Pasrah IPK, tapi Tak Pasrah pada Masa Depan
IPK tidak bisa begitu saja menjadi tolok ukur keberhasilan mahasiswa. Lantas apa ukuran kesuksesan mereka?
Selama ini, indeks prestasi kumulatif (IPK) menjadi salah satu acuan utama kesuksesan mahasiswa. IPK dianggap mencerminkan dedikasi dan ketekunan. Di era perkuliahan yang telah dijejaki oleh generasi Z, apakah terjadi pergeseran makna penting IPK?
Meski masih menjadi nilai penting, ternyata IPK tak lagi jadi satu-satunya angka kesuksesan yang dikejar mahasiswa. Hal ini dirasakan oleh Syafa Firdauza (22), mahasiswa Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP) Universitas Padjadjaran.
Ia merasa, IPK memang merupakan standar nilai dalam dunia perkuliahan yang menjadi tolok ukur kecemerlangan dalam dunia akademik. Namun, di masa kini, mahasiswa memiliki berbagai opsi di luar bidang akademik untuk berkembang.
Sebagaimana cerita Syafa, pada masa awal kuliah, mahasiswa baru cenderung merasa IPK adalah sesuatu yang sangat penting untuk dikejar. Seiring berjalannya masa perkuliahan, ia merasa IPK tak mudah dipertahankan.
Baca juga: Hobi Tonton Video Pendek, Anak Muda Jadi Susah Fokus?
Meski berada di jurusan antropologi yang para lulusannya banyak berkutat di bidang riset dan akademik, Syafa tak melulu menganggap IPK hal utama. ”Ditambah lagi, pas mulai magang, gue menyadari IPK tinggi itu tidak bisa jadi faktor tunggal yang bikin orang survive di dunia profesional,” ungkap Syafa pada Kamis (14/3/2024).
Hal yang sama dirasakan Dian Amalia Ariani (22), alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia 2024. Bagi fresh graduate ini, jalur kariernya tak ditentukan oleh IPK semata. Baginya, pembuktian kualitas seorang lulusan di masa kini bisa dinilai dari berbagai hal. Seperti bentuk karya dalam portofolio, prestasi di luar akademik, hingga berbagai pengalaman yang tertera di curriculum vitae (CV).
Karena itu, ia tak selalu skeptis akan tolok ukur kualitas mahasiswa melalui IPK. Ketika IPK mahasiswa berada jauh di bawah batas standar, menurut dia, bisa terdapat dua kemungkinan.
”Barangkali dia belum bisa bagi waktu dengan baik. Kedua, mungkin kemampuan akademiknya yang kurang, dan ini adalah kelemahan baginya,” kata Dian pada Rabu pekan lalu.
Bagaimanapun, dunia telah menjadi lebih padat, persaingan dunia kerja semakin ketat. Bagi Dian, perlu ada upaya lain untuk meningkatkan value diri. Misalnya, dengan mengasah soft skillsdan pengalaman lain di luar perkuliahan. ”Jadi, (aku pun) fokus ke sesuatu yang realistis dan diperlukan untuk masa depan,” ucapnya.
Kejar-kejaran
Pengalaman berbeda datang dari mahasiswa rumpun sains dan teknologi (saintek), Sasa Aulia. Bagi mahasiswa di jurusannya, teknik fisika, IPK 2,5 sampai 3,00 merupakan angka yang lumrah didapat.
Namun, di dunia karier di bidang jurusannya, IPK masih menjadi salah satu yang dilirik saat proses screening pelamar. Hal ini membuat Sasa dan teman-temannya tetap berupaya mengejar angka IPK yang baik.
”Ngejar IPK cum laude di teknik cukup susah, tapi aku punya target (IPK) untuk diriku buat minimal enggak di bawah 3.00 banget,” ujar mahasiswa Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada itu, Kamis (14/3/2024).
IPK di bawah 3.00 sebagai sesuatu yang lumrah di kalangan anak-anak teknik, menurut Sasa, diimbangi dengan pemakluman dari dosen-dosennya. Dosen-dosennya tak hanya berpaku pada IPK, tetapi juga karakter mahasiswa dalam mengerjakan tugas dan praktik.
