Humor Emansipatoris Perkara-perkara Nyaris Puitis
Dalam kumpulan puisi Hilmi Faiq ini, ditemukan sejumlah puisi humor emansipatoris. Humor yang tak saja membedakan kita dengan hewan, tetapi juga yang membangkitkan dan/atau meningkatkan keberdayaan kemanusiaan kita.
Judul Buku : Perkara-Perkara Nyaris Puitis
Penulis: Hilmi Faiq
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: 196 halaman
ISBN: 9786020670614
Kata-kata adalah gerbang menuju pertemuan. Pertemuan kau dan aku yang memungkinkan kau dan aku malih menjadi kita. Menjadi kita pun bertemali dengan semesta dan Sang Maha Pencipta.
Namun, kata-kata tidak niscaya begitu. Penggunaannya yang serampangan dan rutin belaka untuk kepentingan-kepentingan banal dan sempit dalam keseharian membuat kata-kata kehilangan daya mengungkapkan kompleksitas kedalaman dan keluasan.
Penyair seperti Hilmi Faiq berkata-kata sebagai ikhtiar mengembalikan daya kata tersebut. Kumpulan puisi penyair yang pula jurnalis dan cerpenis ini, Perkara-Perkara Nyaris Puitis (GPU, 2023) memperlihatkannya.
Dalam ikhtiarnya, Faiq yang lahir di Lamongan, Jawa Timur, melakukannya juga dengan humor. Humor ini dapat mengingatkan kita kebiasaan berbahasa yang demikian saja, tanpa memikirkannya, yang membuat kita tergelak menertawakan kekhilafan kaprah kita sendiri. Puisi ”Belajar Bahasa yang Baik dan Mendingan #1” dan ”Belajar Bahasa yang Baik dan Mendingan #2”, misalnya, bisa membuat kita mengalami itu.
Kedua tajuknya yang bertaut dengan, atau pelesetan dari, ”bahasa Indonesia yang baik dan benar” ini amat mungkin sudah membuat kita nyengir dan sekaligus menangkap isyarat bahwa dua puisi tersebut adalah puisi (yang mengandung) humor. Dan memang demikian. Bait pertama keduanya sudah menguatkan isyarat kedua tajuk itu.
Dalam ikhtiarnya, Faiq yang lahir di Lamongan, Jawa Timur, melakukannya juga dengan humor.
Bait pertama puisi pertama: Di tengah pelajaran yang menyenangkan, / Pak guru berpesan: ”Berbahasa Indonesialah / yang baik dan mendingan.” / Aku dan teman-teman patuh belaka menjalankan.
Bait pertama puisi kedua: Baiklah, aku akan terus belajar bahasa. / Jika rambutan karena berambut dan durian karena berduri / Ini jeruk macan di mana macannya?
Narator kedua puisi tersebut sama; seorang murid sekolah dan sekaligus anak dari satu keluarga yang tabiatnya agak bandel. Narator yang demikian menjadi berterima kala ia berujar pada puisi pertama:
Lalu, aku mencari kata dan memadankan bendanya
: Adik, anak dari ibu kandung;
: Kakak, anak paling badung.
Dan pada puisi kedua, sang narator berujar:
Kali ini aku melihat adikku makan bubur bayi
Dan kakakku makan bubur ayam
”Jika bubur bayi untuk bayi, ini bubur ayam kenapa kakak
makan?” tanyaku heran, tapi kakak tetap saja makan.
Aku makin bingung belajar bahasa
Besok aku akan tanya Pak guru,
Bagaimana cara berbahasa Indonesia yang baik dan mendingan.
Saya tidak tahu apa besoknya anak itu bertanya kepada gurunya perihal cara berbahasa Indonesia yang baik dan mendingan. Saya hanya menafsir kedua puisi tersebut juga menyoalkan perkara sistem dan aktor pengajaran bahasa serta politik bahasa di negara kita.
Barangkali Faiq memandang bahwa perkara-perkara demikian menentukan bagaimana kemudian kecenderungan berbahasa puluhan juta anak-anak, yang itu menentukan bagaimana mereka menalar, merasa, dan berimajinasi. Kecenderungan berbahasa anak-anak bangsa lainnya pun banyak ditentukan oleh kebijakan tersebut.
Ada mungkin yang memandang kebijakan-kebijakan bahasa pemerintah adalah perkara ringan yang tak perlu kita pikirkan, tak perlu kita bincangkan. Namun, siapa bisa hidup di luar bahasa?
Martin Heidegger menulis, ”Bahasa adalah rumah ada. Di dalam rumah ini manusia berdiam. Para pemikir dan penyair adalah para pengawasnya. Pengawasan mereka pemenuhan penyingkapan diri sang ada, sejauh mereka menyuarakan pemakluman dan merawatnya di dalam bahasa.”
