Membawa Mahasiswa Keluar dari Zona Nyaman
Kebijakan Kampus Merdeka menawarkan peluang bagi mahasiswa untuk belajar di luar kampus dan multidiplin untuk bekal di dunia profesional. Hal ini memberi para mahasiswa wawasan dan pengetahuan baru.
Generasi muda akan menghadapi masa depan yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Pendidikan yang relevan agar anak-anak muda siap memasuki dunia profesional secara lincah, adaptif, dan mampu mengatasi masalah secara kreatif dan inovatif makin dibutuhkan.
Sejak tiga tahun lalu lewat kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), transformasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai. Para mahasiswa diajak keluar dari zona nyaman untuk membekali diri dengan ilmu dari program studi lain di kampus sendiri atau kampus lain.
Tak kalah menarik, bisa satu sampai dua semester mahasiswa belajar di luar kampus dengan pengakuan satuan kredit semester. Ada yang terlibat membangun desa, melakukan proyek kemanusiaan, magang dalam perusahaan kelas dunia, studi independen untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dalam pelatihan teknologi, penelitian, mengajar siswa SD dan SMP di pulau pulau terluar Indonesia untuk membantu pembelajaran literasi dan numerasi, pindah kampus di dalam dan luar negeri, serta membangun usaha sendiri.
Saya jadi mendapat pencerahan, bahwa ilmu politik pun bisa berkolaborasi dengan teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan pada publik.
Selama dua tahun ini, selebrasi dari berbondong-bondongnya mahasiswa Indonesia belajar di luar kampus dirayakan secara meriah lewat Festival Kampus Merdeka (FKM). Di tengah sorotan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan G20, sekitar 400 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang mengikuti berbagai program unggulan Kampus Merdeka yang dilakukan Kemendikbudristek berkumpul di Denpasar, Bali pada 14-15 Desember 2022.
Jika pada FKM kesatu yang berpusat di Jakarta para maahasiswa peserta Kampus Merdeka berkesempatan untuk berdialog langsung dengan Presiden Joko Widodo, kali ini mahasiswa dapat mendengarkan dialog Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim bersama CEO Tesla Inc Elon Musk secara virtual. Bahkan, ada kesempatan bagi sejumlah mahasiswa untuk bertanya apa yang dibutuhkan untuk menjadi sosok sukses seperti Elon Musk.
Mengubah hidup
Nadiem mengatakan Kampus Merdeka membawa mahasiswa keluar dari zona nyaman. Jika selama ini berkuliah selama delapan semester dilakukan secara penuh di dalam kampus, kini perusahaan, lembaga nonprofit serta lembaga pemerintah juga dapat menjadi kampus atau universitas tempat mahasiswa belajar. Bahkan, dampaknya mampu mengubah perspektif mahasiswa yang tak lagi sama seperti sebelumnya.
Wiempy Wijaya, mahasiswa pendidikan bahasa inggris di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, mengaku banyak berubah setelah ikut pertukaran pelajar ke luar negeri lewat program Kampus Merdeka Indonesia International Student Mobility Awards (IISMA). Dia merasakan kuliah di salah satu kampus terbaik dunia di Nanyang Technological University (NTU) di Singapura secara gratis dengan beasiswa dari pemerintah. Bahkan, dia mempelajari hal baru tentang bisnis.
“Saya bukan anak yang aktif di kampus. Selesai kuliah biasanya saya langsung pulang, tidak ikut kegiatan di kampus. Ketika dosen mengenalkan program IISMA dan saya terpilih, lalu saya memandang diri saya secara berbeda. Ternyata saya layak untuk mendapatkan yang terbaik dan mengejar mimpi saya,” ujar Wiempy yang berada di Singapura sejak Desember 2021–Mei 2022.
Wiempy yang awalnya "hanya" bercita-cita menjadi guru les bahasa inggris dan matematika di Surabaya, berubah cara pandangnya. Pengalaman berkuliah di NTU dengan paparan pergaulan internasional yang beragam, membuat dia berani keluar dari zona nyaman. Dia kini menyiapkan diri untuk keluar dari Surabaya dan mengejar tujuan baru untuk hidup di Singapura.
Baca juga : Kampus Merdeka Jadi Simulasi Mahasiswa Memasuki Dunia Kerja dan Wirausaha
“Saya yang tadinya merasa tidak percaya diri, tidak berani jika disuruh ikut kegiatan, lalu selama kuliah di NTU mendapatkan pengalaman berharga. Saya jadi yakin bahwa saya mampu beradaptasi, mampu untuk mencapai yang terbaik. Saya jadi ingin kuliah lagi dan melakukan yang terbaik dalam hidup dan untuk Indonesia. Saya malah jadi tertarik di bidang bisnis,” kata Wiempy.