Oleh karena itu, di samping mengejar IPK, Sasa merasa butuh mengasah hal lain untuk bekal kariernya, seperti komunikasi, kerja tim, dan tanggung jawab terhadap pekerjaan. Ia sadar, perusahaan–perusahaan impiannya pun melihat pelamar dengan berbagai tahap, seperti wawancara dan penilaian performa kerja.
Bisa jadi, pada sebuah semester dia sedang sibuk dengan hal lain, lalu mengalami penurunan. Atau barangkali, di sebuah mata kuliah, dia memang tidak begitu berminat. Tapi, bukan berarti dia sepenuhnya gagal dalam kuliah.
Dalam rumpunnya, selain soft skills, juga diperlukan ilmu-ilmu dasar dari hard skills yang akan digunakan di dunia kerja. Ini mendorong Sasa mengikuti organisasi yang berkutat di bidang otomotif dan gas-minyak.
”Makanya, aku juga pertimbangin ikut organisasi. Bukan cuma mengasah soft skills aja, tapi juga bisa menambah ilmu dari minat masa depanku,” kata mahasiswa yang berprestasi dalam bidang minyak dan gas ini.
Bukan utama
Bukan hanya mahasiswa yang merasakan perubahan perspektif tentang IPK. Salfia Rahmawati, dosen pembimbing akademik Antropologi FISIP UI, juga melihat fenomena tersebut.
Ia memaklumi pergeseran nilai tersebut. Orientasi dan prioritas mahasiswa terhadap masa depan sudah berubah seiring semakin terbukanya akses terhadap beragam kegiatan pengembangan diri.
Baginya, IPK merupakan akumulasi penilaian akademik mahasiswa dari berbagai mata kuliah, aspek nilai, kerja kelompok, serta semester-semester yang telah dijalani. Dengan demikian, IPK tidak begitu saja menjadi tolok ukur keberhasilan seorang mahasiswa.
”Bisa jadi, pada sebuah semester dia sedang sibuk dengan hal lain, lalu mengalami penurunan. Atau barangkali, di sebuah mata kuliah, dia memang tidak begitu berminat. Tapi, bukan berarti dia sepenuhnya gagal dalam kuliah,” tuturnya.
Dalam pandangannya sebagai dosen, ia justru menyayangkan jika mahasiswa memilih mata kuliah yang tak sesuai dengan minatnya hanya demi mengejar dosen yang bermurah nilai.
”Itu adalah dampak dari IPK yang dipandang sebagai karakteristik utama penilaian,” ungkapnya pada Jumat lalu. Esensi perkuliahan yang selalu ditekankannya kepada para mahasiswa adalah ketika mereka bisa mendapatkan pembelajaran yang sesuai minat, mengembangkan diri lewat kegiatan, serta menjalani kuliah dengan enjoy sehingga ilmu-ilmu mudah diterima.
Baca juga: ”Bookshaming”, Tantangan Baru Pencinta Buku
Bagi para dosen, IPK terkadang menjadi penilaian pertama yang dilihat karena sifatnya kuantitatif sehingga angkanya cukup konkret. Namun, itu juga bisa jadi jalan untuk para pembimbing akademik untuk melihat lebih jauh tentang mahasiswanya. Ketika mahasiswa mengalami penurunan IPK, misalnya, hal itu bisa menjadi evaluasi bagi dosen untuk melihat apakah terdapat permasalahan perkuliahan pada mahasiswa tersebut.
Lebih dari itu, Salfia selalu berharap mahasiswa bisa berkembang lebih dari sekadar kelas akademik. Di dunia yang semakin berkembang, para mahasiswa juga harus bisa berkembang dengan cara-cara yang lebih variatif juga. ”IPK memang jadi penilaian pertama yang dilihat secara kuantitatif, tetapi (bagi saya) itu bukan yang utama,” pungkasnya.
*Tulisan ini hasil kolaborasi dengan mahasiswa magang harian Kompas, Kamila Meilina, mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.