Menengok Perajin Anyaman Bambu di Salem
Berada di sekeliling perbukitan dan lembah Gunung Lio, Kecamatan Salem yang berjarak sekitar 55 kilometer dari pusat kota Brebes, Jawa Tengah menyimpan sejumlah potensi ekonomi yang unik.
Sawah subur terhampar hijau di setiap sudut kecamatan yang terdiri dari 21 desa itu. Selain menghasilkan padi, kelapa, rempah, memproduksi batubata, kecamatan ini juga memiliki ratusan perajin batik dan anyaman bambu.
Bencana alam tanah longsor pada Kamis (22/2) pukul 08.00 di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Salem, Brebes menyedot perhatian banyak pihak. Sebanyak 12 orang meninggal dunia, 18 orang terluka, dan 6 orang dinyatakan hilang setelah dicari selama 7 hari.
Manakala ada doa bagi para korban meninggal, rombongan ibu-ibu berduyun-duyun mendatangi rumah duka sambil membawa rinjing atau wadah yang terbuat anyaman bambu. Isinya beras dan diberikan kepada keluarga yang sedang berduka.
Di sepanjang jalan utama di kecamatan tersebut, misalnya di Desa Bentarsari, Pasir Panjang, dan Pabuaran di mana banyak terdapat warung juga toko, tidak tampak adanya penjual rinjing atau kerajinan anyaman bambu itu.
Namun, setelah dicari, ternyata anyaman tersebut dibuat di beberapa desa, yaitu di Desa Ganggawang, Seuseupan, Ciputih, dan Bentarsari yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari pusat keramaian di Bentarsari.
Pada Rabu (28/2) pagi matahari belum begitu tinggi. Jarum jam masih menunjuk angka 9. Candra Priyadi (32) duduk selonjor di teras rumahnya di Dusun Seuseupan, Desa Bentarsari.
Beralaskan kain pada pangkuannya, Candra meraut sebilah bambu yang panjangnya sekitar 60 sentimeter dan lebar 2 centimeter dengan pisau. “Bambu ini mau dianyam jadi tampir,” kata Candra.
Tampir merupakan anyaman bambu berbentuk bundar dengan diameter 50 sentimeter dan biasa dipakai untuk menjemur gabah, kapulaga, atau untuk menampi beras, membersihkan beras dari kotoran atau kulit gabahnya.
Candra yang adalah petani mengisi waktu luang setelah menanam padi dengan membuat anyaman bambu itu. “Jika seharian menganyam, bisa dapat 10 tampir,” katanya.
Per buah, tampir berdiameter 50 sentimeter itu harganya Rp 10.000 sampai Rp 15.000. “Tampir dengan ikatan tali rotan harganya Rp 15.000 dan yang dengan ikatan tali plastik kuning harganya Rp 10.000,” tutur Candra.
Adapun di Desa Ganggawang, pada tepian jalan desa banyak dijumpai bambu serta bilah bambu yang dijemur.
Di RT 05/RW 01 Desa Ganggawang, di pelataran rumah juga tampak tiga orang ibu, yaitu Muriyati, Suroh, dan Rumsih yang sedang asyik ngobrol sembari tangannya lincah menganyam bilah-bilah bambu tipis.
“Ini sedang membuat cepon atau tempat nasi,” kata Muriyati (45).
Bentuk cepon ini seperti bakul atau ceting, tempat nasi. Berbentuk persegi pada bagian bawah, tetapi membulat gemuk pada bagian atas.
Variasi model cepon lainnya adalah rinjing dimana pada bagian tutupnya dilengkapi pegangan atau tali agar dapat dibawa seperti pada saat melayat atau mendatangai suatu hajatan.
Lebar bilah bambu untuk membuat cepon ini lebih kecil dibanding bilah bambu untuk membuat tampir. Untuk membuat cepon, lebar bilah bambunya kurang dari 1 sentimeter.
“Dalam lima hari biasanya bisa membuat 20 cepon,” kata Suroh (45).
Menurut Rumsih (53), cepon itu dijual dengan harga berkisar Rp 130.000 sampai Rp 150.000 per 20 buah. Harga eceran bisa mencapai Rp 10.000 per buah. Rumsih sudah bisa menganyam bambu itu sejak duduk di sekolah dasar dan diajari oleh orangtuanya.
Tergores tajamnya bilah bambu menjadi tantangan dan kesulitan dalam membuat anyaman ini. Menganyam bambu juga menjadi aktivitas untuk mengisi waktu luang di mana pekerjaan utama mereka adalah petani. “Uangnya buat tambah-tambah,” ujar Rumsih.
Selain Candra, Muriyati, Suroh, dan Rumsih, ada pula Ratini (42) bersama ibunya Ruskini (63) di Desa Bentarsari serta Caring (48) di Desa Pasir Putih, Kecamatan Salem yang membuat dingkul atau juga disebut lingkul.
Ukuran dingkul tersebut lebih besar dibandingkan tampir dan cepon. Bentuknya secara sederhana menyerupai ember bulat, tetapi pada dasarnya tetap berbentuk persegi yang ukuran sisinya sekitar 50 sentimeter dan tingginya sekitar 40 sentimeter.
“Lingkul ini biasa dipakai untuk menyimpan atau membawa jagung,” kata Caring.
Caring membuat lingkul setengah jadi, yaitu hanya berupa anyaman bentuk ember, tetapi belum diberi wengku dan tali.
Wengku adalah bilah bambu yang lebih tebal dibandingkan pada bagian anyaman, tetapi masih bisa melengkung dibentuk lingkaran untuk mengikat ujung-ujung anyaman.
Harga lingkul setengah jadi Rp 7.500. Adapun harga lingkul yang sudah jadi atau siap pakai Rp 15.000.
Menurut para perajin anyaman bambu, semua produknya biasa dijual di Pasar Desa Bentarsari. Cara menjualnya ada yang dijual langsung ke pasar secara perseorangan, atau ada pula yang diambil pengepul.
Melalui pengepul inilah, produk anyaman warga Kecamatan Salem ini tidak hanya dijual di Pasar Bentarsari, tetapi juga dikirim ke kabupaten/kota sekitar seperti Cilacap, Cirebon, Banyumas, dan Banjar Patroman.
Camat Salem Apriyanto Sudarmoko menyampaikan, di kecamatannya terdapat 63.839 jiwa dengan 20.048 kepala keluarga.
“Jumlah perajin anyaman bambu ada lebih dari 100 orang dan produksinya bisa lebih dari 3.000 buah per bulan,” kata Apriyanto.
Apriyanto berharap pemerintah daerah maupun pusat dapat segera membangun jalan provinsi penghubung Kecamatan Salem-Kecamatan Banjarharjo (yang juga menjadi akses menuju Brebes) yang terputus akibat longsor.
“Akibat jalan putus ini, pemasaran dialihkan ke Bumiayu atau Majenang. Semoga nanti ke depan segera ada solusi,” kata Apriyanto.