Kata-kata yang Bersuara
Gelaran Festival Kata menarik minat kaum muda. Kekayaan dunia sastra dikemas sedemikian rupa. Regenerasi pembaca dan penulis coba digulirkan demi napas panjang sastra Indonesia.
Acara Festival Kata yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta pada 26-27 Oktober 2023 menggelorakan kecintaan pada literasi. Ragam mata acara, seperti gelar wicara, bedah buku, peluncuran buku, pembacaan puisi, dan Malam Anugerah Cerpen Kompas ini diminati kaum muda pula. Regenerasi penulis coba digulirkan.
Pada hari pertama, rangkaian acara telah berlangsung sejak pukul 10.00 WIB. Seharian itu, ada 10 agenda. Di siang hari, salah satu yang menarik adalah diskusi yang menghadirkan Tino (Nenek) Maryam, seniman tradisi lisan tale tuai dari Jambi, dan Yahya Andi Saputra, seniman dongeng buleng Betawi. Kesenian tradisi ini sudah hampir punah. Menyaksikan diskusi dan penampilan mereka menjadi pengalaman unik dan langka.
Pemungkas hari pertama didedikasikan untuk pujangga Sapardi Djoko Damono. Acara bertajuk ”Dari Puisi ke Lagu, Open Mic, dan Bincang Sapardi” itu diisi Tatyana Soebianto, Nadia Hastarini, dan Umar Muslim. Mata acara itu diselingi pembacaan puisi dari komunitas Rumah Sapardi dan spontanitas pengunjung. Mereka membacakan puisi karya Sapardi atau yang bertemakan sang pujangga besar tersebut.
Muhammad Ardhan Darmawan (20), mahasiswa Universitas Mercubuana, Jakarta, adalah salah satu yang membacakan puisi karyanya sendiri berjudul ”Sapardi (Dan Suara-suara yang Selalu Kuperdengarkan)”. Mahasiswa semester 3 ini bilang, puisi itu terinspirasi dari puisi ”Telinga” karya Sapardi. Puisi gubahan Ardhan dia tulis delapan jam sebelum dia tampil.
”Puisi Pak Sapardi itu adalah puisi pertama yang saya baca. Makna dalam puisi-puisinya relate dengan kehidupan, walau harus dibaca berulang-ulang untuk mendapat sarinya. Dari puisi Pak Sapardi saya mendapatkan manfaat,” kata Ardhan, Kamis (26/10/2023). Dia mengaku hidupnya terselamatkan dari tekanan dan permasalahan oleh puisi Sapardi.
Puisi Pak Sapardi itu adalah puisi pertama yang saya baca. Makna dalam puisi-puisinya relate dengan kehidupan walau harus dibaca berulang-ulang untuk mendapat sarinya.
Dia menyukai literasi sejak kecil, terpengaruhi majalah Bobo. Seiring bertambahnya usia, Ardhan juga mulai menggemari novel yang dia baca lewat medium Wattpad. Menurut dia, seorang penulis itu hebat karena mampu memengaruhi pembacanya menjadi penulis juga. Saat ini, Ardhan sudah banyak menulis puisi, menyuarakan apa yang terlintas di kepalanya dan keresahan kaum muda.
Makanya, Ardhan menganggap karya tulis merupakan medium sarat manfaat buat anak muda. Dia berharap media lebih proaktif dan produktif menyorot kancah sastra agar lebih banyak dilirik kaum muda. ”Kami sebenarnya mau membaca, Cuma tidak punya pemicunya. Aku berterima kasih karena banyak potongan tulisan yang berseliweran di media sosial. Itu bikin penasaran dan memicu untuk membaca,” ujarnya.
Mulya Elha (28), pemudi asal Tabalong, Kalimantan Selatan, juga tampil membacakan puisi di atas panggung. Dia mengajukan diri secara spontan membacakan ”Pada Suatu Hari Nanti”. Penonton bertepuk tangan atas keberaniannya. Apalagi, penampilan Mulya itu diimprovisasi dengan musik yang tak ia persiapkan sebelumnya.
Mulya antusias mengikuti rangkaian acara Festival Kata sejak awal. Dia menikmati betul acara bedah buku Perkara-perkara Nyaris Puitis karya Hilmi Faiq yang telah dia baca tuntas. Dia mengagumi puisi-puisi di buku itu. Dari acara inilah, Mulya berkenalan dengan karya-karya mendiang Sapardi Djoko Damono.
Sama seperti Ardhan, Mulya juga mengaku menyukai sastra sejak kecil melalui majalah Bobo. Dia baru berniat menekuni dunia sastra pada 2021 dengan target menulis novel. Di festival ini, Mulya menyadari karya sastra tak cuma novel belaka. Puisi juga menarik. ”Rasanya sulit membuat semua anak muda suka membaca karena punya pandangannya sendiri. Tapi yang penting jangan sampai anti dengan membaca,” harap Mulya.
