Mengusik Gerak Gerobak Politik di Jawa Timur
Tersisa 250 hari dari waktu pemungutan suara serentak se-Indonesia termasuk untuk 19 kabupaten/kota di Jawa Timur. Masyarakat agar memilih bupati dan wali kota berwatak baik dan antikorupsi.
Tersisa 250 hari dari waktu pemungutan suara serentak di 270 wilayah di Indonesia. Pencoblosan pada 23 September 2020 nanti berlangsung di 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.
Di Jawa Timur, pemilihan umum akan terlaksana di 3 kota dan 16 kabupaten. Jumlah ini separuh dari 38 kabupaten/kota di provinsi berpenduduk hampir 40 juta jiwa ini. Pemilihan wali kota-wakil wali kota berlangsung di Surabaya, Pasuruan, dan Blitar.
Pemilihan bupati-wakil bupati ada di Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Tuban, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Blitar, Kediri, Malang, Jember, Situbondo, Banyuwangi, dan Sumenep.
Baca juga : Raker Persiapan Pilkada Serentak 2020 di DPR
Kalangan kandidat sudah bermunculan di seluruh wilayah yang akan melaksanakan pemungutan suara. Namun, yang terang, sampai dengan Kamis (16/1/2020), belum satu pun calon yang dipastikan memegang rekomendasi dari partai politik untuk kemudian mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota. Lagipula, pendaftaran memang belum dibuka.
Pelaksanaan program bisa dilihat sebagai “kampanye” atau tabungan untuk pertarungan periode berikutnya (Airlangga Pribadi)
Kendati demikian, gerobak politik sudah bergerak. Mesin-mesin kampanye sudah menyala. Tim-tim sukses sudah menyebar dan mendekati media massa, masyarakat, dan organisasi politik. Sejumlah survey oleh lembaga penilikan juga telah muncul. Modal berupa uang atau tenaga sudah pasti mulai mengalir dan akan terus digelontorkan para calon pejabat nomor satu di kabupaten/kota itu.
Regenerasi
Di Jatim, pemilihan bupati/wali kota bagi warganya bisa dibilang sebagai upaya untuk mendapatkan pemimpin baru. Salah satu alasannya, ada bupati/wali kota yang sudah dua periode menjabat sehingga tak dapat maju kembali.
Mereka adalah Bupati Tuban Fathul Huda, Bupati Lamongan Fadeli, Bupati Gresik Sambali Halim Radijanto, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah yang kini non-aktif karena berstatus tersangka kasus korupsi, mantan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa yang terpidana kasus korupsi.
Selain itu Bupati Ngawi Budi Sulistyono, Bupati Pacitan Indartato, Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, mantan Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar yang terpidana kasus korupsi, mantan Bupati Malang Rendra Kresna yang terpidana kasus korupsi, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Bupati Situbondo Dadang Wigiarto, dan Bupati Sumenep Abuya Busyro Karim.
Baca juga : Penerapan E-voting pada Pilkada Serentak Pertimbangkan Aspek Teknis dan Politis
Di luar yang berstatus tersangka dan terpidana kasus korupsi, para calon mantan bupati/wali kota itu masih tetap bisa kembali masuk gelanggang politik. Jalurnya, naik kelas bertarung ke pemilihan gubernur-wakil gubernur mendatang, ke legislatif sebagai anggota DPD, DPR, atau DPRD provinsi, dan atau tetap di partai politik sebagai pengurus pusat, provinsi, atau kabupaten/kota.
Semisal Tri Rismaharini yang saat ini aktif sebagai Ketua Bidang Kebudayaan DPP PDIP, dimana sebagian kalangan mendorong perempuan tersebut maju ke Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Di sisi lain, pemilihan nanti akan menjadi panggung pembuktian kembali para pejabat yang baru menyelesaikan satu periode pemerintahan. Mereka adalah Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni, Bupati Jember Faida, dan Bupati Blitar Rijanto.
Selain itu, ada pejabat naik dari wakil bupati/wakil wali kota karena kepala daerah sebelumnya pindah tugas atau tersangkut kasus korupsi. Mereka adalah Bupati Trenggalek Mochammad Nur Arifin karena Emil Elestianto Dardak menjadi Wakil Gubernur Jatim dan Pelaksana Tugas Wali Kota Pasuruan Raharto Teno Prasetyo karena Setiyono terlibat kasus korupsi.
Jika dikonfigurasi lagi, dari 19 kabupaten/kota, pemilihan untuk mendapatkan pemimpin baru ada di 14 daerah. Namun, pada prinsipnya, wakil bupati atau wali wali kota di 14 wilayah itu rata-rata maju untuk berebut kursi jabatan nomor satu.
Baca juga : Persiapkan Pilkada Serentak 2020, Tunggu Hasil Evaluasi Pemilu 2019
Misalnya, Wakil Bupati Ngawi Ony Anwar yang sudah dua periode mendampingi Budi Sulistyono atau Bupati Mojokerto Pungkasiasi yang belum sepekan dilantik. Selain itu, Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana dan Wakil Bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko yang dua periode mendampingi Abdullah Azwar Anas.
Pengalaman
Pengajar ilmu politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman mengatakan, para calon bupati/wali kota yang sudah menjabat satu periode atau dari posisi wakil punya sejumlah keunggulan dibandingkan dengan calon yang belum pernah menjabat posisi strategis.
