Peta zona ruang rawan bencana untuk Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah disepakati dengan mengabaikan potensi kerawanan gempa dan likuefaksi di area padat penduduk. Keselamatan ribuan warga terancam.
PALU, KOMPAS — Pengabaian potensi kerawanan gempa hasil survei Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam penyusunan peta zona ruang rawan bencana Palu, Sulawesi Tengah, dan sekitarnya membuat sebagian warga Kota Palu terdampak risiko gempa ataupun likuefaksi. Kondisi bisa lebih buruk jika masyarakat tetap dibiarkan bermukim dalam zona rawan bencana tanpa diberi pemahaman mitigasi yang tepat.
Peta zona ruang rawan bencana (ZRB) Palu dan sekitarnya tak ditandatangani BMKG saat disepakati di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, 11 Desember 2018. BMKG menolak tanda tangan dan menorehkan paraf dengan catatan ”ZRB 1 menurut BMKG adalah ZRB 3”. ZRB memiliki rentang 1-4 dengan zona 4 sebagai klasifikasi tertinggi tingkat bahaya bencana.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla mengatakan, keputusan memilih peta ZRB berdasarkan keputusan peserta rapat. ”Peta itu dipilih berdasarkan kesepakatan secara ilmiah,” ujar Kalla, di rumahnya di Jakarta, Senin (27/1/2020).
Secara terpisah, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, ada ribuan penduduk yang terancam dampak dari gempa besar di masa mendatang. Apalagi, menurut dia, potensi gempa bumi selanjutnya bisa lebih dahsyat untuk area padat penduduk Kota Palu dengan perkiraan sumber gempa yang lebih dekat ke pusat kota dibandingkan dengan sumber gempa September 2018. ”Bisa lebih banyak yang terdampak,” kata Dwikorita.
Adapun berdasarkan penelusuran selama Januari, terdapat sejumlah daerah yang masuk dalam zona 1 peta ZRB, tetapi berada di zona dengan tingkat kerawanan tinggi pada peta potensi BMKG. Dengan membandingkan kedua peta itu, Kompas menemukan setidaknya ada 11 kelurahan dari tiga kecamatan di Kota Palu yang memiliki tingkat kerawanan gempa tinggi.
Kawasan yang diduga rentan terhadap potensi gempa ialah Kelurahan Ujuna, Baru, Leru, Kamonji, Besusu Barat, Besusu Tengah, Besusu Timur, Lolu Utara, Lolu Selatan, Tatura Utara, dan Birobuli Selatan.
Padat penduduk
Semua kelurahan itu tersebar di Kecamatan Palu Selatan, Palu Barat, dan Palu Timur. Merujuk data Badan Pusat Statistik Palu tahun 2018, setidaknya ada 196.000 warga yang menghuni daerah rentan terdampak gempa tersebut.
Yang mengkhawatirkan, sebagian warga belum mengetahui informasi itu dan tidak memahami mitigasi bencana. Kondisi ini tampak di Kelurahan Tatura Utara, area padat penduduk yang memiliki kerawanan gempa dan likuefaksi tinggi. Penduduk Tatura Utara mencapai 22.839 jiwa.
Warga Tatura Utara, Anto (40), menyatakan tak tahu bahwa rumahnya berada di zona rawan gempa dan likuefaksi. Menurut dia, tak ada sosialisasi dari petugas kelurahan untuk pindah ke daerah lain atau meningkatkan standar bangunan.
”Kalau saya disuruh pilih, mending diberi tahu saja. Mahal tidak apa, yang penting selamat. Itu yang utama,” kata warga Jalan Anoa, Tatura Utara, itu.
Bambang Setiyo Prayitno, Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial, dan Tanda Waktu BMKG, meyakini, standar konstruksi bangunan di wilayah itu seharusnya mengikuti rekomendasi BMKG, yakni masuk ke zona 3 atau zona terbatas. Jika berada di zona 1, standar konstruksi bangunan tak akan kuat menghadapi gempa besar. ”Ya, pasti rontok (bangunannya),” ucap Bambang.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa membantah jika rekomendasi BMKG soal potensi kerawanan gempa di Palu dan sekitarnya diabaikan. Ia mengakui masukan BMKG tetap dipakai. ”Tidak mungkin kami tidak mengakomodasi masukan BMKG,” kata Suharso.
Masih banyaknya warga di Kota Palu yang rentan terdampak gempa dan likuefaksi ini diperkuat dengan analisis indeks kerentanan seismik Kota Palu hasil survei dan riset Stasiun Geofisika Kelas I Palu serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu pada 2018. Berdasarkan survei tersebut, sejumlah daerah di Kota Palu memiliki kerentanan tinggi dari gempa dan likuefaksi.
Survei ini lebih spesifik karena menggunakan skala 1:40.000 dibandingkan dengan milik BMKG, yakni 1:100.000. Meski berbeda skala, ternyata wilayah-wilayah yang rentan terhadap guncangan gempa dan likuefaksi lebih kurang sama, yakni di pusat Kota Palu.
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Palu Hendrik Leopatty mengatakan, Sesar Palukoro memiliki empat segmen. Dari semuanya, masih tersisa satu segmen yang belum lepas, yaitu segmen Moa.
Segmen itu berada di Kecamatan Kulawi yang berada di Sulteng bagian bawah. ”Seandainya (segmen Moa) tidak lepas di sini, mungkin dalam kurun waktu 10-15 tahun bisa lepas dengan kekuatan M 6,” jelas Hendrik.
Sejumlah daerah dengan tingkat kerentanan gempa dan likuefaksi tinggi antara lain Kelurahan Lere, Nunu, Besusu Barat, Besusu Timur, Lolu Utara, Lolu Selatan, dan Tatura Utara. Padahal, daerah itu masuk dalam zona 1 di peta ZRB.