Hobi Tonton Video Pendek, Anak Muda Jadi Susah Fokus?
Kebiasaan menonton video durasi pendek membuat anak muda terbiasa untuk berpindah-pindah fokus.
Eksistensi video berdurasi pendek di platform Tiktok dan Instagram (reels) kian ramai digandrungi anak muda. Bukan hanya menimbulkan adiksi, ternyata juga ada dampak lain di balik hobi menonton video pendek. Sebagian anak muda seringkali kesulitan memusatkan perhatian saat menonton video panjang, atau membaca artikel panjang.
Hal ini dirasakan oleh Endita Lisdyaranti (21), salah satu anak muda pengguna aktif Tiktok dan Instagram. Endita mengungkapkan, ia bisa terpapar video pendek sampai maksimal 5 jam dalam sehari. Dengan sering terpapar video pendek, ia merasa minat literasinya pun cenderung menurun.
”Terkadang, ada pikiran seperti: saat bisa mendapatkan informasi dari menonton video durasi pendek, mengapa harus ke yang panjang?” ujar perempuan yang akrab disapa Ranti tersebut, Selasa (20/2/2024).
Ranti menyadari, gampang bosan dalam menonton video berdurasi panjang juga merupakan dampak yang ia rasakan.
Terkadang, ada pikiran seperti: saat bisa mendapatkan informasi dari menonton video durasi pendek, mengapa harus ke yang panjang?
”Karena kebiasaan nonton durasi pendek itu, saat disuguhkan yang (berdurasi) lama, terkadang jadi kayak, ’Ah, ini apa, sih? Lama banget’,” kata mahasiswi Komunikasi Digital dan Media Institut Pertanian Bogor tersebut.
Meski begitu, Ranti mengaku masih sering berusaha mencari informasi yang lebih lengkap. Ini seperti melakukan riset dari artikel berita yang kredibel, jurnal penelitian, dan literatur lainnya yang relevan.
”Meskipun minat (membaca) menurun, aku sadar enggak bisa selalu hanya mendapatkan informasi yang sudah terpotong-potong,” lanjutnya.
Hal serupa dirasakan oleh Muhammad Rafi (22). Mahasiswa Antropologi Universitas Indonesia (UI) ini juga merasakan dampak akibat seringnya berselancar di media sosial Tiktok. Baginya, konsentrasinya menurun cukup signifikan saat mencari sumber-sumber video di luar Tiktok.
”Tiktok itu fast-paced banget, ya. Jadi, begitu lihat hal-hal lain, gue jadi secara naluri nyari yang fast-pace atau yang sama ringannya juga (dengan video Tiktok),” ungkapnya pada Jumat (23/2/2024).
Dalam hal informasi yang beredar dari video-video pendek tersebut, preferensi Rafi justru ada pada sosok yang menyampaikan informasi tersebut. Menurut dia, tak semua informasi yang beredar itu bersumber dari orang yang tidak kredibel. Ada juga para ahli atau orang dari profesi tertentu yang menggunakan media Tiktok atau Instagram Reels untuk memberikan edukasi.
Bagaimanapun, Rafi melihat, informasi yang beredar itu harus tetap ditelusuri lebih lanjut ketika diunggah oleh akun yang mencurigakan. Bahkan, harus dipertanyakan dan dikritisi lebih jauh ketika yang menyampaikan seorang ahli, tetapi informasi yang disampaikan berada di luar bidangnya. ”Jadi, ya, menurut gue fifty-fifty, sih,” ujarnya.
Tiktok itu fast-paced banget ya. Jadi, begitu lihat hal-hal lain, gue jadi secara naluri nyari yang fast-pace atau yang sama ringannya juga (dengan video Tiktok).
Hampir selaras, Ranti juga menyoroti dampak rawannya misinformasi dalam video pendek. Sebab, dengan durasi yang pendek, tentu isi video pun berupa informasi yang setengah-setengah.
”Misalnya, kadang ada kompilasi judul berita yang dipotong dan dimasukkan ke dalam video pendek. Jurnalis-jurnalis sudah capek panjang-panjang cerita, eh, yang ditunjukkan cuma judulnya. Itu bisa menimbulkan kesalahpahaman,” lanjut Ranti.