Apa keunggulan itu? Satu periode menjabat bupati/wali kota menjadi bukti baik tidaknya seorang kandidat memimpin pemerintahan dan penyelenggaraan di daerah. “Pelaksanaan program bisa dilihat sebagai “kampanye” atau tabungan untuk pertarungan periode berikutnya,” kata Airlangga.
Begitu pula pejabat yang posisinya wakil. Mereka bisa mendompleng kesuksesan bupati/wali kota terdahulu. Mereka bisa mengklaim sebagai bagian dari kegemilangan prestasi. Namun, wakil perlu meyakinkan publik bahwa mereka juga berperan atau tak seperti stempel selama ini yakni sebagai pelengkap kepala daerah saja.
Kendati demikian, perlu juga dilihat pengalaman Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur 2018. Kandidat yakni mantan Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf yang mendampingi Soekarwo dua periode juga gagal menang. Yang sukses menjadi Gubernur Jatim ialah Khofifah Indar Parawansa yang sebelumnya menjabat Menteri Sosial.
Baca juga : Arah Pilkada Serentak
Padahal, pasangan Soekarwo-Saifullah di dua pilgub sebelumnya menumbangkan Khofifah. Namun, ketika Saifullah berhadapan dengan Khofifah, kegemilangan tak berulang. Nah, ini bisa menjadi pelajaran bagi para wakil yang maju berebut kursi bupati/wali kota.
“Publik akan lebih mencermati rekam jejak kandidat,” kata Airlangga.
Bisa dibilang, kandidat yang diyakini berwatak baik dan punya bukti prestasi serta dikenal dekat dengan calon pemilihnya, berpeluang terpilih. Namun, syarat terdekat tentunya mendapatkan rekomendasi partai politik untuk mendaftar ke KPU.
Saat ini kami memantau perkembangan pembentukan panitia pemilihan di tingkat kabupaten/kota penyelenggara pilkada serentak (Choirul Anam)
Ketua KPU Jatim Choirul Anam mengatakan, untuk pilkada serentak diatur dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020. Untuk pengumuman dan pendaftaran pasangan calon pada 16-18 Juni 2020. Pasangan kandidat akan ditetapkan pada 8 Juli 2020.
“Saat ini kami memantau perkembangan pembentukan panitia pemilihan di tingkat kabupaten/kota penyelenggara pilkada serentak,” ujar Choirul.
Rasuah
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan, lembaga antirasuah tersebut akan mengawasi dan mencegah potensi kejahatan luar biasa ini dalam pilkada serentak. Artinya, pilkada di 19 kabupaten/kota di Jatim juga akan diawasi dan dipantau.
“Saya amat berharap calon-calon yang akan maju nantinya benar-benar bersih dan tidak terlibat korupsi,” kata Firli, Kamis (9/1), di Surabaya, dalam Rapat Koordinasi dan Sinergi Penyelenggaraan Pemerintahan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2020.
Baca juga : Menghadapi Arus Balik Pemberantasan Korupsi, Kolaborasi Penting
Menurut Firli, KPK merasa perlu meminta Kepolisian Daerah Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jatim turut mengawasi calon-calon demi mencegah potensi korupsi. Bahkan, amat mungkin, menjelang pemungutan suara, tim penegakan hukum terpadu akan kebanjiran laporan dugaan pelanggaran atau pidana yang melibatkan calon-calon.
Di satu sisi, penanganan hukum terhadap calon kepala daerah berpotensi membuat aparat dikenai tudingan tidak netral. Di sisi lain, aparat juga berkewajiban untuk membantu penyelenggaraan pemilu yang bersih dan berintegritas. Calon-calon yang diduga melanggar hukum akan ditindak.
Pilihan masyarakat akan menentukan wajah birokrasi mendatang apakah koruptif atau tidak, ujar Iqbal Felisiano
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Universitas Airlangga, Iqbal Felisiano mengatakan, pilkada sangat bisa menjadi jalan bagi masyarakat di 19 kabupaten/kota di Jatim untuk memilih pemimpin yang bersih dan antikorupsi. Patut diingat, kurun 2017-2020 ada 14 bupati/wali kota di Jatim yang terjerat kasus korupsi. Yang terkini menyeret Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.
“Pilihan masyarakat akan menentukan wajah birokrasi mendatang apakah koruptif atau tidak,” ujar Iqbal. Hal ini juga berlaku bagi warga kabupaten/kota yang pejabat nomor satunya tak terkait korupsi. Rakyat perlu mencermati lebih jauh tentang rekam jejak para kandidat dan sudah sepatutnya memilih yang dipercaya atau diyakini antikorupsi.
Pengawasan
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jatim Aang Kunaifi mengatakan, telah mengedarkan surat kepada para bupati/wali kota di 19 kabupaten/kota di Jatim yang akan melaksanakan pilkada. Surat itu berisi larangan kepada bupati/wali kota untuk bermanuver politik. Misalnya, memutasi pejabat pemerintahan enam bulan sebelum penetapan kandidat.
Mengapa hal ini ditempuh? Menurut Aang, penggantian pejabat sering disalahfungsikan. Petahana boleh jadi menempatkan aparaturnya pada posisi tertentu untuk memastikan langkah politik di periode mendatang cukup aman. Aparatur akan terpaksa menata dan mendukung calon tertentu.
“Kami akan terus memantau pergerakan politik di kabupaten/kota itu. Jika ada pelanggaran tentu akan ditindak,” kata Aang. Jika di suatu daerah terbukti ada manuver politik dengan tujuan pemenangan, Bawaslu Jatim bisa menjatuhkan sanksi berupa rekomendasi pembatalan pencalonan kandidat.