Meme Politik yang Bikin Senyum
Ekspresi politik anak muda di media sosial menjadi lebih variatif. Tidak hanya narasi tekstual, tetapi juga meme.
Di tengah persaingan politik di tingkat elite yang semakin panas, warganet (netizen) secara kreatif ”meredakan tensi” politik dengan menyodorkan meme politik nan lucu dan menggelitik. Bagi banyak netizen, terutama yang muda-muda, persaingan politik elite tidak harus disikapi terlalu serius. Capek tau!
Seperti yang terjadi pada beberapa pemilihan presiden (pilpres) sebelumnya, meme-meme bermuatan politik juga bermunculan pada Pilpres 2024. Begitu selesai acara debat capres atau cawapres, aneka meme yang merespons isu dalam debat bertebaran di media sosial. Meme-meme anonim itu umumnya lucu-lucu, menggelitik, tapi juga getir.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam debat capres, Minggu (7/1/2024), misalnya, capres Prabowo Subianto dicecar aneka pertanyaan tajam dari dua capres saingannya. Setelah debat capres kelar, muncul meme bergambar dua karakter Kapten Tsubasa menyepak bola berbarengan. Karakter yang di sebelah kiri diberi tulisan ”Ganjar”, yang kanan dibubuhi tulisan ”Anies”. Nah, bolanya dibubuhi tulisan ”Pertanyaan ke Prabowo”.
Sebelumnya, pada debat cawapres, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin tertangkap kamera sedang menuliskan sesuatu di buku catatannya. Seusai debat cawapres, muncul aneka meme yang berspekulasi tentang catatan yang dibuat Cak Imin.
Ada meme yang berspekulasi Cak Imin menulis kata: ”Slepet slepet slepet”. Ada pula beberapa meme yang berspekulasi Cak Imin sedang menggambar garis-garis ruwet atau bentuk-bentuk aneh.
Beberapa meme soal debat capres atau cawapres dibuat dengan sedikit kasar. Kandidat yang berdebat diibaratkan oleh meme sebagai orang yang sedang banting-bantingan atau tawuran.
Munculnya meme-meme seperti itu memberi warna lain pada wajah politik yang dianggap serius sehingga tidak menarik bagi sebagian anak muda. Hal itu dirasakan juga oleh Inas Annisa (21), mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.
”Selama proses bertumbuh, di sekitarku itu internalized value-nya adalah politik tuh terlalu serius, berat, kotor, dan lain-lain. Aku merasa (cara berpikir) seperti itu udah enggak seharusnya dimiliki lagi oleh anak muda,” ungkap Inas, Rabu (10/1/2023).
Meme sebagai bentuk simplifikasi atas peristiwa politik, buat Inas, lebih mudah dipahami. Karena itu, selain rajin menuliskan ”pendapat seriusnya” soal politik di akun Twitter atau sekarang bernama X, ia juga rajin menyebar ulang meme yang ia anggap menggelitik. ”Saat aku malas untuk diskusi di ranah politik, aku berinteraksi dengan pendekatan dari sisi nyeleneh, yaitu melalui meme,” tambahnya.
Baca juga : Magang Jadi Wartawan Tak Terlupakan
Yabes Butarbutar (21), mahasiswa jurusan geografi di sebuah universitas di Jakarta, juga kerap membagikan ulang cuitan-cuitan berisi meme melalui aplikasi X pascadebat capres. ”Bisa dibilang ini citizen reporting, di mana orang-orang melaporkan secara langsung di X (mengenai) apa yang terjadi,” ucapnya melalui pertemuan daring, Selasa (9/1/2023).
Melalui akun yang telah ia miliki sejak 2019 itu, Yabes bersuara lantang seputar isu politik, baik dengan nada serius maupun humor. Ia melihat, candaan politik, terutama meme, menjadi hal yang lazim. Fenomena seperti ini tidak hanya muncul saat pilpres di Indonesia, tetapi juga pilpres di Amerika Serikat.
Baik Inas maupun Yabes sadar bahwa meme kadang memicu beragam reaksi ketika disebarkan di media sosial. Yabes melihat, meme bisa memantik pertengkaran di kalangan netizen jika mengandung hoaks. ”Meme yang awalnya dibuat sebagai ekspresi satu arah bisa jadi sumber perpecahan ketika dibumbui hoaks di dalamnya,” katanya.
Sementara itu, Inas melihat, faktor yang memicu pertengkaran di media sosial adalah kecenderungan sebagian warganet untuk menolak ide yang berbeda. ”Meme yang bertolak belakang dengan (pendapat) mereka dianggap sebagai serangan. Mereka tidak melakukan riset kenapa bisa ada meme seperti itu,” ujarnya.
Imam Ardhianto, antropolog dari Universitas Indonesia sekaligus pengamat politik, melihat bahwa bentuk partisipasi dan ekspresi politik generasi muda saat ini tidak lepas dari tren ekspresi yang mendominasi di media sosial. Bentuk pengekspresiannya mengikuti ekosistem sosial yang ada.
”Jika di masa lalu di Twitter banyak komik, mereka menggunakan komik. Ketika banyak testimoni, mereka akan menggunakan testimoni. Jadi, dari segi cara mengekspresikan itu memang mereka mengikuti apa yang sudah ada di ekosistem media sosial. Sifatnya dinamis,” tuturnya.
Baca juga : Anak Muda di Relung-relung Kafe
Kini, ekspresi politik anak muda di media sosial menjadi lebih variatif. Tidak hanya narasi tekstual, tetapi juga bentuk-bentuk audiovisual, seperti potongan video dan gambar meme politik.
”Meme itu punya bentuk beragam, semuanya itu pasti humor. Tapi, cara humor dibangun, kan, punya varian. Ada dark humor, ada satire, ada macam-macam,” ucap Imam.
Ia melihat, peralihan dari satu bentuk humor ke humor yang lain mencirikan adanya perubahan orientasi kaum muda dalam mengekspresikan dan menjelaskan politik.
(Kolaborasi dengan peserta program magang Kompas: Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran; dan Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia)