Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir meminta masyarakat percaya sekaligus kritis menyikapi keberadaan Ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·2 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir meminta masyarakat percaya sekaligus kritis menyikapi keberadaan Ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK. Sejumlah kalangan masih menganggap keberadaan Dewan Pengawas KPK justru rentan menghambat kerja lembaga antirasuah itu.
”Selain beri kepercayaan, kita harus ikut mengawasi. Kan, ada yang namanya kontrol publik. Apalagi sekarang ini era terbuka,” kata Haedar dalam temu media di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Yogyakarta, Sabtu (21/12/2019).
Kemarin, Presiden Joko Widodo melantik Ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK bersama pimpinan KPK yang baru. Ketua Dewan Pengawas KPK adalah Tumpak Hatorangan Panggabean, mantan unsur pimpinan KPK.
Tumpak akan didampingi anggotanya, yakni Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang Albertina Ho, Artidjo Alkostar (mantan hakim agung), Harjono (mantan hakim Mahkamah Konstitusi), serta Syamsuddin Haris (peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Haedar menyatakan, tokoh-tokoh yang dipilih menjadi Ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK dinilai memiliki rekam jejak yang baik. ”Saya percaya, siapa pun yang dipilih dapat menjalankan tugas, amanat, dan kewajiban menjadikan Dewan Pengawas betul-betul bisa mengawasi keberadaan KPK,” ucapnya.
Akan tetapi, Haedar menyebutkan, publik juga harus kritis mengawasi kinerja mereka. Apabila ada penyimpangan, publik tidak boleh berdiam diri dan mesti bersuara.
”Masak sih lima orang itu kalau menyimpang kemudian kita biarkan. Kalau mereka tidak menyimpang, jangan kita anggap menyimpang,” ujar Haedar.
Secara terpisah, peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenurrohman, mengatakan tetap menolak keberadaan Dewan Pengawas KPK. Dewan itu, ujarnya, memiliki kewenangan penegakan hukum, misalnya terkait penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan oleh KPK.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK harus meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas sebelum menyadap, menggeledah, dan menyita. Selain itu, Dewan Pengawas berwenang memberikan izin atau tidak terhadap penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang hendak dilakukan KPK.
”Dewan Pengawas harusnya hanya memiliki kewenangan pengawasan dalam dua hal, yakni kode etik dan kinerja KPK. Namun, Dewan Pengawas KPK malah diberi kewenangan dalam hal pro justitia (penegakan hukum),” ujarnya.
Dewan Pengawas harusnya hanya memiliki kewenangan pengawasan dalam dua hal, yakni kode etik dan kinerja KPK. Namun, Dewan Pengawas KPK malah diberi kewenangan dalam hal pro justitia.
Zaenurrohman menilai, keberadaan Dewan Pengawas bakal membuat KPK sulit menjalankan fungsi dan kewenangannya. Dia mencontohkan, keharusan meminta izin berpotensi menyulitkan operasi tangkap tangan. Alasannya, operasi tangkap tangan biasanya didahului penyadapan.
Zaenurrohman juga mempertanyakan mekanisme pengisian jabatan Dewan Pengawas KPK yang ditunjuk langsung oleh Presiden. Penunjukan itu menjadikan prosesnya tidak berjalan independen, transparan, partisipatif, dan akuntabel.
”Seleksi seperti ini berpotensi menghasilkan orang-orang tidak independen,” ucap Zaenurrohman.