Memahami keberagaman
Tidak harus ke luar negeri untuk bisa memahami keberagaman dan pentingnya menghargai perbedaan di tengah kehidupan dunia yang semakin tanpa batas ini. Gina Latumahina, mahasiswa pendidikan bahasa inggris di Univeritas Pattimura, Ambon, Maluku, belajar untuk memahami teman-temannya dari beragam daerah di Indonesia lewat program Kampus Merdeka Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM). Gina berpindah kampus ke Univeritas Negeri Malang, Jawa Timur, pada Agustus–Desember 2022. Sebaliknya, sejumlah mahasiswa dari Malang dan daerah lain ada yang bertukar kampus ke Ambon.
Gina dan pesera PMM dari daerah lain belajar bersama mahasiswa regular di Universitas Negeri Malang. Mereka berinteraksi dan berkolaborasi dalam pembelajaran. Di program ini ada Modul Nusantara yang mengajak peserta untuk mengeksplorasi potensi budaya dan sumber daya di d aerah tempat mereka belajar.
“Seru juga belajar dengan banyak mahasiswa dari berbagai daerah. Aku sempat dikira marah karena ngomong dengan suara keras. Padahal di Ambon biasa bicara seperti itu. Aku jelaskan ke teman sehingga dia tidak lagi merasa tersinggung,” ujar Gina yang bercita-cita menjadi dosen.
Ia juga mengalami pembelajaran yang berbeda dari kesehariannya. Di Universitas Negeri Malang, dia belajar bersama mahasiswa regular, lalu dia juga mengikuti kuliah daring untuk mata kuliah lain di universitas asalnya.
Sementara itu, Isda Magrifah, mahasiswa ilmu politik di Universitas Brawijaya, Malang, yang ikut program Kampus Merdeka Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang berkolaborasi dengan perusahaan teknologi AWS, belajar hal baru memanfaatkan teknologi untuk membangun pemerintahan daerah yang cerdas. Lewat program Indonesia Awesome ini, Isda mampu menerapkan mata kuliah tentang pemerintahan dan demokrasi dalam konteks era digital.
Baca juga : Presiden Jokowi Galang Kolaborasi Tingkatkan SDM Unggul Indonesia
“Awalnya saya pusing untuk menerima mata kuliah teknologi karena biasanya mempelajari hal-hal terkait politik. Berada di program ini jadi banyak belajar dan berbagi. Saya jadi paham juga tentang coding yang bisa diterapkan untuk bidang politik. Saya bertemu teman dari berbagai kampus dan jurusan, jadi berkolaborasi dan belajar bersama untuk bisa berpikir kreatif,” kata Isda.
Ia dan tim yang didukung mentor dari AWS mengerjakan proyek berbasis teknologi digital yang dapat diterapkan di dinas koperasi, perindustrian, dan perdagangan di Kota Malang. Mereka memanfaatkan teknologi digital untuk pendataan usaha mikro kecil menengah (UMKM) guna mendukung pengembangan usaha masyarakat.
“Saya jadi mendapat pencerahan, bahwa ilmu politik pun bisa berkolaborasi dengan teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan pada publik. Ada banyak peluang usaha juga dari lintas ilmu, salah satunya membuat aplikasi online. Saya senang bisa mengembangkan potensi diri selama satu semester dan dikonversi dalam SKS,” ujar Isda.
Masih banyak kisah inspiratif dan pengalaman unik yang berbeda dari peserta tiap program. Ada mahasiswa yang ikut mengajar lewat Kampus Mengajar, mempersiapkan jadi entrepreneur lewat Wirausaha Merdeka, hingga terlibat dalam penelitian.
“Nilai-nilai yang diperoleh mahasiswa dari tiap program berbeda. Namun, ada hal sama yang terlihat, mereka tidak lagi sama setelah ikut program Kampus merdeka," ujar Nadiem.
Karena itu, Nadiem mendorong tiap kampus mengembangkan Kampus Merdeka Mandiri. Hal ini supaya program ini bukan hanya jadi kebijakan tetapi gerakan yang dilakukan secara berkelanjutan.
"Untuk menyiapkan SDM Indonesia menjadi talenta hebat, cerdas, dan berkarakter guna menyambut Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia,” tutur Nadiem.