Sama-sama Dapat Otsus, Wapres Bandingkan Kondisi Aceh dan Papua
Wakil Presiden Jusuf Kalla membandingkan kondisi keamanan di Aceh dan Papua yang sama-sama mendapat status otonomi khusus. Meskipun mendapatkan keistimewaan dari pemerintah dibandingkan provinsi lain, terutama soal anggaran, hasil upaya pemerintah di Aceh dan Papua dalam mengatasi ketidakpuasan masyarakat berbeda.
Oleh
Yola Sastra
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Wakil Presiden Jusuf Kalla membandingkan kondisi keamanan di Aceh dan Papua yang sama-sama mendapat status otonomi khusus. Meskipun mendapatkan keistimewaan dari pemerintah dibandingkan provinsi lain, terutama soal anggaran, hasil upaya pemerintah di Aceh dan Papua dalam mengatasi ketidakpuasan masyarakat berbeda.
Hal itu disampaikan Wapres saat bersilaturahmi dengan aparat pemerintahan dan masyarakat Sumatera Barat di Padang, Senin (2/9/2019) malam. Kunjungan Wapres ke Padang, antara lain, didampingi oleh Ny Mufidah Jusuf Kalla serta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Wapres mengatakan, kondisi di Aceh sangat aman sejak tercapainya kesepakatan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka dan ditetapkannya status otonomi khusus sekitar 15 tahun lalu. Sebaliknya, Papua dan Papua Barat yang juga mendapatkan status sama terus bergejolak hingga sekarang.
Ini menandakan bahwa suatu daerah mempunyai karakter dan juga cara penanganan yang berbeda-beda.
”Ini menandakan bahwa suatu daerah mempunyai karakter dan juga cara penanganan yang berbeda-beda. Walaupun, minta maaf ini, anggaran untuk kedua provinsi tersebut, dibandingkan daerah lain, termasuk Sumatera Barat, termasuk Jawa, Sulawesi, (anggaran) itu per penduduknya jauh berbeda, tetapi tetap saja ada ketidakpuasaan terjadi (di Papua dan Papua Barat) sehingga menimbulkan masalah-masalah,” kata Wapres.
Kalla menjelaskan, Papua dan Papua Barat punya karakteristik berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Daerah lain merasa puas dengan pembangunan infrastruktur dan sebagainya. Sementara itu, pembangunan di Papua dan Papua Barat belum memberikan hasil yang diharapkan untuk memberikan pemerataan, harmonisasi, dan kesejahteraan yang baik untuk masyarakat, meskipun nilainya besar.
Menurut Wapres, ada berbagai kemungkinan yang menyebabkan hal itu terjadi. Kemungkinan itu, antara lain, cara pemerintah yang tidak memuaskan masyarakat, pendidikan yang belum merata, dan spirit yang tidak memberikan pendapatan yang baik kepada masyarakat sehingga menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan.
Selain permasalahan yang menguatkan spirit untuk memisahkan diri, gejolak di Papua dan Papua Barat juga dipicu oleh ucapan bernada rasisme sejumlah oknum yang memicu letupan di tengah masyarakat. Hal serupa, meskipun tidak sama, juga terjadi sekitar tiga tahun lalu saat ada gelombang unjuk rasa terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama karena dianggap keliru mengutip Surat Al Maidah.
”Jadi, artinya, kita sendiri harus menjaga perasaan. Menjaga suatu keharmonisan bangsa ini. Di samping juga kita harus mengetahui betul masalah yang timbul di daerah-daerah pedalaman. Mudah-mudahan kita mendapatkan penyelesaian yang baik (terkait kasus Papua dan Papua Barat) walaupun kadang-kadang terjadi kesalahpahaman,” ujar Kalla.
Sejak 19 Agustus 2019, gelombang unjuk rasa yang memicu korban jiwa dan kerusakan terjadi di sejumlah lokasi di Papua dan Papua Barat. Kejadian itu dipicu oleh ucapan bernada rasisme yang diduga disampaikan oleh oknum aparat dan anggota ormas di Surabaya kepada mahasiswa Papua. Mahasiswa Papua dituduh merusak tiang bendera Merah Putih di sekitar Asrama Mahasiswa Papua sehingga bendera masuk ke got.
Pemblokiran internet
Secara terpisah, Rudiantara menjelaskan, pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat masih berlangsung. Itu disebabkan masifnya penyebaran hoaks yang tidak hanya berisi disinformasi, tetapi juga hasutan dan upaya adu domba.
”(Layanan) data (internet) belum diaktifkan. Jumlah URL yang digunakan untuk menyebarkan hoaks (sejak 18 Agustus 2019) sampai kemarin sudah lebih dari 500.000. Artinya, penyebaran hoaks masih tinggi,” kata Rudiantara.
Meskipun demikian, kata Rudiantara, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto sudah menyatakan akan mengaktifkan kembali internet jika keadaan sudah kondusif. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan operator penyedia layanan komunikasi sudah menyiapakan skenario untuk mengaktifkan internet di kabupaten/kota yang sudah kondusif.
Kemkominfo sedang meninjau situasi di 42 kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat. ”Tadi (Senin) pagi saya rapat dengan semua operator, membuat skenario. Nanti kalau sudah diberikan daftarnya (kabupaten/kota yang kondusif), tinggal di-restore (pulihkan) layanan datanya. Mudah-mudahan besok sudah ada yang di-restore,” ujar Rudiantara.
Rudiantara mengakui, dinonaktifkannya internet di Papua dan Papua Barat memang menyulitkan masyarakat dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Namun, pemerintah juga mempertimbangkan terkait maraknya hoaks, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat mengancam keutuhan bangsa.