BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kandidat calon anggota legislatif yang maju pada Pemilihan Umum 2019 diminta menyuarakan dan membela hak-hak kaum perempuan. Pasalnya, selama ini, hak-hak perempuan masih kerap diabaikan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Lampung, Jumat (20/7/2018), di Bandar Lampung. Acara tersebut dihadiri sekitar 40 peserta dari sejumlah kota dan kabupaten, antara lain Bandar Lampung, Lampung Selatan, Tanggamus, dan Lampung Utara.
Ketua Umum Gerakan Perempuan Lampung Siti Noor Laila mengatakan, bakal calon anggota legislatif (caleg) yang didaftarkan oleh partai politik didominasi oleh laki-laki, mulai dari tingkat kecamatan hingga pusat. Kaum perempuan sebagai warga negara yang juga memiliki hak untuk memilih dan dipilih belum dilibatkan secara serius oleh partai politik.
Sejumlah partai politik enggan melirik kaum perempuan sebagai bakal caleg. Akibatnya, keterlibatan kaum perempuan dalam pemerintahan masih minim.
Kondisi itu membuat aspirasi kaum perempuan kurang didengar. Padahal, masih banyak permasalahan menyangkut kaum perempuan di Lampung. ”Untuk itu, kami ingin menyerap aspirasi kaum perempuan dari berbagai kabupaten yang ada di Lampung,” kata Laila.
Permasalahan lainnya, lanjutnya, kebijakan anggaran dari pemerintah pusat dan daerah belum signifikan berpihak pada kesejahteraan kaum perempuan. Untuk itu, caleg yang terpilih diharapkan mampu memperjuangkan agar anggaran negara diarahkan untuk menjalankan program yang berdampak langsung bagi kesejahteraan perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR Sely Fitriani mengatakan, selama ini, pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi ancaman bagi kaum perempuan. Jaminan gizi dan akses pendidikan bagi perempuan juga dinilai masih lemah.
Dia menilai, perempuan kurang mendapat akses berperan dalam struktur pemerintahan sehingga suaranya kurang didengar. Peraturan pemerintah juga cenderung diskriminatif sehingga hak-hak perempuan tidak menjadi prioritas.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, pada tahun 2017, tercatat terjadi 540 kasus kekerasan seksual dan 219 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan. Hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan tergolong ringan. Bahkan, sejumlah kasus kekerasan seksual kerap tidak ditangani hingga tuntas.
Di sektor pendidikan, persentase jumlah perempuan yang mendapat akses pendidikan SD hingga perguruan tinggi juga lebih rendah dari laki-laki. Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2017, persentase perempuan yang mendapat akses pendidikan hingga jenjang SMA hanya 24,37 persen. Tak hanya itu, buruknya layanan kesehatan gizi bagi kaum ibu dan anak juga membuat 59.838 anak balita di Lampung mengalami stunting.
Kaum buruh
Koordinator Solidaritas Perempuan Wilayah Lampung Umi Laila menuturkan, buruh tani perempuan kerap diperlakukan tidak adil. Selain upah yang lebih rendah, buruh perempuan juga mendapatkan jatah makanan yang berbeda.
Padahal, jam bekerja bagi perempuan lebih panjang ketimbang laki-laki. Selain menjadi buruh tani, perempuan juga masih harus menyiapkan makanan, membersihkan rumah, serta mengurus suami dan anak-anaknya di rumah. Perempuan biasanya bekerja selama 16-17 jam per hari.
Selama ini, program bantuan di sektor pertanian juga lebih banyak melibatkan kaum laki-laki. Padahal, tak sedikit perempuan yang menjadi kepala rumah tangga dan harus menghidupi anak-anaknya dengan bekerja sebagai petani. Meski begitu, masih sedikit perempuan yang mendapat program bantuan dari pemerintah.
Dia menambahkan, perempuan nelayan juga kerap didiskriminasi. Sebagai contoh, belum ada kaum perempuan nelayan tangkap atau nelayan pembudidaya yang mendapatkan kartu nelayan. Padahal, perempuan nelayan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki nelayan.