Sikap mempermalukan para pembaca buku atau ”bookshaming” berdampak negatif terhadap pencinta buku. Ini perlu dilawan.
Oleh
BUDI SUWARNA
·3 menit baca
Beberapa tahun belakangan, muncul istilah bookshaming pada kebiasaan membaca atau pilihan buku seseorang. Kenapa pilihan buku seseorang saja sampai diejek?
Biasanya, bookshaming terjadi karena ada anggapan bahwa buku tertentu kurang keren, terlalu ringan, atau bahkan terlalu berat. Hal ini pernah dirasakan Anak Agung Salvira Gayatri yang akrab disapa Vira (21). Penggemar dan pengoleksi komik ini pernah diledek lantaran minatnya pada fiksi bergenre romansa. Itu terjadi saat ia masih duduk di bangku SMP.
Coba sesekali mereka (pelaku bookshaming) baca buku-buku yang mereka anggap remeh itu. Bisa jadi, mereka bisa berpendapat yang negatif, ya, karena belum baca saja. Jangan-jangan, setelah baca malah ikut suka juga.
”Saat itu, diledek sama kakak-kakak gue, ’Ih, alay’. Soalnya mereka cowok semua, kan. Walaupun bercanda, gue tetap merasa enggak enak aja,” kata lulusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia tersebut.
Bookshaming juga dirasakan Nabila Dwiputri (25), inisiator gerakan #BacadiSurabaya & Literatour. Selain karena genre buku yang dibaca, bookshaming juga bisa dilontarkan karena kebiasaan membaca orang lain. Orang yang punya kebiasaan membaca, misalnya, sering kali dicap sok pintar.
Label itu pernah disematkan pada Nabila semasa SMA yang saat itu gemar membaca hingga tak bisa meninggalkan buku-buku dari genggamannya. ”Saat ada satu anak yang berbeda dengan yang lain, anak itu dianggap aneh. Seperti aku, ketika yang lain main di kantin atau di lapangan, aku sendirian membaca buku,” cerita Nabila.
Padahal, baginya, membaca di tempat umum itu bukan soal ingin terlihat pintar. Membaca hanyalah bentuk kesenangannya. ”Enggak semua orang membaca buku itu untuk belajar (tentang topik) yang berat-berat. Ya, pengin baca aja, gitu,” ungkapnya.
Menurut Nabila, bookshaming juga bisa terjadi karena ketidaktahuan orang lain terhadap latar belakang minat baca seseorang. Ia, misalnya, memang suka membaca sejak kecil karena didikan dan kebiasaan keluarga.
Terpengaruh
Akibat bookshaming, Nabila mengaku kebiasaannya membaca sempat terpengaruh. Ia jadi suka memilih-milih tempat membaca. Ia lebih nyaman membaca buku di rumah serta lebih waspada saat harus membaca buku di ruang publik.
Vira juga merasakan dampak bookshaming terhadap kebiasaan membaca. Ia, misalnya, berhenti sementara membaca buku bergenre fiksi romansa. ”Karena diledekin, jadi lebih sering ngikutin bacaan sesuai selera kakak-kakak gue, yang mana bacaan-bacaan mereka memang lebih populer saat itu,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, Vira yang telah mengeksplorasi banyak genre kembali membaca fiksi romansa, baik melalui komik maupun novel. ”Kalau kita enjoy, omongan orang enggak perlu dipikirin!”
Ia yakin mindset yang tepat dalam menanggapi bookshaming memang penting. Namun, yang terutama, seharusnya orang-orang yang senang melakukan bookshaming bisa bersikap lebih bijak.
”Coba sesekali mereka (pelaku bookshaming) baca buku-buku yang mereka anggap remeh itu. Bisa jadi, mereka bisa berpendapat yang negatif, ya, karena belum baca saja. Jangan-jangan, setelah baca malah ikut suka juga,” tuturnya.
Senada dengan Vira, Nabila merasa bahwa bookshaming dilakukan oleh mereka yang kurang hobi atau kegiatan. ”Karena mereka, kan, seharusnya punya banyak hal yang bisa diurus selain kebiasaan membaca orang lain.”
Nabila percaya, membaca buku apa pun dan mendapat akses ke ruang baca mana pun adalah hak semua orang. Vira beranggapan sama. Bagi Vira, cocok atau tidaknya kita dengan sebuah buku, tetaplah merupakan preferensi pribadi yang sah-sah saja.
Tulisan ini hasil kolaborasi dengan peserta program magang Kompas, Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dan Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.