Di sisi lain, menurut Ranti, video pendek juga dapat memicu penonton untuk mencari sendiri informasi yang lebih lengkap. Misalnya, video pendek berisi potongan-potongan scene sebuah podcast. Biasanya, potongan-potongan itu dapat memicu Ranti untuk menonton versi lengkapnya di Youtube.
”Jadi, potongan-potongan atau video pendek itu enggak selamanya buruk selama kita punya inisiatif untuk keluar dari zona nyaman,” ucap Ranti.
Tak hanya sebagai pengguna, Ranti juga merupakan pembuat konten video pendek, khususnya di Tiktok. Sebagai content creator, tentu sulit baginya untuk benar-benar berhenti terpapar dengan video pendek. Ranti sendiri membuat konten seputar dinamika seorang komuter atau pengguna transportasi umum sehari-hari.
Baca juga: ”Fun Run”, Cara Anak Muda Seru-seruan dengan Sehat
Melawan ”attention span”
Sebagai anak muda yang hobi membaca buku, Grace Rode Lanitaman (22) pun mengakui hampir selalu scrolling video-video pendek di sela waktu luang. ”Walaupun aku tetap suka membaca buku, enggak bisa dimungkiri kalau nonton video pendek, ya, lebih senang,” tutur mahasiswi Sastra Inggris Universitas Indonesia tersebut.
Selaras dengan Rafi dan Ranti, Grace juga merasa informasi dari video pendek seringkali sumbernya tak jelas. Jadi, ia lebih memilih memanfaatkan video pendek ini sebagai sarana hiburan yang informatif, bukan sebagai sarana utama pencarian informasi.
Bagaimanapun, Grace menyadari generasi muda yang sudah telanjur nyemplung di dalam hobi scrolling video pendek. Oleh karena itu, Grace memanfaatkan platform Tiktok sebagai sarana membuat konten review buku.
”Harapannya, me-review buku di video pendek ini jadi umpan untuk penonton sehingga mereka tertarik untuk membaca buku keseluruhannya,” lanjutnya.
Baca juga: ”Bookshaming”, Tantangan Baru Pencinta Buku
Namun, Grace tetap menekankan pentingnya melawan attention span yang semakin singkat. Tentu, dengan tetap melirik medium lain yang memberikan informasi panjang.
”Dulu, orang muda gemar membaca buku tebal. Namun, kalau kini, kita lebih memilih bacaan yang sangat singkat, kemudian maunya nonton video yang enggak sampai semenit. Takutnya, kelak anak-anak kita tak lagi mau baca rambu lalu lintas,” tutur Grace sambil tersenyum getir.
Sebagai mahasiswa penikmat novel, Rafi juga berupaya tetap memberdayakan hobi membacanya untuk kembali meningkatkan daya fokus. Kalau buku terdengar berat dan butuh waktu panjang untuk dikulik, ia menyarankan untuk mulai dari buku ringan seperti novel atau pengetahuan populer.
”Hal pertama yang dicari itu kenyamanan kita dulu dalam membaca. Saat sudah nyaman dan klik dengan membaca, kita pasti akan jadi haus dan penasaran dengan buku-buku lainnya,” ungkapnya.
Rizqina Ardiwijaya, psikolog anak dan remaja, menjelaskan, perpindahan yang cepat antara satu tontonan ke tontonan lainnya ini memang dapat berpengaruh pada rentang fokus. ”Beberapa penelitian pun menyatakan demikian. Dengan (kebiasaan menonton) durasi video pendek, jadi terbiasa untuk berpindah-pindah fokusnya. Pola perilaku ini juga yang mungkin telah tergeneralisasi dalam kehidupan sehari-hari,” tutur psikolog lulusan Universitas Indonesia itu.
Baca juga: ”Jay Park” Pun Hijaukan Hutan Harapan
Menurut dia, penting bagi anak muda untuk mengetahui rentang fokus diri sendiri terlebih dahulu. Misalnya, dalam remaja usia 16 tahun, rentang fokus yang seharusnya adalah sekitar 32 menit.
”Untuk mengetahui rentang fokus atau batas atensi (perhatian) yang optimal, rumusnya adalah usia dikali dengan 3-4 menit. Jadi, bisa kita cari video atau tontonan yang durasinya di rentang tersebut,” pungkas Rizqina.
--
Artikel ini merupakan kolaborasi dengan intern Kompas: Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia; dan Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.