Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung, Jawa Barat, mungkin sudah lama berlalu. Namun, memorinya tetap terpatri. Berharap selalu menjadi inspirasi warga dunia.
Mural berukuran 12 meter x 5 meter bergambar bendera 109 negara peserta KAA 1955 itu baru rampung sehari sebelumnya. Semboyan peace (damai), tolerance (toleransi), brotherhood (persaudaraan), solidarity (solidaritas), dan independence (kemerdekaan) juga terpampang di dinding lapangan RW 005 Lio Genteng, Astanaanyar, Kota Bandung.
Mural itu menjadi latar belakang upacara peringatan KAA untuk pertama kali sepanjang sejarah pada Rabu (18/4/2018) pagi. Hari itu, tepat KAA di Bandung berusia 63 tahun. Sebagian besar pesertanya adalah siswa SDN 249 Astanaanyar. Dalam satu sesi, mereka bersama–sama memberi hormat pada bendera-bendera di dinding itu.
Kreatornya adalah warga Lio Genteng, Astanaayar, bersama pendamping Sakola Ra’jat Iboe Inggit Garnasih, kelompok pendidikan alternatif di sana. Mural dibuat selama lima hari dan menghabiskan dana sekitar Rp 2 juta, yang didapat dari iuran warga.
”Luar biasanya, kerelaan itu ditunjukan warga yang sebagian besar bukan dari kalangan berada. Buruh bangunan libur sebentar, pedagang kaki lima rehat sejenak demi mural itu siang dan malam,” kata Gatot Gunawan (29), pengagas SR Iboe Inggit Garnasih.
Salah seorang warga yang bersemangat menjadikan tembok kusam menjadi tembok perdamaian dunia (The World Peace Wall) itu adalah Rohmat (36). Buruh serabutan lulusan SD ini menjadi arsiteknya. Tangannya telaten membuat sketsa dan membubuhkan cat aneka warna.
Seperti warga lainnya, Rohmat berkarya tak dibayar. Ia mengatakan, mural itu adalah cermin diri kehidupan Lio Genteng. Perbedaan tak menjadi pemisah. Solidaritas menjadi energi untuk maju bersama. Dia berharap inisiatif warga Lio Genteng bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja.
Pengalaman hidup Rohmat di Lio Genteng empat tahun terakhir menjadi contoh. Datang dari Garut, Jawa Barat, dia diterima dengan tangan terbuka. Belum lama tinggal di sana, idenya membenahi tempat bekas penampungan biogas menjadi pos kamling, disetujui warga.
”Sekarang fungsi pos kamling bahkan bertambah lewat perpustakaan dengan puluhan buku,” katanya.
SR Iboe Inggit Garnasih juga diterima dengan tangan terbuka sekitar setahun lalu. Lewat program menari, teater, bahasa asing, dan sepak bola, SR Iboe Inggit Garnasih tekun mendampingi anak-anak setempat menjalani bakatnya masing-masing. Beberapa kali, siswa diajak unjuk terlibat dalam banyak acara, mulai dari peringatan Deklarasi Djuanda hingga yang terakhir KAA ke-63.
”Lewat acara ini, Lio Genteng ingin menjadi secuil kalangan yang terus mengenang dan berusaha menjadikan lagi Indonesia jadi inspirasi dunia,” katanya.
Terus tertanam
Waktu bersamaan, harapan itu juga tersaji lewat ”Bandung Historical Walk” yang digelar untuk memperingati momen KAA tahun ini. Ada 22 mahasiswa dari berbagai negara menjadi pesertanya.
Bersama 100 anak SD, mereka menapaktilasi jejak pemimpin negara peserta KAA 63 tahun lalu pada Rabu pagi. Mulai dari depan Hotel Savoy Homann hingga Gedung Merdeka sepanjang 150 meter. Kepala Museum KAA Meinarti Fauzie mengatakan, dalam acara ini digelar juga pengibaran 109 Bendera Negara-negara Peserta KAA 1955 dan Bendera PBB di muka Gedung Merdeka.