Ludwig Wittgenstein mengatakan, ”batas bahasaku adalah batas duniaku.” Dunia saya dan dunia Anda berakhir ketika bahasa saya dan bahasa Anda menemui batasnya. Kita merasa betah dan bersahabat, seakan merasa berada di rumah kita sendiri, tatkala saya memahami bahasa yang dilontar orang- orang”. Murid Heidegger yang sohor sebagai tokoh hermeneutika, Hans-Georg Gadamer, meneguhkan pandangan gurunya dan Wittgenstein, ”Tidak ada pengalaman tanpa bahasa.”
Entah berapa kali sudah saya membaca ”Anjing”. Namun, setiap membacanya, selalu saja tertawa.
Bahkan, pengalaman manusia dengan hewan pun bertemali atau terjadi dengan bahasa. ”Anjing” menunjukkannya. Puisi ini menggambarkan ”seorang perempuan muda / berbaju olahraga / berlari kecil memegang / tali berujung seekor anjing”.
”Sit! Run!”
Lalu anjing itu
lari setelah duduk
Penurut sekali anjing itu.
Sempat saya berpikir
Memutus
pacar
dan ganti memelihara anjing saja
Perempuan tadi
sadar saya perhatikan.
“Selamat pagi, Mas.
Lari sendiri saja.”
Entah dia menyapa
atau meledek saya
Entah dia menghina
atau meninggikan saya
Kepada anjingnya
dia berbahasa Inggris
Kepada saya
dia berbahasa Indonesia
Entah berapa kali sudah saya membaca ”Anjing”. Namun, setiap membacanya, selalu saja tertawa. Hanya, saya tak pernah tertawa lebar. Selalu tawa saya cepat-cepat dibatasi rasa iba yang terbit dari ingatan akan salah kaprah modus berbahasa banyak kaum kelas menengah kota. Dalam berbahasa, mereka kerap lebih mengutamakan pencitraan diri yang tinggi. Mereka galib berbicara keminggris.
Memancing tawa dengan ”Anjing” bukan hasutan untuk menghancurkan rasa hormat kita akan kaum kelas menengah kota seperti perempuan itu, melainkan saya rasakan sebagai undangan untuk kita memikirkan lagi cara kita mengada (dengan dan dalam rumah bahasa).
Dari berlimpah puisi humor dalam kumpulan yang terdiri dari dua bagian ini, tak satu pun berbau humor yang umum disebut humor superior, humor yang meninggikan diri dengan merendahkan liyan yang minor.
Humor Faiq, setidaknya bagi saya, humor emansipatoris.
Humor Faiq, setidaknya bagi saya, humor emansipatoris. Humor yang tak saja membedakan kita dengan hewan, tetapi juga yang membangkitkan dan/atau meningkatkan keberdayaan kemanusiaan kita.
Hal itu bisa dicapai Faiq mungkin karena selain seorang penyair, dia juga cerpenis dan jurnalis, yang peka dan terlatih menulis cerita serta berita yang bernas dan memikat. Humor-humornya lahir dengan bangunan puisi naratif yang membetot sejak awal hingga akhir, bahkan hingga tak berakhir, hingga kita ingin membaca dan membaca dan membacanya kembali.
Untuk saya, dalam kumpulan ini, ”Lingkaran” adalah puisi paling memperlihatkan ketangkasan Faiq dalam menjalin puisi naratif.
Tentu Perkara-perkara Nyaris Puitis bukanlah kumpulan puisi humor. Tak sedikit puisi serius ditemukan dalam buku tersebut. Namun, seperti kata Huizinga, batas antara main-main dan serius lebih sering tipis dan relatif. Di dalam main-main, ada keseriusan. Di dalam keseriusan, ada main-main. Tatkala keseriusan hadir tanpa main-main, sedikitnya itu membuat terlalu banyak kerutan di jidat kita. Begitu pula puisi Faiq, seperti ”Kapokmu Kapan” yang di bawah tajuk tersebut tercetak: untuk pengantin bom bunuh diri.
Untungnya, puisi seperti itu satu dua belaka. Selebihnya, yang berarti kebanyakan, adalah puisi-puisi yang potensial mengemansipasi kita, yang memungkinkan sehabis membaca mereka kita lahir kembali sebagai manusia berkesadaran baru dan tercerahkan. Sebagai pamungkas, mari kita baca seutuhnya ”Pneumonia”, puisi humor Faiq yang padat-bernas:
Dadaku terdiri dari Senin dan Kamis.
Hikmat Gumelar Penyair dan Koordinator Program Institut Nalar Jatinangor
Baca juga : ”Nyutrayu”, Menantang Bias Feminisme