Mantan ASN yang Terlibat Rasisme Divonis Lima Bulan Penjara
Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman lima bulan penjara kepada Syamsul Arifin, mantan aparatur sipil negara pada Pemerintah Kota Surabaya, dalam kasus ujaran rasisme di Asrama Mahasiswa Papua.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, menjatuhkan hukuman lima bulan penjara kepada Syamsul Arifin, mantan aparatur sipil negara pada Pemerintah Kota Surabaya, dalam kasus ujaran rasisme di Asrama Mahasiswa Papua. Dia terbukti melanggar Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
”Terdakwa Syamsul Arifin secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras,” ujar Ketua Majelis Hakim PN Surabaya Yohanes Hehamony, saat sidang putusan, Kamis (30/1/2020), di Surabaya.
Dalam peristiwa di Asrama Mahasiswa Papua, Jumat (16/8/2019), Syamsul yang bertugas sebagai anggota staf Linmas di Kecamatan Tambaksari ikut mendatangi asrama bersama massa dari organisasi masyarakat dan TNI. Dia ikut melontarkan ujaran bernada rasisme kepada mahasiswa yang ada di dalam asrama.
Ujaran yang kemudian ramai disebarkan di media sosial memicu gelombang demonstrasi dan kerusuhan di Papua serta Papua Barat. Demonstrasi juga berlangsung di beberapa daerah, seperti di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Terdakwa Syamsul Arifin secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras. (Yohanes Hehamony)
Atas perbuatannya tersebut, Syamsul dijatuhi hukuman lima bulan penjara dan denda Rp 1 juta subsider satu bulan penjara. Vonis ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum, yakni delapan bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai perbuatan Syamsul telah meresahkan masyarakat. Sedangkan hal yang meringankan yakni terdakwa mengakui perbuatannya dan belum pernah dipenjara atau tidak terlibat dalam pidana sebelum kasus ini.
Menanggapi putusan tersebut, Syamsul memilih menerima, sedangkan jaksa penuntut umum masih pikir-pikir. ”Setelah berkonsultasi dengan klien kami, kami menerima putusan tersebut, yang mulia,” kata kuasa hukum Syamsul, Ishom Prasetyo Akbar.
Selain Syamsul, PN Surabaya juga masih menyidangkan dua tersangka lain dalam kasus yang sama, yakni Tri Susanti dan Andria Andiansyah. Sidang kedua terdakwa sudah sampai pada tahap penuntutan dan keduanya dituntut 12 bulan penjara.
Jaksa menilai Tri terbukti bersalah karena telah menyiarkan berita bohong atau hoaks dan melanggar Pasal 14 Ayat 1 dan 2 serta Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sementara itu, Andria dinilai melanggar Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Terdakwa dinilai bersalah karena menyebarkan video hoaks perihal insiden di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya melalui kanal Youtube miliknya.