”Icip-icip” kebudayaan dialami para mahasiswa yang ikut program pertukaran. Mahasiswa pun belajar arti keberagaman.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Apa rasanya kuliah di tempat yang serba berbeda dengan kampung halaman? Bahasanya beda, suasana kota beda, bahkan jam malamnya pun beda. Gegar budaya sudah pasti dirasakan. Namun, asal mau beradaptasi, pengalaman itu justru menjadi petualangan baru tak terlupakan.
Silfia Arzakina (22) sempat merasakan serunya tinggal di Banda Aceh selama satu semester pada 2022. Kala itu ia adalah peserta program Pertukaran Mahasiswa Merdeka yang digagas pemerintah. Program itu ditujukan kepada mahasiswa yang ingin merasakan pengalaman berkuliah di pulau berbeda.
Mahasiswa Jurusan Biologi di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, ini memutuskan bertualang ke ujung utara Pulau Sumatera. Pilihannya jatuh ke Universitas Syiah Kuala (USK), Banda Aceh, yang dinilainya bereputasi baik. Pada 2022, USK menduduki peringkat ke-9 sebagai perguruan tinggi dengan inovasi terbaik tingkat nasional menurut Scimago Institutions Rankings (SIR).
Selain itu, ia penasaran dengan keunikan Aceh, berikut masjid-masjid ikoniknya. Ia ingin merasakan sendiri budaya di sana sehingga tak ragu memilih pergi ke Aceh.
Program itu ditujukan kepada mahasiswa yang ingin merasakan pengalaman berkuliah di pulau berbeda.
Silfia tak menampik, ia sempat merasakan gegar budaya alias culture shock setibanya di Banda Aceh. Syariat Islam dilaksanakan dengan begitu taat di sana, berbeda dengan Jawa Tengah yang lebih moderat.
”Semua toko tutup sementara saat azan. Jadi, benar-benar menghormati azan, sedangkan di Jawa—sebagai daerah yang lebih heterogen—masih beraktivitas seperti biasa kalau azan,” ucap Silfia melalui pertemuan daring, Selasa (16/1/2024).
”Selain itu, Aceh masih mempertahankan norma-norma, seperti perempuan enggak boleh keluar di atas jam 9 malam. Selesai Magrib mesti sudah di rumah masing-masing,” sambungnya.
Hiburan yang terbatas juga jadi tantangan baginya. Saat di Semarang, Silfia mudah saja membeli makanan karena ada banyak restoran cepat saji. Mal-mal pun tersedia. Kondisi ini berbeda dengan Banda Aceh yang hanya memiliki satu mal dan restoran cepat saji yang terbatas.
Alih-alih patah arang, Silfia justru beradaptasi dengan keadaan dan jadi sering memasak. Akses transportasi yang terbatas juga diatasi dengan berjalan kaki. Selama empat bulan, Silfia kerap berjalan kaki ke kampus selama 30 menit.
”Justru karena challenging (menantang), aku enggak ada keraguan saat milih Aceh. Aku pengin ngerasain sendiri bagaimana budaya di Aceh,” ujar Silfia.
Gegar budaya pun dialami mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana di Nusa Tenggara Timur, Fransiskus Xaverius Angelo Usfomeni (20). Orang-orang di kampung halamannya terbiasa berbicara dengan nada tinggi. Namun, hal itu rupanya tak umum buat teman-temannya di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ).
”Saat kami, mahasiswa dari Timur, berbicara dengan dialek dan nada bicara yang tinggi, kami sempat dianggap seperti sedang marah,” ujar lelaki yang akrab disapa Ancis itu.
Tantangan belajar
Selain menghadapi perbedaan budaya, para peserta program pertukaran juga mesti menyesuaikan diri dengan sistem perkuliahan yang baru. Mahasiswa Universitas Bumigora di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Galuh Zakiyatun (23), merasakan berbedanya sistem belajar saat melakukan pertukaran di Universitas Padjadjaran (Unpad), Jawa Barat. Tak pelak hal ini menjadi tantangan baginya.
”Kampusku biasanya langsung memberikan tugas, lalu kita menyelesaikannya. Belum sering diarahkan untuk membaca banyak referensi. Sementara di Unpad, kita ditantang untuk mencari sendiri dan banyak membaca jurnal ilmiah untuk referensi,” kata Galuh.
Beruntung, Galuh banyak menerima bantuan dari mahasiswa ’asli’ Unpad. Ia sebenarnya sempat merasa canggung di kelas, tetapi kemudian membuka diri dengan menyapa teman-teman barunya. Baginya, aktif bersosialisasi adalah kunci agar dapat berbaur dengan lingkungan.
”Mereka jadi berusaha membuka diri dengan bertanya-tanya tentang daerah kami, seperti bagaimana di sana? Ada apa saja? Suasana, wisata, sampai makanannya apa saja. Jadi, kami sama-sama bertukar tentang daerah masing-masing,” ucapnya.
Adapun Ancis tak mau santai-santai saja saat kuliah. Ia mencoba proaktif di kelas dan di tugas-tugas yang dikerjakan. Menurut dia, ini cara agar ia ”terlihat” dan dirangkul teman-temannya.
Silfia pun memandang bahwa cara paling efektif untuk berteman adalah dengan banyak bertanya. Dari situlah percakapan dan pertukaran budaya terjadi. Tak jarang Silfia bertukar pengalaman selama kuliah di Semarang. Ia juga kerap menerima ilmu baru dari teman-temannya di USK.
”Pokoknya enggak ada yang membeda-bedakan. Yang penting kitanya mau beradaptasi dan enggak eksklusif. Karena kita, kan, tamu, jadi harus kita yang banyak bertanya,” ucap Silfia. ”Di sisi lain, aku sadar betapa terfasilitasinya kita yang kuliah di Pulau Jawa. Aku juga sadar pendidikan kita belum merata dan masih tersentral di Jawa.”
Pengalaman mahal
Walau sederet tantangan dihadapi, baik Silfa, Ancis, maupun Galuh sepakat bahwa program pertukaran mahasiswa ini adalah pengalaman mahal dalam hidup. Mereka dibenturkan dengan berbagai ketidaknyamanan dan mau tak mau harus beradaptasi. Pribadi yang tangguh dan fleksibel pun terbentuk.
Pertemuan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang turut memperkaya pengalaman hidup. Keterampilan komunikasi jadi terasah. Pertemuan itu juga membentuk pribadi yang terbuka dan toleran.
”Dorong mahasiswa untuk keluar dari ruang kelas karena mengasah kemampuan. Mahasiswa digesekkan dengan pergaulan, keberagaman, dan hal-hal baru dan ketidaknyamanan,” kata Direktur Beasiswa Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) Dwi Larso (Kompas.id, 15/6/2023).
Program pertukaran ini juga membuat mahasiswa semakin paham akan keberagaman budaya. Bukannya tak mungkin bahwa di masa depan mereka bakal menjadi tunas pemelihara kebinekaan. Semoga saja!
Kolaborasi dengan Intern ”Kompas”: Chelsea Anastasia, Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran