Pesan Tanda Cinta dari Pariwisata Yogyakarta di Tengah Wabah Korona
Dunia perhotelan di Kota Yogyakarta terguncang wabah Covid-19. Lewat gerakan From Jogja with Love, pegiat jasa perhotelan yakin kepiluan itu akan berlalu dan jasa wisata kembali pulih.
Lampu-lampu sejumlah hotel, di Yogyakarta, Sabtu (4/4/2020) malam, tampak berbeda dari biasanya. Nyala lampu kamar itu terang membentuk jantung hati di tengah kokohnya bangunan-bangunan hotel. Ada pesan para pegiat pariwisata saling menguatkan di tengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda.
Aksi jantung hati lampu-lampu kamar hotel itu bagian dari gerakan From Jogja with Love. Aksi digagas sejumlah general manager hotel yang tergabung dalam Himpunan General Manager Hotel Yogyakarta. Mereka ingin menunjukkan solidaritas dan kepedulian atas kondisi pariwisata di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tengah lesu didera pandemi Covid-19.
Sebanyak 65 hotel turut serta dalam aksi tersebut. Hotel-hotel itu terdiri dari hotel bintang tiga hingga bintang lima. Letak hotel-hotel itu tersebar, mulai dari pusat Kota Yogyakarta hingga di wilayah pinggiran kota tersebut.
”Aksi ini menjadi simbol empati, semangat kebersamaan, dan harapan agar pariwisata Yogyakarta dapat segera menapaki babak baru yang semakin gemilang,” ungkap Aris Retnowati, perwakilan dari Himpunan General Manager Hotel Yogyakarta, yang juga salah seorang koordinator aksi, dalam keterangan tertulisnya, yang diterima Kompas, Minggu (5/4/2020).
Baca juga : Praktik Pembatasan Sosial di Yogyakarta
Tak bisa dimungkiri bahwa pandemi Covid-19 memukul para pelaku pariwisata. Terlebih lagi bagi daerah tujuan wisata seperti DIY. Wisata dan kerumunan bagai dua hal yang tak terpisahkan. Namun, masyarakat diminta agar tidak berkerumun untuk memutus rantai persebaran Covid-19.
Tak pelak, banyak destinasi wisata terpaksa ditutup sementara guna menghindari masifnya penularan. Misalnya, Taman Wisata Candi Prambanan, yang jadi salah satu daya tarik wisata di DIY, penutupan sementara diperpanjang hingga 11 April 2020. Semula, ditutup hingga 29 Maret 2020. Adapun Zona I destinasi itu, yakni kompleks utama candi, masih akan ditutup sampai waktu yang belum ditentukan.
Selain itu, kawasan Malioboro juga jauh dari hiruk-pikuk wisatawan selama dua pekan terakhir ini. Kerap kali trotoar sudah sepi pejalan kaki pada pukul 21.00. Padahal, biasanya kawasan itu semakin malam akan semakin ramai. Juru mudi becak juga lebih banyak mengobrol dengan sesama daripada mengangkut penumpang. Hal yang sama berlaku pada kusir-kusir andong.
Baca juga : Malioboro Lengang, Pendapatan Pedagang Kaki Lima Anjlok
Sektor pariwisata merupakan salah satu andalan perekonomian di DIY. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perekonomian DIY tumbuh hingga 6,60 persen dibandingkan tahun 2018 yang tumbuh 6,20 persen. Salah satu motor pertumbuhan ekonomi itu adalah penyediaan akomodasi dan makanan minuman yang tumbuh 8,89 persen. Pertumbuhan dalam penyediaan akomodasi dan makanan minuman menunjukkan bahwa sektor pariwisata turut andil dalam pertumbuhan ekonomi daerah itu.
Capaian itu terasa tak berarti di tengah pandemi. Aktivitas wisata yang lesu tak terelakkan. Hotel-hotel sepi hunian seiring dengan penutupan sementara destinasi wisata.
Hotel hanya beroperasi untuk maintenance dan pengamanan properti. Tetapi, pemasukan juga tidak ada karena tidak menerima tamu. (Deddy Pranowo Eryono)
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta Deddy Pranowo Eryono mengungkapkan, terdapat sekitar 70 persen hotel dan restoran yang berhenti menerima tamu atau berhenti beroperasi sementara di tengah pandemi ini. Tingkat hunian kamar hotel hanya 1-5 persen.
Baca juga : Penutupan Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Diperpanjang
Dengan kondisi ini, kata Deddy, pekerja di sektor perhotelan turut terdampak. Pekerja tidak diputus hubungan kerjanya, tetapi dikurangi hari kerjanya. Satu bulan hanya bekerja 15 hari sehingga gaji yang diterima juga sesuai dengan jumlah banyaknya hari mereka bekerja. Namun, kondisi ini hanya sementara mengingat kondisi keuangan hotel juga sedang diguncang wabah ini.
”Sebenarnya, berhenti beroperasi ini bukan sepenuhnya tidak beroperasi. Hotel hanya beroperasi untuk maintenance dan pengamanan properti. Tetapi, pemasukan juga tidak ada karena tidak menerima tamu,” kata Deddy.
