Penyusunan peta zona ruang rawan bencana untuk Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah, mengabaikan potensi kerawanan gempa hasil survei BMKG. Padahal, peta tersebut menjadi acuan revisi rencana tata ruang wilayah Palu.
Oleh
HARRY SUSILO/KELVIN HIANUSA/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyusunan peta zona ruang rawan bencana untuk Palu dan sekitarnya di Sulawesi Tengah mengabaikan hasil survei kerentanan gempa bumi dan likuefaksi yang dibuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Peta zona ruang rawan bencana (ZRB) merupakan pedoman pemanfaatan ruang berdasarkan kerentanan bencana. Saat ini peta tersebut dijadikan acuan untuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu dan sekitarnya. Penentuan ruang berdasarkan kerentanan bencana menentukan langkah mitigasi di areal tersebut.
Peta itu dirancang lima kementerian dan lembaga, yakni Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Investigasi Kompas menemukan, peta ZRB yang disepakati di Kantor Wakil Presiden pada 11 Desember 2018 itu tidak ditandatangani BMKG. BMKG menolak bertanda tangan karena peta potensi kerawanan gempa dan likuefaksi BMKG diabaikan.
Deputi Geofisika BMKG Muhamad Sadly, yang hadir dalam kesepakatan itu mewakili Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, tidak menandatangani peta ZRB karena tidak menyertakan survei kerentanan gempa dan likuefaksi BMKG. Sadly hanya memaraf dan memberikan catatan untuk peta itu: ”ZRB 1 menurut BMKG adalah ZRB 3”. ”Iya (saya yang paraf) karena saat itu kepala BMKG tidak bisa hadir,” ujar Sadly, saat dikonfirmasi, Minggu (26/1/2020).
Dalam peta ZRB, kerentanan bencana terbagi empat segmen: Zona 4 atau zona terlarang berwarna merah, Zona 3 atau terbatas (jingga), Zona 2 atau bersyarat (kuning), Zona 1 atau pengembangan (kuning muda). Semakin cerah warna zona, kerentanannya semakin rendah.
Penanda tangan kesepakatan peta ZRB Palu dan sekitarnya adalah perwakilan Menteri PUPR, Menteri ESDM, Menteri Bappenas, Menteri ATR/BPN, Kepala BNPB Willem Rampangilei, dan Gubernur Sulteng Longki Djanggola.
Di peta ZRB berskala 1:100.000 itu, sebagian wilayah di Kota Palu memiliki tingkat kerentanan yang berbeda dengan peta potensi kerawasan gempa dan likuefaksi BMKG karena survei BMKG tidak dijadikan sebagai pertimbangan. Sesuai dengan hasil survei BMKG, Zona 1 atau zona pengembangan di Peta ZRB seharusnya Zona 3 (terbatas).
Peta ZRB yang tidak ditandatangani BMKG itu tertuang dalam dokumen Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Provinsi Sulawesi Tengah.
Cegah kesalahan terulang
Penelusuran Kompas, peta ZRB yang ada catatan dari BMKG itu juga terpampang di beberapa lokasi di Palu, seperti di Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sulawesi Tengah. Bahkan, peta itu juga disertakan dalam papan imbauan agar warga tidak menghuni area terdampak likuefaksi di Balaroa.
Saat ditanya mengenai peta ZRB yang tidak ditandatangani BMKG, Dwikorita Karnawati terkejut. Dwikorita akhirnya mengakui tidak menandatangani peta ZRB karena mengabaikan potensi gempa dan likuefaksi yang nantinya dapat membahayakan keselamatan warga.
Menurut Dwikorita, potensi gempa bumi selanjutnya bisa lebih dahsyat untuk area padat penduduk Kota Palu. Sumber gempa diperkirakan berasal dari segmen bawah Sesar Palu-Koro. Artinya, sumber gempa berpotensi lebih dekat ke tengah kota dibandingkan dengan gempa magnitudo 7,4 pada September 2018 yang bersumber di Sirenja, Donggala Utara.
Dwikorita tidak ingin kesalahan terulang di Palu. Pada 1980-an, ahli geologi Indonesia, JA Katili, menyarankan Palu tidak layak jadi ibu kota. Palu sangat rentan bencana karena berada di salah satu sistem sesar paling aktif, Palu-Koro. Namun, saran itu diabaikan. ”Terbukti, kan, hancur semua (kemarin). Apa kita mau mengulanginya lagi?” kata Dwikorita.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional BMKG pada Juli 2019, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya dan pemerintah daerah berani menyampaikan apa adanya soal zona yang rentan bencana, khususnya untuk pembangunan. Ancaman bencana jangan ditutupi agar kesalahan pembangunan tidak terulang pada masa depan.
Direktur Jenderal Tata Ruang ATR/BPN Abdul Kamarzuki mengatakan, peta ZRB merupakan hasil penggabungan dari peta-peta bencana milik kementerian dan lembaga yang dilibatkan. Dari sisi gempa bumi dan likuefaksi, ada juga penelitian dari Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) dan Badan Geologi selain dari BMKG.
Ketua tim pembuatan peta ZRB sekaligus Deputi Bidang Pengembangan Regional Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata menyatakan, pembahasan peta ZRB sudah final. Semua aspek dan survei sudah dipertimbangkan dengan matang.
”Yang pasti kita (Bappenas) terima jadi. Kan, sudah disepakati ATR/BPN dari hasil survei oleh tim ahli dari BMKG, Badan Geologi. Semua itu ada masukannya gitu. Dan itu sudah dibahas berkali-kali,” kata Rudy.
Wali Kota Palu Hidayat mengaku tidak mengetahui jika penyusunan peta ZRB mengabaikan survei potensi kerawanan gempa BMKG. Pemerintah kabupaten/kota tidak terlibat dalam pembuatan peta. Mereka hanya menandatangani peta di Kantor Gubernur Sulteng setelah peta diresmikan.
”(Potensi bencana) itu tidak boleh sembunyi. Saya maunya tetap disampaikan kepada masyarakat. Pada prinsipnya buat saya, ya, kita mengikuti zona-zona yang sudah dikatakan itu,” tutur Hidayat.