Cara Desa Melawan Korona
Virus korona menyerang semua bangsa di dunia, mulai dari kota besar hingga ke pelosok desa. Desa adalah ”korban” terparah serangan korona. Mampukah masyarakat melawannya? Mampu. Desa punya cara sendiri melawannya.
Virus korona menyerang semua bangsa di dunia, mulai dari kota besar hingga pelosok desa. Desa adalah ”korban” terparah serangan korona. Mampukah masyarakat melawannya? Mampu. Desa punya cara sendiri melawannya.
Sabtu (6/6/2020), Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, heboh gara-gara seorang warga dimakamkan dengan prosedur penanganan Covid-19. Jenazah langsung diantar petugas dari rumah sakit ke pemakaman umum, tanpa dibawa ke rumah duka terlebih dahulu. Semua petugas pemakaman mengenakan alat pelindung diri.
Hal itu membuat warga kasak-kusuk, ada tetangganya terkena Covid-19. Kabar simpang siur beredar di media sosial. Padahal, almarhum masih berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan hasil tes usap tenggorokan (swab) belum keluar.
Baca juga : Tangani Covid-19, Desa Terapkan Pengawasan Berjenjang
Mendapati seorang warganya meninggal dan berstatus PDP, Pemerintah Desa Pandanlandung langsung menggelar rapat. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Desa Pandanlandung sepakat membuat rencana kegiatan penanganan meski nanti hasil tes warganya tersebut positif ataupun negatif Covid-19.
Rapat semalam suntuk akhirnya menghasilkan delapan poin rencana kerja Satgas Penanganan Covid-19 Pandanlandung guna menangani hal itu. Rencana kerja itu meliputi tracing (pelacakan), pengarahan isolasi mandiri, penyiapan logistik, distribusi logistik, tes cepat, pemantauan warga di lokasi rukun warga (RW) setempat, penyusunan jadwal pengamanan Perlindungan Masyarakat (Linmas) dan sukarelawan, serta pemantauan aktivitas siber. Satgas menyiapkan koordinator untuk setiap aktivitas tersebut. Kegiatan melibatkan RT/RW serta petugas kesehatan desa.
”Penyiapan logistik bagaimana menjamin kebutuhan keluarga PDP yang diminta isolasi mandiri selama 14 hari, termasuk memberikan alokasi pulsa bagi keluarga tersebut. Hal ini karena pemantauan dan komunikasi satgas dengan keluarga tersebut melalui panggilan video,” kata Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Desa Pandanlandung Ahmad Bagus Sadewa.
Menangkal hoaks
Dengan menjamin kehidupan warga yang harus menjalani isolasi mandiri, Desa Pandanlandung tampaknya tak ingin meninggalkan kearifan lokal mereka, yaitu gotong royong, tepo sliro, dan kekeluargaan. Tetangga adalah bagian dari keluarga besar yang harus sama-sama saling menjaga.
Di luar penanganan lapangan, Desa Pandanlandung juga merasa penting memberikan perhatian khusus terhadap aktivitas siber. ”Memantau aktivitas media sosial terkait PDP di desa kami penting karena bagian dari manajemen meminimalkan gangguan dalam penanganan PDP di desa kami. Seputar pertanyaan warga, hoaks yang mungkin muncul, dan kabar-kabar yang meresahkan akan ditangani secepat mungkin,” kata Bagus.
Menangkal hoaks via media sosial, menurut Bagus, penting mendukung penanganan PDP di lapangan. ”Itu juga untuk menjaga agar keluarga PDP tidak semakin tertekan secara psikologis. Bahwa mereka tidak ditinggalkan dan merasa mendapat dukungan tetangganya untuk melewati masa isolasi mandiri itu. Kondisi psikologis yang terjaga baik akan mendukung cepatnya pemulihan kondisi medis,” kata Bagus.
Desa Pandanlandung memutuskan lebih baik membiasakan masyarakat menangani konflik sosial yang mungkin muncul di media sosial ketimbang pelatihan jenazah atau lainnya pada masa pandemi ini. Untuk jenazah selama masa pandemi, pemerintah memberlakukan protokol penanganan Covid-19. Jenazah dimakamkan dengan prosedur layaknya penderita Covid-19. Jenazah tidak bisa dibawa pulang ke rumah dan pemakaman dilakukan tim dari fasilitas kesehatan.
Baca juga: Bantuan APD untuk Kabupaten Malang Masih Kurang
Rencana kegiatan Satgas Penanganan Covid-19 Desa Pandanlandung itu menunjukkan bahwa desa punya cara sendiri untuk melawan korona. Cara yang lebih tepat arah, kebutuhan, sasaran, dan filosofi berdesa. Filosofi berdesa, lugasnya, adalah menjadikan masyarakat desa berdaya tanpa harus disuruh-suruh atau dipaksa oleh supradesa sebagaimana marak terjadi belakangan ini.
Model desa melawan Covid-19 ala Desa Pandanlandung bisa dijadikan contoh bagi desa-desa lain di Indonesia. Memikirkan cara mengatasi persoalan dari usulan masyarakat, bukan instruksional atau top-down.
Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 meluluhlantakkan segala sendi kehidupan manusia. Hampir segala penjuru dunia terkena dampaknya. Kalau boleh dibilang, masyarakat desa adalah korban paling parah dari pandemi kali ini.
