CIREBON, KOMPAS — Upaya pencegahan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, Jawa Barat, dinilai masih lemah. Tanpa pembangunan sistem pemerintah yang transparan dan akuntabel, korupsi berpotensi bakal marak terjadi di Cirebon.
Berdasarkan data Monitoring Center for Prevention Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018, tingkat pencegahan korupsi di Pemkot Cirebon hanya 53 persen. Cirebon menempati urutan ketiga terbawah dari 27 kabupaten/kota di Jabar dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
Peringkat terbawah adalah Kabupaten Pangandaran dan Cirebon dengan nilai masing-masing 52 persen. Sementara peringkat pertama adalah Pemkot Depok dengan nilai 84 persen. Adapun rata-rata tingkat pencegahan korupsi di Jabar adalah 60 persen.
”Artinya, komitmen Pemkot Cirebon dalam pembangunan sistem pencegahan tindak pidana korupsi belum optimal,” ujar Ketua Tim Konsep Pencegahan Wilayah Jabar KPK Tri Budi Rochmanto dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Cirebon di sebuah hotel di Jalan Siliwangi, Kamis (14/3/2019).
Kegiatan itu dihadiri Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis, Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati, Ketua DPRD Kota Cirebon, dan sejumlah tokoh masyarakat. Sebelum pemberian arahan oleh KPK, wartawan diminta keluar ruangan dengan alasan pembahasan internal.
Menurut Tri Budi, MCP merupakan penilaian terhadap tindak lanjut upaya pencegahan korupsi pemerintah daerah. Aspek yang diukur antara lain perencanaan dan penganggaran APBD melalui aplikasi, penerapan katalog elektronik dalam pengadaan barang serta jasa, dan juga transparansi informasi pada pelayanan terpadu satu pintu.
Ia mengingatkan, potensi tindak pidana korupsi kerap terjadi pada proses pembuatan APBD, hibah bantuan sosial (bansos), dan usulan program yang tidak sesuai kebutuhan publik.
”Hibah bansos di sejumlah daerah belum transparan. Bisa jadi, daftar penerima bansos akan mendapatkan Rp 100 juta. Namun, yang diterima hanya Rp 10 juta,” lanjutnya.
Lemahnya upaya pencegahan korupsi di lingkungan Pemkot Cirebon juga tampak dengan terjeratnya pejabat Pemkot Cirebon dalam tindak pidana korupsi. Awal Maret lalu, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Cirebon berinisial YW ditahan karena dugaan korupsi bersama S, mantan Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kota Cirebon yang telah pensiun.
Bersama tiga tersangka dari pihak swasta, keduanya diduga korupsi pada proyek pengerjaan Jalan Rinjani Raya-Bromo (Harjamukti) dan Jalan Mahoni Raya (Kesambi) tahun anggaran 2016. Proyek senilai Rp 599 juta itu berasal dari dana alokasi khusus. Mereka diduga merugikan negara sebesar Rp 205,7 juta.
Komitmen Pemkot Cirebon dalam pembangunan sistem pencegahan tindak pidana korupsi belum optimal.
Sebelumnya, pada 2016, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Cirebon M Taufan juga tersangkut kasus korupsi pengadaan ruang terbuka hijau (RTH). Dinas tersebut kini dihilangkan dan pembangunan RTH menjadi tanggung jawab dinas lingkungan hidup dan dinas PUPR.
Untuk itu, lanjut Tri, diperlukan penerapan teknologi digital dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah sehingga publik bisa memantaunya. Apalagi, dari pendataan KPK, profesi yang paling banyak terjerat korupsi di Indonesia adalah anggota DPR atau DPRD, pejabat pemerintah eselon I, II, dan III, serta kepala daerah.
Selain itu, Jabar juga termasuk tiga besar daerah dengan kasus tindak pidana korupsi terbanyak di Indonesia. Jabar juga masuk lima besar yang pemerintah daerahnya, provinsi maupun kabupaten/kota, diadukan oleh masyarakat. ”Komitmen kepala daerah, termasuk Wali Kota Cirebon, untuk mencegah korupsi menjadi penting selain pengawasan masyarakat,” ujarnya.
Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati mengatakan, arahan dari KPK akan menjadi petunjuk bagi Pemkot Cirebon dalam upaya pencegahan korupsi. Salah satu yang telah dilakukan Pemkot Cirebon adalah menerapkan sistem informasi perencanaan pembangunan daerah atau e-planning.