Wabah, Citra, dan Jelang Pilkada di Sulawesi Utara
Kesulitan warga di tengah wabah mendorong sejumlah politisi di Sulawesi Utara memberi bantuan pribadi dengan corak pencitraan diri yang kuat. Kebetulan sekali, wabah merebak jelang Pilkada 2020.
Desa Tatelu di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, mendadak riuh pada suatu Kamis sore, pertengahan April 2020 lalu. Kerumunan warga desa berlarian menghampiri Toyota Vellfire putih dengan nomor polisi berawalan B. Warga tiba-tiba belingsatan melihat masker bedah dan hand sanitizer, dua barang langka di tengah wabah Covid-19, yang dibagikan oleh seorang wanita muda di dalam mobil itu.
Semangat warga desa semakin besar saat mengetahui ada selembar biru Rp 50.000 terselip di antara masker dan hand sanitizer. Tak ayal, warga semakin berjejal, berebut pemberian tersebut. Imbauan jaga jarak fisik untuk mencegah penularan Covid-19 pun tinggal imbauan.
Ternyata, terselip pula selembar pamflet biru bertuliskan "SGR, Bekerja Dengan Hati, Masa Depan Minahasa Utara" dengan foto sang wanita muda yang di dalam mobil serta logo Partai Nasdem. Tulisan dan foto yang sama menempel pula di botol hand sanitizer yang dibagikan.
Wanita itu adalah Wakil Ketua DPRD Minahasa Utara Shintia Gelly Rumumpe (SGR). Sejak tahun lalu, baliho yang memuat foto diri dan slogannya telah disebar hingga berbagai pelosok Minahasa Utara. Shintia akan memperebutkan kursi bupati Minahasa Utara dalam pilkada serentak yang sedianya diselenggarakan pada September 2020.
Salah satu mobil pikap dalam barisan konvoi Shintia juga mengangkut beras dan nasi kotak untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada warga yang berjejal. Namun, bukan foto Shintia yang terpampang di kotak gabus itu, melainkan foto ibunya, Vonnie Anneke Panambunan.
Vonnie, yang sudah dua periode menjabat bupati Minahasa Utara, sedang membidik kursi gubernur Sulut dalam Pilkada 2020. Shintia didapuk menjadi calon penerus “takhta” ibunya di Minahasa Utara.
Sehari sebelumnya, salah satu surat kabar ternama di Manado memajang di halaman muka foto dan headline laporan aktivitas Shintia yang serupa di Kecamatan Airmadidi. Mengutip artikel tersebut, “SGR turun langsung (membantu masyarakat) seperti ibu tercinta yang selalu peduli masyarakat kecil.”
Artikel lain di halaman muka surat kabar itu melaporkan pembagian masker dan uang Rp 50.000 dari kas pribadi Vonnie kepada para sopir angkutan kota dan pedagang di Airmadidi yang sumber pemasukannya hilang karena Covid-19. Satu artikel lagi melaporkan kegiatan serupa oleh Vonnie dalam kapasitasnya sebagai ketua Keluarga Besar Putra-Putri Polri.
Bagi beberapa warga Minahasa Utara, seperti Lina (26) yang tinggal di Kalawat, aksi bagi-bagi sembako dan uang oleh Vonnie tak lagi asing. “Kadang beliau bagi-bagi uang setelah khotbah di gereja, katanya berbagi berkat,” kata Lina, mengacu pada gelar sarjana teologi Vonnie.
Di Minahasa Selatan, Bupati Christiany Eugenia Paruntu juga membagikan bantuan pribadi kepada warga yang mendadak miskin akibat Covid-19. Sulit dipungkiri, latar belakang politik tersirat kuat dalam bantuan itu, misalnya, plastik warna kuning khas Partai Golkar, partai sang Bupati.
Bantuan pribadi Tetty, panggilan Christiany, juga dilengkapi tulisan CEP, singkatan namanya. Bantuan disalurkan melalui Yayasan Cerdas Energik Peduli (CEP). Nama yayasan itu juga berfungsi sebagai salah satu slogan Tetty dalam pengenalan dirinya sebagai bakal calon gubernur Sulut dalam Pilkada 2020.
Saya membeli paket hasil panen hortikultura dari para petani di Modoinding dan siap membagikannya kepada masyarakat yang membutuhkan.
Yayasan CEP bertekad menyalurkan bantuan produk hortikultura dari Kecamatan Modoinding serta masker kain kuning bertuliskan CEP kepada 100.000 keluarga miskin dan miskin baru di Minahasa Selatan. Aktivitas yayasan itu tidak hanya menyasar warga Minahasa Selatan, tetapi juga kabupaten lain, seperti Bolaang Mongondow.
“Saya membeli paket hasil panen hortikultura dari para petani di Modoinding dan siap membagikannya kepada masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat di rumah saja, nanti tim kami yang membagikan ke rumah. Yang belum mendapatkan bantuan, karena ini pemberian pribadi CEP, berdoa kiranya ada berkat lagi untuk dapat disalurkan,” kata Tetty melalui akun Instagramnya.
Tak lupa, diselipkan pula selebaran kuning berisi gambar diri Tetty dan frase ‘Orang Baik’ dalam kantong paket bantuan. Setelah menerima bantuan, warga diminta berfoto sambil menunjukkan tangan kanan membentuk huruf C.