Anjloknya jumlah hunian kamar hotel itu terjadi sejak pertengahan Maret 2020. Pada 1-15 Maret 2020, rata-rata tingkat hunian kamar hotel sekitar 60 persen. Bahkan, jika tanpa wabah, sebenarnya rata-rata tingkat hunian kamar hotel bisa mencapai 75 persen hingga akhir Maret 2020. Namun, satu per satu tamu membatalkan pemesanan kamar setelah 16 Maret 2020 seiring dengan perkembangan kondisi wabah yang melanda.
Ketua Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) DIY Heryadi Baiin, menyampaikan, minimnya tingkat hunian hotel juga dialami sejumlah hotel dalam perhimpunannya. Kondisi hotel tiarap memasuki April ini. Kamar yang terisi hanya 5-6 kamar di satu hotel. Bahkan, ada yang nol hunian.
Baiin mengungkapkan, ada beberapa hotel bintang tiga hingga bintang lima yang melaporkan kerugian akibat wabah ini. Sepanjang 20-31 Maret 2020, total kerugian yang dialami Rp 60 miliar. Kondisi ini dialami sekitar 70 hotel.
Baca juga : PHRI: Sampai 2 April 2020, 1.139 Hotel Tutup Sementara
Dalam kondisi seperti ini, pihaknya mencoba mencari sumber pemasukan lain bagi hotel dengan membuat program khusus. Misalnya, membuka delivery order menu-menu restoran dari hotel dan membuka jasa bersih-bersih kamar untuk rumah atau gedung tertentu.
Baiin mengharapkan ada keringanan pembiayaan operasional hotel di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi ini. Salah satu keringanan yang sudah diterima itu berupa kebijakan pembebasan pajak hotel selama dua bulan, yaitu April dan Mei, dari Pemerintah Kabupaten Sleman.
Baca juga : Hotel dan Restoran di DIY Terpukul, Insentif Pajak Didorong
”Meskipun tidak beroperasi, hotel tetap mengeluarkan biaya pemeliharaan. Jadi keringanan-keringanan ini akan sangat membantu. Terlebih lagi pajak, datangnya dari keterisian kamar hotel. Jika kamar-kamar hotel tidak terisi, tentu tidak ada pajak yang dihasilkan,” kata Baiin.
Optimisme
Kondisi yang serba sulit bagi perhotelan dan pariwisata tak bisa dihindari. Namun, masih ada keyakinan dari para manajer hotel itu bahwa Yogyakarta masih mampu bangkit kembali. Daya tarik wisata daerah tersebut diyakini akan selalu ada. Geliat wisata dipercaya bisa kembali seperti sediakala jika wabah ini dapat dituntaskan.
Untuk itu, Deddy meminta agar masyarakat mematuhi protokol Covid-19. Kepatuhan masyarakat itu yang nantinya akan membuat wabah ini bisa segera berakhir. ”Semoga ini semua bisa kita jalani dengan baik sehingga bisa cepat selesai. Kami berharap semua masyarakat mau dan paham menjalankan protokol Covid-19 agar rantai penyebaran ini benar-benar diputus,” katanya.
Deddy menambahkan, masa pandemi digunakan insan perhotelan untuk berbenah. Kualitas sumber daya manusia ditingkatkan dengan sejumlah pelatihan tanpa tatap muka. Paket-paket liburan yang mampu menarik wisatawan setelah wabah juga tengah disiapkan. Pihaknya tak ingin berdiam diri begitu saja agar bisa bangkit setelah semua persoalan ini selesai.
”Maka, gerakan From Jogja with Love ini justru menunjukkan teman-teman perhotelan masih punya semangat untuk berkarya. Kita semua berharap badai ini segera berlalu. Kesempatan ini kami gunakan untuk berbenah. Kami optimistis masa depan akan lebih baik,” kata Deddy.
Sementara itu, Baiin menuturkan, tanda jantung hati itu menunjukkan pariwisata Yogyakarta masih hidup. Memang, wabah ini membuat lesu, tapi ia tahu itu hanya sementara dan akan segera berlalu. Insan perhotelan harus saling menguatkan dan meyakinkan mampu bertahan di tengah wabah.
”Kami percaya bahwa Yogyakarta tetap dirindukan dan akan selalu dikunjungi. Dengan kondisi seperti ini, kebersamaan yang membuat kami tetap kuat,” katanya.
Hal serupa disampaikan koordinator gerakan, Retnowati. Menurut dia, pariwisata Yogyakarta tidak mati. Aktivitas wisata hanya berhenti sejenak untuk beristirahat. Ia yakin semua pihak bisa bangkit setelah pandemi berakhir. Nyala kamar bergambar jantung hati menunjukkan insan perhotelan yang selalu mencintai kota ini.
”Yogyakarta sedang rehat dari ingar-bingar dan canda tawa. Kami berharap, terangnya tanda cinta dari kamar-kamar hotel ini membuat Yogyakarta akan selalu menjadi kota yang dirindukan sehingga meraih kembali ingar-bingarnya seperti sediakala,” papar Retnowati.