut Jawa. ”Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan turun atau normal fault,” ujarnya.
Guncangan gempa bumi yang berpusat di Jepara itu dirasakan hingga ke wilayah yang jauh. Berdasarkan informasi BMKG, gempa tersebut dirasakan dengan skala II sampai III Modified Mercalli Intensity (MMI) di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Bali, bahkan hingga Nusa Tenggara Barat.
Meski begitu, gempa itu tak menimbulkan kerusakan signifikan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jepara Kusmiyanto mengatakan, hingga Selasa (7/7/2020) sore, hanya ada satu rumah warga yang terdampak akibat gempa itu, yakni di Desa Raguklampitan, Kecamatan Batealit, Jepara.
Hingga Selasa (7/7/2020) sore, hanya ada satu rumah warga yang terdampak akibat gempa itu, yakni di Desa Raguklampitan, Kecamatan Batealit, Jepara.
Rumah terdampak itu rusak ringan, yakni 10 genting, pada bagian samping belakang rumah, jatuh. ”Selain itu, belum ada laporan lagi. Memang banyak yang tak merasakan gempa di Jepara. Seluruh camat, termasuk di Kepulauan Karimunjawa, juga telah melapor dan aman,” ujar Kusmiyanto.
Ia menambahkan, bersama para sukarelawan, pihaknya terus meminta masyarakat untuk waspada dan tanggap akan potensi bencana. Di samping pemulihan kondisi sosial masyarakat di tengah Covid-19, sosialisasi pentingnya kewaspadaan akan bencana tetap diberikan.
Saat ini, di Jepara ada satu alat untuk memonitor gerakan tanah dan gempa bumi yang ditaruh di kantor BPBD Jepara. ”Namun, yang bisa membaca pusat (BMKG). Jadi, dalam membaca alat itu kami dipandu. Sementara alat untuk mendeteksi tsunami belum ada,” katanya.
Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie menyampaikan, gempa bumi itu diakibatkan deformasi lempeng saat lempeng Indo-Australia masuk ke dalam Laut Jawa. ”Gempa ini dirasakan berkisar I-III MMI yang jika dianalogikan seperti guncangan kendaraan lewat di depan rumah,” katanya.
Setyoajie menuturkan, sejumlah daerah di dekat pusat gempa itu memang tidak merasakan gempa bumi tersebut. ”Ini disebabkan rambatan gelombang yang mengikuti lempeng, di mana lempeng Indo-Australia di selatan lebih dangkal sehingga umumnya kabupaten-kabupaten di pesisir selatan cukup merasakan gempa itu,” paparnya.
Menurut Setyoajie, tidak ada gempa bumi susulan yang tercatat BMKG. Pihaknya mengimbau masyarakat tenang, waspada, dan tidak mudah terpancing hoaks. Selain itu, masyarakat juga diminta memeriksa struktur bangunan di sekitar. Apabila ada kerusakan, segera ambil langkah-langkah mitigasi dan laporkan ke pihak terkait.
Analisis
Dosen Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Gayatri Indah Marliyani, mengatakan, guncangan gempa Jepara itu dirasakan hingga jarak yang jauh karena pusat gempanya sangat dalam. Meski begitu, gempa tersebut kemungkinan tak menyebabkan kerusakan signifikan.
“Kalau kita telaah efeknya, tidak akan terlalu merusak dan tidak akan mengakibatkan gempa susulan di daerah tersebut,” kata Gayatri.
Menurut Gayatri, karena pusat gempanya berada pada kedalaman yang jauh, getaran akibat gempa itu sudah melemah ketika mencapai permukaan. Selain itu, dia menambahkan, gelombang yang muncul akibat gempa bumi tersebut didominasi oleh body wave (gelombang badan), yakni gelombang yang merambat melalui bagian dalam bumi.
”Gempa itu, kan, punya dua macam gelombang, yakni body wave dan surface wave (gelombang permukaan). Kalau gempanya terjadi jauh di dalam, yang dominan adalah body wave, sementara yang surface wave hanya lewat sekali waktu naik ke permukaan,” ujar Gayatri.
Wilayah utara Jawa, termasuk Jepara, juga memiliki potensi gempa bumi dangkal. Hal ini karena di sejumlah wilayah utara Jawa terdapat sistem sesar dangkal.
Gayatri memaparkan, dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang badan jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak akibat gelombang permukaan. Kondisi itulah yang menyebabkan gempa di Jepara pada Selasa pagi tidak berdampak pada kerusakan yang signifikan. ”Yang biasanya merusak itu justru yang surface wave,” ujarnya.
Meski begitu, Gayatri mengingatkan, wilayah utara Jawa, termasuk Jepara, juga memiliki potensi gempa bumi dangkal. Hal ini karena di sejumlah wilayah utara Jawa terdapat sistem sesar dangkal. ”Ini harus diwaspadai karena di daerah utara Jawa ada sistem sesar yang cukup dangkal dan aktif,” ucapnya.
Gayatri menambahkan, pada masa lalu pernah terjadi gempa bumi di wilayah sekitar Jepara. Berdasarkan dokumen katalog gempa South East Asia Association of Seismology and Earthquake Engineering, pada 12 Desember 1890 terjadi gempa bumi yang berpusat di wilayah Kabupaten Pati, Jateng.
Berdasarkan katalog itu, gempa pada 12 Desember 1890 dirasakan dengan skala VIII MMI. Selain itu, disebutkan pula bahwa gempa tersebut mengakibatkan banyak rumah rusak serta sejumlah orang meninggal dan terluka.
”Pusat gempa bumi tahun 1890 itu lebih dekat ke Pati, tapi secara umum masih cukup dekat dengan wilayah Jepara. Kalau ada gempa di Pati, pasti terasa juga di Jepara,” ungkap Gayatri yang juga staf ahli di Pusat Studi Bencana UGM.
Apabila melihat lokasi gempa, dampak kerusakan yang timbul, serta gempa yang dirasakan hingga VIII MMI, gempa pada 12 Desember 1890 itu kemungkinan bersumber dari sesar dangkal. ”Kalau skala VIII MMI, lokasi di sana, dan tingkat kerusakan yang seperti itu, kemungkinan besar sumber gempa itu di sesar dangkal,” katanya.
Menurut Gayatri, gempa bumi akibat sesar dangkal tersebut harus lebih diwaspadai dibandingkan dengan gempa yang pusatnya ada di kedalaman yang jauh. Hal ini karena gempa akibat sesar dangkal tersebut berpotensi menimbulkan dampak merusak yang lebih besar dibandingkan dengan gempa dalam seperti yang terjadi pada Selasa pagi tadi.
”Gempa dangkal justru yang harus diwaspadai karena biasanya menyebabkan kerusakan yang lebih signifikan dibandingkan dengan gempa dalam,” kata Gayatri.