Covid-19 Merebak di Daerah, Perlindungan Tenaga Medis Terbatas
Virus korona tipe baru penyebab penyakit Covid-19 mulai merebak ke daerah Jawa Barat seiring datangnya pemudik. Namun, perlindungan terhadap tenaga medis yang menangani penyakit itu masih terbatas.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/ ABDULLAH FIKRI ASHRI
·6 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Infeksi virus korona (corona) baru penyebab penyakit Covid-19 mulai merebak di Jawa Barat seiring datangnya pemudik. Namun, perlindungan terhadap tenaga medis yang menangani penyakit itu masih terbatas. Selain kekurangan alat pelindung diri, keselamatan mereka juga terancam jika pasien yang berisiko Covid-19 belum terbuka terkait riwayat perjalanannya.
Sebagaimana diberitakan di Kompas.id, Senin (20/1/2020), di tengah pandemi Covid-19, para tenaga kesehatan sebagai garda depan penanganan pasien rentan tertular penyakit yang disebabkan virus korona baru tersebut. Banyak tenaga kesehatan terinfeksi saat melayani pasien, sebagian di antaranya meninggal.
Ancaman penyebaran Covid-19 di antaranya tampak ketika sejumlah pemudik yang kembali ke Cirebon dan sekitarnya terkonfirmasi positif Covid-19. Hingga Jumat (17/4/2020), tercatat tiga kasus positif di Kabupaten Cirebon dan Kuningan serta dua kasus positif di Indramayu. Di Kota Cirebon, seorang warga yang punya riwayat perjalanan ke Jakarta meninggal akibat Covid-19.
Sebagai salah satu garda terdepan penanganan Covid-19, tenaga medis rentan terpapar virus korona baru. Di Indramayu, misalnya, 15 perawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Indramayu menjalani isolasi di Ruang Kijang Kencana selama 14 hari sejak 9 April lalu. Sebelumnya, mereka melakukan kontak langsung dengan pasien positif Covid-19 yang datang dari Kepulauan Riau.
Direktur RSUD Indramayu Lisfayeni mengatakan, isolasi dilakukan agar para perawat yang sempat menangani pasien positif Covid-19 menghindari kontak dengan keluarganya. Ketika ditanya apakah perawat itu memeriksa pasien yang tidak terbuka terhadap riwayat perjalanannya, Lisfayeni enggan berkomentar.
”Mereka semua baik-baik saja. Teman-teman kami masih sensitif dalam masalah ini. Doakan kami semoga semuanya baik-baik saja,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kuningan Susi Lusiyanti mengatakan, sejumlah pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 yang berobat ke puskesmas dan bidan tidak mengaku sebagai pemudik. ”Ada beberapa tenaga medis yang sudah menunjukkan gejala ringan (terkait Covid-19), tetapi hasil rapid test (tes uji cepatnya) negatif. Ada satu perawat puskesmas juga melapor sakit,” katanya.
Sejumlah pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 yang berobat ke puskesmas dan bidan tidak mengaku sebagai pemudik.
Menurut dia, ketika pasien terkonfirmasi positif berdasarkan hasil uji cepat, pihaknya langsung melacak riwayat kontaknya, termasuk kepada tenaga medis. Pihaknya mendata setiap pendatang dari luar Kuningan sehingga bisa mengantisipasi risiko penularan Covid-19 jika mereka sakit dan berobat ke fasilitas kesehatan.
Hingga kini, lebih dari 50.000 pemudik kembali ke Kuningan. Sebagian besar berasal dari Jakarta dan sekitarnya, wilayah episentrum penyebaran Covid-19. Selain pendataan pemudik di setiap gerbang perbatasan Kuningan, Pemerintah Kabupaten Kuningan juga menggerakkan aparat desa untuk memastikan para pemudik menjalankan isolasi mandiri di rumah selama dua pekan.
Stigma dari masyarakat
Menurut dia, pasien enggan terbuka terhadap riwayat perjalanannya karena khawatir mendapatkan stigma dari masyarakat sebagai penderita Covid-19 meski belum ada hasil tes laboratorium. ”Korona bukanlah aib yang harus ditutupi. Justru kejujuran pasien dapat menyelamatkan tenaga medis yang sedang berupaya menyelamatkan warga,” kata Susi.
Direktur RS Paru Sidawangi Lucya Agung Susilawati mengatakan, demi mengantisipasi pasien yang belum terbuka terkait riwayat perjalanannya, pihaknya menganggap semua pasien berisiko menderita Covid-19. Tidak hanya di ruang isolasi, petugas di poliklinik pun mengenakan alat pelindung diri. Seluruh tenaga medis juga diberi vitamin.
Satuan pengamanan juga mengenakan masker, sarung tangan, face shield, dan mengukur suhu tubuh setiap pengunjung. Jika lebih dari 37 derajat celsius, pengunjung akan diperiksa lebih lanjut. Oleh karena itu, pihaknya membutuhkan tambahan alat pelindung diri (APD) yang saat ini stoknya diperkirakan bisa bertahan hingga dua bulan ke depan. Dengan catatan, pasien yang dirawat masih dua orang.