”Jejak perdamaian, kerja sama, kesetaraan, dan toleransi dari KAA harus terus abadi,” kata Meinarti.
Edgar Ngao (34), mahasiswa asal Tanzania yang mengambil studi S-2 di Universitas Parahyangan, menemukan kesan mendalam. Baru pertama kali mengikuti kegiatan ini, ia tak menyangka semangat 63 tahun lalu masih menjadi semangat hidup di Indonesia.
Tanzania adalah salah satu peserta dalam KAA 1955. Tahun itu, Tanzania belum merdeka. Penyelenggaraan KAA di Bandung diduga kuat menjadi salah satu pendorong banyak negara merdeka, termasuk Tanzania yang lepas dari penjajahan tahun 1961. Kekuatan itu juga yang melatarbelakangi arsip dan dokumentasi KAA resmi menjadi memori dunia UNESCO tahun 2015.
Menurut Edgar, ajang ini sangat tepat meleburkan perbedaan negara, agama, warna kulit, ataupun budaya. Tanpa memandang itu semua, siapa saja bisa berkumpul dan bersatu untuk saling menghargai dan mengasihi.
”Ini sungguh luar biasa. Pesan ini harus terus ditanamkan kepada semua pihak” kata Edgar.
Harapan Edgar tak berpangku sebelah tangan. Buktinya, ada di Lio Genteng, bahkan jauh sebelum tembok perdamaian dunia dibuat. Monumennya berdiri sejak sebulan terakhir lewat rumah kayu berlantai dua di belakang lapangan tempat upacara sederhana berlangsung. Rumah yang berdiri kokoh itu milik Ente Rusmana (55), petugas sampah di Lio Genteng itu.
Peduli
Warga setempat sekaligus pendamping SR Iboe Inggit Garnasih, Sandi Syarief (26), mengatakan, kondisi itu kontras dibandingkan empat bulan lalu. Dulu, rumah Ente hampir ambruk. Bocor parah saat hujan, rentan runtuh ketika angin kencang.
”Setelah permohonan renovasi pada salah satu lembaga amal ternama ditolak, warga melakukannya mandiri. Terlalu berat bagi Pak Ente apabila harus membiayai renovasi. Penghasilannya tidak lebih dari Rp 500.000 per bulan,” kata Sandi.
Tak mudah untuk mewujudkan keinginan itu. Kurang dana, Sandi, misalnya, rajin mencari bahan bangunan tidak terpakai. Bambu atau asbes yang tak utuh lagi tetap ia terima. Demi menghemat waktu, Rohmat, si arsitek mural, juga keluar dari pekerjaannya di proyek pembuatan hotel. Padahal, sebagai buruh bangunan lepas dengan bayaran Rp 150.000 per hari, tak setiap saat ia bisa menerima pekerjaan.
”Dari kesempatan kerja 3 bulan, saya hanya ambil 1 bulan. Pilih bangun rumah Pak Ente saja. Kasihan dia dan keluarganya kalau dibiarkan terlalu lama,” kata Rohmat.
Di antara segala keterbatasan itu, waktu penyelesaian rumah pun molor. Dari rencana hanya sebulan menjadi empat bulan. Diperkirakan menghabiskan Rp 16 juta. Namun, hasilnya manis. Kini, Ente dan keluarganya tak lagi cemas rumahnya bocor saat hujan. Tidak ambruk ketika angin kencang datang.
Ente sangat berterima kasih kepada warga yang peduli. Ia tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Ente berjanji bakal memberikan bantuan serupa apabila ada rumah warga lain yang hendak diperbaiki.
Lewat tangan-tangan peduli, pesan besar KAA 1955 itu masih hidup hingga kini. Tak hanya di pusat kota, labirin kampung nan padat pun merayakannya demi inspirasi bagi dunia