Program magang bisa memberi hasil yang berbeda bagi pesertanya. Jadi optimistis atau malah traumatis?
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·5 menit baca
Program magang kerja bisa memberi hasil yang berbeda bagi peserta yang menjalaninya. Ada yang merasa mendapat tambahan pengetahuan dan keterampilan. Ada pula yang malah trauma dan akhirnya memutuskan tidak akan menggeluti bidang tempat ia magang.
Sisi terakhir itu yang dialami Aisha Ferkin (22), mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Indonesia (UI), yang magang di sebuah organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ia terkaget-kaget saat mendapat tugas turun ke lapangan untuk mencari data dalam waktu singkat. Akibatnya, ia harus uber-uberan dengan waktu. Tak hanya itu, ia terpaksa mengorbankan waktu libur demi lembur menyelesaikan tugas.
”Selama kuliah, aku menangkap bahwa antrop (antropologi) berkaitan dengan turun langsung ke masyarakat adat, tinggal bersama mereka, dan mempelajari kehidupan mereka,” ujarnya pada Rabu (31/1/2024) di Kampus UI, Depok, Jawa Barat. Ia membayangkan magang yang akan ia jalani menarik dan sejalan dengan jurusan kuliahnya.
Awalnya ia mengira, ketika turun ke lapangan selama magang lima bulan di LSM yang berfokus pada advokasi masyarakat adat, ia akan punya cukup waktu untuk tinggal dan mempelajari kelompok masyarakat adat yang jadi sasaran pendataan. Ternyata ia salah. Proses pengumpulan data lapangan hanya satu-dua minggu sehingga tak cukup waktu untuk mengenal kelompok adat lain.
Ia kalang kabut ketika harus mencari data masyarakat adat di Kalimantan. Keterbatasan waktu membuat pengerjaan tugas kerap tak mulus. Memang, ia tak sendirian. Ada teman magang lain dalam satu kelompok. Namun, lagi-lagi singkatnya waktu kunjungan ke warga sasaran membuatnya pening.
Bagaimanapun, mendata masyarakat adat tidak bisa dilakukan secara cepat mengingat perlu pendekatan pada sasaran. Waktu luang warga juga tak menentu, tergantung dari kesibukan mereka.
Selain itu, tak semua warga mau berkompromi. ”Kami harus siap mengalokasikan waktu libur untuk turlap (turun lapangan). Ketika turlap pun diwarnai berbagai dinamika. Misalnya, ada kelompok masyarakat menolak advokasi yang kami lakukan dan memberi data yang kami butuhkan dalam waktu singkat,” ungkap Aisha.
Pengalaman itu membuatnya trauma dan ragu menekuni karier di LSM. ”Aku kepikiran untuk menyelami dunia penelitian yang cakupannya lebih luas, kayak penelitian terapan, untuk karierku ke depan,” katanya.
Lydia Tesaloni (21), mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran, yang sebentar lagi diwisuda, juga punya pengalaman magang yang tak sesuai dengan harapan di sebuah media daring di Jakarta Pusat. Sebelum magang, ia membayangkan akan sering terjun ke lapangan. Alih-alih diterjunkan ke lapangan, ia hanya diberi tugas menulis dan menyadur artikel-artikel yang sifatnya umum selama tiga bulan.
Padahal, menurut dia, esensi praktik kerja bagi mahasiswa jurnalistik adalah turun ke lapangan serta bertemu dan belajar dari banyak orang. ”Kalaupun setelah liputan ternyata output-nya belum sesuai dengan yang diinginkan, seharusnya di situ anak magang mendapat feedback dan diberi ruang untuk improve,” papar gadis yang disapa Tesa itu, Jumat (26/1/2024), di Jakarta Selatan.
Meskipun begitu, Tesa memahami bahwa keterlibatan anak magang pasti berbeda-beda di setiap tempat. ”Balik lagi, semua tergantung dari tempat kita magang juga, karena pasti berpengaruh pada perbedaan pengalaman kita,” ucapnya.
Makin mantap
Berbeda dengan Aisha dan Tesa, Syafina Putri (23) dan Fatma Bandar (21) justru mendapat pengalaman magang yang menyenangkan. Keduanya mendapat tambahan pengetahuan dan ilmu baru sesuai dengan jurusan kuliah. Hal itu membuat Syafina makin bersemangat menjadi guru dan Fatma berkarier di bidang periklanan.
Syafina, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menceritakan, dirinya magang sebagai guru di sebuah SMP. Ia merasa bahwa terhubung dengan anak-anak memberikan warna baru setiap hari. Hal yang sebelumnya tidak ia rasakan selama masa kuliah di kelas.
”Interaksi dengan anak-anak di sekolah itu menyenangkan karena kita mendapat cerita baru dari mereka setiap hari. Beda hari, beda tuntutan, beda tantangan,” katanya, Selasa (30/1/2024).
Mengajar memang bukan hal baru baginya. Sebab, sejak awal kuliah, ia sudah mengajar di bimbingan belajar (bimbel) dan privat, bahkan mengajar di sekolah dasar. ”Dari pengalaman mengajar sebagai tutor bimbel atau (les) privat selama kuliah, saya merasa bisa cukup mumpuni dalam menyampaikan materi. Dan, ternyata bisa nyaman dan pede (percaya diri) berada di depan siswa,” lanjut Syafina.
Ia tak peduli dan tak gentar terhadap stigma bahwa guru bergaji kecil dan kesejahteraannya kurang baik. Baginya, guru bukan sekadar memberikan materi kepada siswa, lalu mendapat gaji. Menjadi guru adalah soal mendidik dan menjadi panutan bagi murid-muridnya yang memiliki beragam karakter.
Mencicipi dunia kerja juga melebarkan pandangan terhadap berbagai teori selama kuliah. Fatma, yang baru lulus dari Ilmu Komunikasi peminatan periklanan UI, merasakan hal tersebut ketika magang di posisi marketing communication. Praktik kerja dia lakukan di sebuah industri pendidikan psikologi di Jakarta Selatan.
”Pekerjaan aku copywriting, riset konten, riset audiens, dan desain. Mungkin terkesan gitu-gitu aja, tapi tren, kan, selalu berkembang. Jadi, pengalaman yang aku sukai adalah gimana aku tetap beradaptasi dengan tren, menganalisis perilaku konsumen yang dinamis, dan lainnya,” tuturnya, di Depok, Sabtu (27/1/2024).
Posisi saat magang memang sejalan dengan jurusan, tetapi Fatma menyadari bahwa tetap ada ilmu-ilmu yang baru ia dapatkan saat magang. Salah satunya, belajar menyajikan data dan kreativitas dalam konten dapat hadir secara bersamaan.
”Kalau konten hanya (menonjol) di aspek kreatif, tapi tak menjawab permasalahan audiensnya, percuma saja. Kalau datanya enggak dikemas dengan kreatif, itu juga sama saja. Jadi, yang aku pelajari, data dan kreatif harus berjalan beriringan,” ungkap Fatma.
Berkat magang selama empat bulan, ia optimistis akan berkarier di bidang periklanan. Apalagi, ia sudah tertarik pada industri kreatif dan riset sejak SMA.
”Aku dari dulu suka bikin konten dan suka research. Makanya makin yakin saat magang karena ternyata beneran enjoy sama jobdesc-nya,” ucap Fatma. (*/**)
Hasil kolaborasi dengan peserta program magang Kompas: Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Indonesia, dan Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran.