Sebagian penyintas bencana Palu dan sekitarnya kembali ke zona merah yang menjadi zona terlarang untuk dihuni. Mereka nekat berada di area bahaya karena faktor sosial ekonomi, seperti pemenuhan kebutuhan hidup.
Beberapa rumah hanya tersisa atap. Beberapa terkubur ke dalam tanah. Sisanya sudah tak berbentuk, menjadi lautan puing-puing di tanah seluas puluhan hektar. Setahun dan tiga bulan berlalu, kengerian pergeseran tanah masif atau likuefaksi di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, masih begitu nyata dalam imaji.
”Belum diberesin. Beberapa jenazah korban saja masih banyak yang terkubur di dalamnya. Ini, kan, tanahnya naik sampai 5 meter gara-gara likuefaksi,” kata Tamsil Sitopa (61), penyintas likuefaksi di Balaroa, Rabu (8/1/2020) sore.
Balaroa merupakan salah satu wilayah terdampak likuefaksi akibat gempa bumi bermagnitudo 7,4 yang melanda Palu pada September 2018. Pergerakan tanah masif membuat ratusan rumah terkubur dan banyak korban meninggal.
Pria yang kini menganggur itu kerap berjaga di lokasi terdampak menunggu kepastian pergantian tanah miliknya seluas 400 meter persegi. Dia gamang. Sepengetahuannya, tanah itu tidak boleh ditempati karena masuk dalam zona merah.
Tamsil bingung karena hanya tanah itu sisa harta miliknya. Pemerintah daerah sempat menawarkan opsi penggantian tanah dengan hunian tetap (huntap) di wilayah Tondo, sekitar 15 kilometer dari Balaroa. Akan tetapi, penggantian itu dinilai tidak sebanding.
”Rumah saya dulu 400 meter persegi, masih lengkap surat-suratnya. Sekarang mau diganti 36 meter persegi. Huntap itu juga jauh sekali dari sini. Masih bingung,” tutur Tamsil.
Ketidakpastian itu membuatnya berpikir nekat. Jika tanahnya tidak diganti, pria asli Palu ini berencana menempati tanahnya yang berada di zona merah setelah puing-puing dibersihkan.
Beberapa kilometer dari Balaroa, kondisi serupa tampak di Teluk Palu. Setelah dihantam gelombang tsunami, masih banyak bangunan rusak terbengkalai. Di tengah pemandangan itu tampak bangunan warung berdiri kokoh sendirian.
Warung itu hanya berjarak sekitar 30 meter dari garis pantai. Jaraknya begitu dekat mengingat gelombang tsunami setahun silam melahap hingga 200 meter dari garis pantai.
Adalah Fudin (42) dan Suryani (48), pasangan suami istri pemilik warung. Mereka berdagang es kelapa muda dan mi instan. Warung yang terbuat dari kayu dengan atap seng berukuran 5 meter x 5 meter itu juga menjadi tempat tinggal mereka.
Fudin bercerita, sebelum tsunami, warungnya berada ratusan meter dari pantai. Namun, kini kondisinya sepi pengunjung. Melihat peluang tidak adanya yang berjualan di sekitar pantai, dia pun mendekat ke garis pantai.
Masyarakat seolah berat beranjak meninggalkan zona bahaya karena faktor sosial ekonomi. Ini menjadi persoalan. Sebab, Kota Palu merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana gempa bumi, likuefaksi, dan tsunami.
Tata ruang
Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana Abdul Muhari mengatakan, bencana yang berulang hanya bisa diselesaikan dengan perbaikan tata ruang. Masyarakat jangan dibiarkan kembali tinggal di wilayah terdampak atau berpotensi tinggi bencana.
Ahli geoteknik Institut Teknologi Bandung (ITB), Masyhur Irsyam, menilai, harus ada pengetatan struktur bangunan untuk merespons kondisi Palu yang berisiko tinggi terhadap gempa dan likuefaksi. Bangunan harus mengikuti standar konstruksi tahan gempa.
Wali Kota Palu Hidayat mengatakan berencana menjauhkan masyarakat dari wilayah terdampak bencana. Zona merah akan disulap menjadi tempat wisata sekaligus museum bencana. Namun, pemindahan warga masyarakat tidak mudah karena membutuhkan dana besar.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah mempertimbangkan aspek sosial. Pemindahan rumah di zona merah akan ditanggung pemerintah. ”Pemerintah tanggung ongkos pembangunan rumah. Nah, itu ongkosnya Rp 3 triliun-Rp 4 triliun,” ujar Kalla.