Jantung pendidikan
Pada hari kedua, yaitu Jumat (27/10/2023), pemuda asal Bandung, Tasamsyah (26), diumumkan sebagai pemenang lomba menulis puisi. Karyanya berjudul ”Itu Aku”, mengungguli 818 puisi dari 790 penyair. Sam, panggilan akrabnya, mendedikasikan pusinya untuk koran.
”Saya tidak mengeluh-kesahkan perasaan saya terhadap koran, tetapi (mewakili) isi hati koran itu sendiri. Koran adalah panggung penulis-penulis, lebam dengan kata-kata, banyak isu-isu. Itulah yang saya tulis, Karena Kompas yang mengadakan, saya kira cocok membuat puisi ini,” kata Sam ketika diwawancara sesaat setelah turun panggung sebagai pemenang.
Sam, yang juga menggeluti bidang tetater ini mulai menulis cerita pendek dan puisi sejak 2015. Saat ini, dia sudah mengeluarkan tiga buku antologi puisi. Kecintaan pada dunia sastra diturunkan dari sang ayah yang merupakan seniman kebudayaan Sunda, seperti pencak silat dan tarawangsa.
”Tak ada tolok ukur seberapa besar saya mencintai seni, khususnya sastra. Yang penting adalah bagaimana saya bisa hidup di sana, dan bagaimana saya bisa menghidupi literasi. Sebab, kalau memang ada minat dan bakat, dan menyukainya, apa pun kita lakukan,” kata Sam.
Baca juga: Festival Kata, Ruang Pertemuan Merawat Literasi
Sam merasa, kaum muda sebaiknya akrab dengan dunia sastra. ”Sastra itu seperti payung yang membawahi budaya, interaksi sosial, dan lain sebagainya. Dengan sastra, cara kita bersosial, berinteraksi, dan berpikir terasah tajam. Dan, harus dipahami, sastra adalah jantung pendidikan,” ucapnya bersemangat.
Salah seorang pengunjung, Maharani Laksmi Dewi (22), sependapat dengan Tasamsyah. Sastra, katanya, membantu manusia, termasuk kaum muda, untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar. ”Semoga lebih banyak anak muda yang tertarik membaca sastra dan memahami peran pentingnya,” kata mahasiswi Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Jakarta itu.
Rani, panggilannya, menganggap acara Festival Kata bisa saja mendongkrak minat baca anak muda. Sebab, banyak mata acara yang dikemas menarik. Salah satu acara yang ia ikuti adalah kelas menulis puisi bertajuk ”Ide Sama Itu Biasa; Eksplorasi Tema dan Kekhasan Personal” di salah satu ruang galeri Bentara Budaya Jakarta. Di acara itu, dia jadi tahu bagaimana cara mendalami puisi. Sayangnya, kata dia, acara itu berlangsung saat jam kerja sehingga beberapa kawannya tak bisa ikutan.
Misi regenerasi
Hajatan Festival Kata diinisiasi harian Kompas dan didukung Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. ”Tujuan paling besar dari acara ini adalah ingin menunjukkan kepada publik bahwa Kompas tidak akan berhenti berkontribusi kepada dunia sastra. Kalau selama ini hanya lewat Malam Anugerah Cerpen, maka kali ini dibuat lebih besar lagi selama dua hari penuh,” kata Hilmi Faiq sebagai panitia pengarah Festival Kata.
Tema ”Merawat Literasi, Merawat Kebudayaan”, kata Faiq, adalah bentuk provokasi menumbuhkan minat baca dan pemerataan akses literasi. Para pegiat sastra di daerah atau pemerintah daerah diharapkan membuka akses terhadap dunia tulis-menulis, seperti penyediaan buku, diskusi, komunitas, hingga penerbitan.
Selain itu, acara ini juga punya misi regenerasi pembaca dan penulis. Dilihat dari sisi angka, 1.800 peserta acara ini mayoritas kaum muda. Peserta lomba menulis puisi, 790 orang, semuanya berusia di bawah 30 tahun. Ini bisa dilihat sebagai pembaca/penulis baru yang menjadi titik terang di isu literasi.
Hal serupa terjadi di kancah penulisan cerpen. Rubrik cerpen harian Kompas menerima 3.017 judul sepanjang 2022. Rata-rata pengirimnya adalah anak muda. Lebih spesifik lagi, dari 20 judul yang dibukukan pada tahun ini, hanya ada dua-tiga judul karya penulis berusia di atas 50 tahun. Dampaknya mungkin tidak langsung terasa. Tapi, penulis-penulis baru ini punya ”napas lebih panjang” berkarya di kancah sastra.
*Kolaborasi dengan peserta program magang harian Kompas Nikolaus Daritan, mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.