Baca juga: BUMDes Bisa Ringankan Masalah Ekonomi Desa
Sasaran kegiatan
Sebab, desa menjadi sasaran semua kegiatan terkait kedaruratan Covid-19. Mereka disoroti dalam hal pendataan warga penerima bantuan sosial, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh warganya sendiri. Desa juga harus menampung orang yang dipulangkan atau pulang setelah tak ada lagi pekerjaan di kota.
Pertama, harus diakui desa saat ini menjadi sasaran kegiatan kedaruratan mulai dari pemerintah pusat hingga kabupaten, misalnya bantuan langsung tunai (BLT) dana desa (DD) dan kampung tangguh.
Selama pandemi Covid-19, desa diwajibkan mengalokasikan sebagian dana desa untuk BLT-DD. Terkait pencairan BLT-DD, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengeluarkan Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2020.
Permendesa mengamanatkan BLT-DD diperuntukkan bagi keluarga miskin nonpenerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan pangan nontunai (BPNT), dengan kriteria kehilangan mata pencarian, belum terdata, dan mempunyai anggota keluarga yang rentan sakit menahun atau kronis. Hal itu dijelaskan dalam lampiran II huruf Q permendesa tersebut. Di sana dijelaskan, BLT-DD dicairkan secara nontunai selama tiga bulan sejak April 2020.
Dalam kebingungan, desa kian lambat mencairkan BLT-DD.
Hal itu diperkuat dengan Surat Menteri Desa PDTT Nomor 1261/PRI.00/IV/2020 tanggal 14 April 2020. Surat ini menjelaskan bahwa ada tiga prioritas penggunaan dana desa tahun 2020, yaitu untuk pencegahan dan penanganan Covid-19, padat karya tunai desa, dan BLT-DD. Di sana kembali ditegaskan, penyaluran BLT-DD dilakukan secara nontunai.
Namun, belum lama peraturan dan surat tersebut beredar, muncul surat Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kemendesa PDTT tanggal 27 April 2020. Surat itu menjelaskan bahwa pencairan BLT-DD bisa dilakukan secara tunai asalkan mematuhi protokol kesehatan, yaitu menerapkan penjarakan fisik, mengenakan masker, dan menghindari kerumunan.
Aturan penyaluran BLT-DD itu pun kembali ”berkembang” setibanya di kabupaten. Tafsir penerima BLT-DD ala Pemerintah Kabupaten Malang semakin longgar. Dampaknya, jumlah calon penerima sangat banyak. Hal itu menyulitkan bagi desa untuk menyesuaikannya dengan kemampuan dana desa yang terbatas.
Baca juga: Menko PMK: Bansos Ganda, BLT Dana Desa Bisa Dihapus
Dalam kebingungan, desa kian lambat mencairkan BLT-DD. Berdasarkan data Kementerian Desa PDTT, dana desa tahap pertama sudah cair ke rekening kas desa sebesar Rp 20,86 triliun untuk 53.156 desa dari 74.000 desa di seluruh Indonesia.
Dari jumlah tersebut, desa yang sudah menyalurkan BLT-DD sebelum Lebaran hanya 12.829 desa (24 persen). Sisanya masih dalam tahap melakukan musyawarah desa khusus guna menetapkan penerima BLT-DD. Lambatnya penyaluran BLT-DD membuat Presiden Joko Widodo berkali-kali meminta percepatan pencairan agar BLT-DD bisa cair sebelum Lebaran. Nyatanya, hingga Lebaran berlalu, masih ada desa belum mencairkan BLT-DD tahap pertama, termasuk di Kabupaten Malang.
Data penerima
Di luar keruwetan aturan, desa juga menjadi sasaran beragam bantuan sosial. Pada masa pandemi, desa bisa memverifikasi data untuk tujuh jenis bantuan sosial dengan penerima yang harus berbeda-beda.
Jika verifikasi data lancar, memilah penerima bansos akan mudah. Sayang, realitas di lapangan, data tumpang tindih dan memicu konflik sosial.
Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial Desa Pandanlandung Rino Ekananda mengatakan, pemerintah desa harus memverifikasi data untuk tujuh jenis bantuan sosial. Ketujuhnya adalah data bansos PKH dinas sosial, BPNT dinas sosial, BPNT perluasan, data terpadu kesejahteraan sosial kabupaten, bantuan sosial tunai, data usulan warga miskin dengan kuota per kecamatan, dan data BLT-DD.
”Jadwal pencairan berbeda, membuat masyarakat kadang tidak mau tahu. Mereka tahunya sudah didata sebagai penerima bantuan sehingga kalau orang lain menerima bansos, dia seharusnya juga menerima. Hal itu membuat pemerintah desa sering dituduh macam-macam. Padahal, mereka tidak tahu, bisa jadi mereka masuk kategori bansos yang berbeda dengan jadwal turunnya bantuan juga tidak sama,” tutur Rino.
Program padat karya tunai desa baiknya segera jalan.
Nilai bansos pun bervariasi mulai Rp 75.000 per bulan per keluarga hingga Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan.
Hal ketiga yang harus dihadapi desa adalah potensi kerawanan sosial dan ekonomi, yang mungkin muncul akibat perantau yang mudik setelah kehilangan pekerjaan sebagai dampak pandemi.
Sayang, hingga kini, tampaknya desa belum memikirkan masalah ini. Program padat karya tunai desa yang diharapkan menjadi gantungan mereka yang menganggur belum berjalan. Pemerintah desa masih fokus membagikan BLT-DD dan menangani kasus PDP atau pasien positif Covid-19.
Padahal, tidak mungkin orang bisa hidup hanya bergantung pada bansos. Oleh karena itu, program padat karya tunai desa baiknya segera jalan. Ini harus segera dipikirkan.