Pencitraan
Pemkab Minahasa Utara maupun Minahasa Selatan sebenarnya sudah merealokasi anggaran, yaitu Rp 13,21 miliar di Minahasa Utara dan Rp 13,61 miliar di Minahasa Selatan. Salah satu tujuannya adalah menyediakan jaring pengaman sosial bagi warga masing-masing wilayah yang terdampak wabah. Di Minahasa Selatan, misalnya, ada 26.770 penerima bantuan.
Namun, kesulitan warga di tengah wabah malah mendorong lebih banyak politisi seperti Shintia, Tetty, dan Vonnie untuk memberi bantuan pribadi dengan corak pencitraan diri yang kuat. Kebetulan sekali, wabah merebak jelang pilkada, dan ketiga politisi ini telah menyatakan niatnya maju dalam pesta demokrasi mendatang.
Baca juga: Tanggalkan Simbol-simbol Politik di Bantuan Sosial
Pembagian sembako atau suvenir sebenarnya bukan hal baru di kalangan politisi Indonesia, terutama sebagai strategi kampanye. Bukan hanya calon eksekutif yang melakukannya, tetapi juga legislatif. Profesor Australian National University, Edward Aspinall, dalam Journal of Democracy Volume 25 No. 4, Oktober 2014, menyebutnya sebagai patronage.
Secara harfiah, itu dapat diartikan sebagai "perlindungan". Dalam konteks politik, pemahamannya tak lepas dari relasi patron-klien.
Aspinall mengategorikan pemberian tersebut sebagai upaya perkenalan diri para calon kepada pemilih selama kampanye. Harapannya, pemilih akan mengenal dan memberikan suaranya untuk pemberi sembako. Ada politisi yang menolak praktik ini dan menyebutnya sebagai bentuk politik uang, tetapi ada pula yang menganggapnya wajar.
Dalam konteks wabah Covid-19, pengajar Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando mengatakan, bahan pangan sangat dibutuhkan masyarakat yang kehilangan sumber pemasukan. Namun, penderitaan warga malah dimanfaatkan politisi untuk mencari peluang pencitraan diri.
Kalau memang tulus memberi, tidak usah pakai warna kuning, merah, atau lainnya.
“Kalau memang tulus memberi, tidak usah pakai warna kuning, merah, atau lainnya. Tidak usah menempelkan simbol (partai) atau nama, tidak usah ada unsur-unsur kepentingan politik. Itu artinya mereka memberi dengan mengharap kompensasi,” kata Ferry.
Di sisi lain, Ferry menilai hal ini rawan terjadi karena adanya kekosongan hukum jelang Pilkada 2020. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada menetapkan penundaan pemungutan suara dari September menjadi Desember 2020 karena bencana non-alam Covid-19. Namun, pelaksanaan masih dapat diundur jika keadaan belum memungkinkan.
Akibatnya, belum ada UU yang dapat dijadikan dasar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyusun jadwal dan aturan tahapan Pilkada 2020 dalam Peraturan KPU (PKPU). “Jadi, ada kekosongan hukum yang membuka celah bagi para politisi untuk melakukan itu (kampanye). Bawaslu tidak bisa menindak karena tidak ada landasan hukum,” kata Ferry.
Menurut Ferry, masa-masa berat seperti ini seharusnya tidak digunakan untuk menjaring keuntungan politik secara pribadi. Hal ini menunjukkan buruknya etika para politisi dan publik perlu menilainya dengan kritis.
Baca juga: Publik Menolak Politisasi Bansos
Praktik-praktik seperti ini pun dikhawatirkan dapat mengurangi kepercayaan warga terhadap kebijakan kepala daerah yang sebetulnya mengedepankan kemanusiaan. Contohnya, kebijakan Wali Kota Manado Vicky Lumentut yang mengizinkan warga luar Manado dikuburkan di pekuburan khusus Covid-19 milik pemkot di Kelurahan Kayuwatu.
“Kalau ada pasien Covid-19 yang meninggal di Manado, tetapi tempat tinggalnya jauh atau mendapat penolakan dari warga di kampungnya, kami izinkan untuk dimakamkan di lahan pekuburan milik Pemkot Manado. Kami bersedia membantu demi misi kemanusiaan, supaya jenazah tidak lama tertahan di rumah sakit,” kata Vicky.
Vicky juga telah mengumumkan niat maju sebagai calon gubernur Sulut pada Pilkada 2020. Namun, menurut Ferry, kebijakan Vicky terkait makam tidak bisa langsung semata disebut bermuatan politik. Sebab, ia mengumumkannya dalam kapasitas sebagai pemerintah yang bertugas melindungi warga.
“Masyarakat mungkin mulai curiga karena banyaknya kepentingan politik, tetapi akan tiba saatnya bagi masyarakat untuk menilai Vicky melakukannya untuk kompensasi dukungan politik atau bukan. Saat ini, pemerintah harus menyatukan visi, yaitu mengutamakan kepentingan kemanusiaan,” kata Ferry.
Sementara itu, pengamat politik Taufik Tumbelaka mengatakan, sangat apes Covid-19 terjadi jelang pilkada. Akibatnya, langkah-langkah tulus bisa disudutkan ke ranah politik. “Seharusnya, wabah ini bisa menyatukan kita, tetapi nyatanya tidak. Jadi, ada baiknya pilkda ditunda saja sampai 2021 atau 2022,” kata Taufik.
Baca juga: Tunda Pilkada 2020 hingga WHO Cabut Status Pandemi Covid-19