Selain kejujuran pasien, APD dan deteksi dini Covid-19 terhadap tenaga medis juga dibutuhkan. ”Pernah ada tiga perawat sakit. Alhamdulillah, bukan korona. Kami belum melakukan tes cepat untuk tenaga medis karena 60 alat diutamakan untuk pasien. Kami sudah mengajukan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat,” katanya.
Minim APD
Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Cirebon Sri Laelan mengatakan, APD yang tersedia saat ini bergantung dari donasi masyarakat. Untuk kacamata pelindung, sepatu pelindung, dan alat pengukur suhu, misalnya, Pemkot Cirebon tidak lagi memiliki stok saat ini. Masker tersisa 816 buah setelah 18.000 masker digunakan dua bulan terakhir. ”Beberapa bagian APD bahkan hanya bisa bertahan dua sampai tiga hari ke depan,” ucapnya.
Direktur RSD Gunung Jati Ismail Jamaludin mengatakan, pihaknya menerima banyak bantuan APD dari berbagai pihak. ”APD kami mencukupi hingga pertengahan Mei dengan catatan tidak ada lonjakan kasus. Saat ini, kami merawat 20 pasien terkait Covid-19,” ujarnya.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Barat juga masih menerima laporan kekurangan APD dari sejumlah daerah, seperti Kota Sukabumi, Kabupaten Sumedang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi.
Ketua PPNI Jabar Wawan Hernawan mengakui, Pemprov Jabar dan pemkab/pemkot telah menyalurkan APD ke rumah sakit (RS). Namun, jumlahnya masih kurang. ”Jika dalam satu ruang perawatan terdapat lima perawat, dibutuhkan sedikitnya 15 set APD. Sebab, dalam sehari dibagi tiga sif. Itu belum termasuk untuk tenaga kesehatan lainnya,” ujarnya.
Wawan mengatakan, PPNI Jabar juga menggunakan dana iuran anggota untuk membeli 250 set APD dan telah disalurkan ke sejumlah daerah. Hal ini sebagai bentuk kepedulian kepada perawat yang bertugas merawat pasien Covid-19. ”Mungkin bantuan itu hanya bertahan untuk tiga hari,” ujarnya.
Wawan menyadari, tingginya kebutuhan APD membuat anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit. Harga satu set APD berkisar Rp 400.000-Rp 500.000. Akan tetapi, kelengkapan APD bagi tenaga kesehatan wajib diprioritaskan. Sebab, jika tenaga kesehatan sakit, penanganan pasien Covid-19 akan terkendala.
Hingga saat ini, belum ada laporan perawat di Jabar terinfeksi virus korona baru penyebab Covid-19. Namun, dia tetap mengimbau perawat untuk tetap waspada karena pasien Covid-19 di Jabar terus meningkat. Sebagian tenaga kesehatan, seperti di Kota Bandung, juga dikarantina sementara di hotel.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Jabar Eka Mulayana, di Bandung, menuturkan, Jawa Barat membutuhkan setidaknya 35.000 APD dalam 14 hari perawatan. ”Satu dokter memerlukan minimal 140 APD sesuai standar untuk satu pasien selama 14 hari perawatan. Bisa dibayangkan, satu rumah sakit ada lebih dari satu pasien,” tuturnya.
Kondisi mental
Kondisi mental tenaga medis juga menjadi salah satu penentu kesehatan dalam bertugas. Eka menuturkan, stigma terkait tenaga kesehatan yang identik sebagai pembawa penyakit Covid-19 memengaruhi mental tenaga medis.
Stigma tersebut tampak dari penolakan sebagian masyarakat terkait jasad petugas kesehatan yang gugur saat merawat pasien Covid-19. ”Kami menerima keluhan sebagian petugas medis yang ditolak dan dikucilkan dari lingkungan,” katanya.
Padahal, dalam praktiknya, petugas medis menghadapi penyakit dengan potensi penularan tinggi dan membutuhkan sistem imun yang baik dalam menghadapinya. Penolakan dari masyarakat dapat memengaruhi kondisi mental petugas medis yang menjadi garda depan penanganan Covid-19.
Karena itu, pihaknya berharap bantuan dari pemerintah dan tokoh masyarakat untuk mengedukasi warga agar tidak ada stigma negatif, termasuk bagi tenaga medis yang menangani pasien Covid-19. Pemerintah juga diharapkan tegas menerapkan pembatasan sosial demi memutus rantai penyebaran Covid-19.
”Persoalan tenaga medis ini hanya bagian hilir dari masalah Covid-19, tetapi yang perlu ditangani lebih lanjut ada di hulu, yaitu di tengah masyarakat. Saya melihat di Jabar masih ada aktivitas seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Masih ada yang berkerumun, masih ada yang tidak memakai masker,” ujarnya.