Peduli Sosial dengan Komunitas Belajar
Saat ini, banyak anak muda yang melakukan peduli sosial dengan mendirikan kegiatan belajar mengajar.
Setiap manusia dilahirkan dengan latar belakang sosial yang berbeda. Sebagai makhluk sosial, setiap individu bisa saling membantu dengan kapabilitas yang dimiliki, misalnya dari kemampuan ekonomi, akses pendidikan, dan keterampilan. Saat ini, banyak anak muda yang membuat gerakan sosial untuk membantu sesama.
Beberapa tahun belakangan, semakin banyak anak muda yang berkumpul dan berinisiatif membentuk gerakan sosial bagi lingkungan sekitar. Tak jarang, inisiatif dilatarbelakangi hobi yang mereka geluti. Melalui gerakan-gerakan ”akar rumput” ini, anak muda membuktikan setiap orang memiliki peluang membuat perubahan.
Rahma Arifa atau akrab disapa Rara (23), lulusan dari London School of Economics di Inggris, bersama sepupunya, Alya Randy (22), membuat komunitas belajar Sekolah Kebon di Kemang, Jakarta Selatan. Pengalaman tumbuh di Kemang membuat mereka melihat masyarakat sekitarnya banyak yang kurang beruntung. ”Di tengah hiruk pikuk kesan elite Kemang, banyak orang yang tempat tinggalnya kurang layak,” ucap Rara ketika diwawancarai pada Sabtu (26/8/2023).
Pada Februari 2023, Rara yang baru menyelesaikan kuliah di luar negeri dan kembali ke Indonesia berdiskusi dengan Alya untuk membuat kegiatan belajar. Mereka membuat flyer yang disebarkan melalui media sosial dan kelompok RT/RW sekitar rumah mereka. Tak disangka, satu minggu kemudian, sebanyak 40 orang mendaftar kegiatan. ”Kami bikin flyer, kami sebar ke grup-grup masyarakat Kemang. Dari satu dua orang, nyebar lewat banyak grup. tiba-tiba sekitar seminggu kemudian kami cek lagi itu pendaftarannya jadi 40 murid,” ceritanya.
Melihat pendaftar murid yang banyak, Rara dan Alya memutuskan menambah volunter guru. Lowongan volunter guru disebar melalui media sosial. Sekitar 100 orang mendaftar menjadi sukarelawan guru. Mereka berusia sekitar 20 tahun yang merupakan mahasiswa dan fresh graduate. Pendaftar kemudian diseleksi hingga kini terkumpul 35-40 partisipan guru dengan murid 77 orang.
Kegiatan Sekolah Kebon Kemang berlangsung setiap Sabtu mulai pukul 08.30. Materi yang diajarkan lebih difokuskan pada pelajaran bahasa Inggris. ”Kami mengerucut ke bahasa Inggris dulu nanti kalau sekiranya ada mata pelajaran lain yang pengen kami bantu, nanti kami asistensi,” ungkap Rara.
Rara mengaku kebanyakan dari murid mereka berasal dari status ekonomi menengah ke bawah. Inilah yang menjadi alasannya tidak menyeleksi murid yang ingin belajar di Sekolah Kebon Kemang. Meski begitu, mereka tetap menerima murid-murid dengan latar status ekonomi lainnya selama orang tersebut memiliki komitmen untuk terus belajar.
Proses belajar-mengajar di Sekolah Kebon Kemang terbagi menjadi beberapa sesi. Setiap minggunya, saat memulai aktivitas pembelajaran akan dimulai dengan circle time atau presentasi media. Hal ini dilakukan agar murid mendapatkan literasi digital dan menambah ketertarikan pembelajaran. Setelah sesi circle time, setiap murid masuk ke dalam kelompok yang sesuai dengan kemampuan bahasa Inggrisnya. Awalnya, sistem kemampuan berbahasa tersebut dibagi sesuai jenjang sekolahnya tetapi kini diterapkan sistem level mulai dari A, B, C, D, dan K untuk menentukan kemampuan berbahasa tiap murid. ”Kami enggak bisa punya ekspektasi yang sama dari satu sekolah dengan satu sekolah yang lain. Apalagi ini dari sekolah yang fasilitasnya juga beda. Akhirnya ada pengelompokannya sendiri,” ujar Rara.
Setelah berjalan sekitar enam bulan, Rara mengaku hal ini tidak mudah dijalankan terlebih para volunter juga memiliki pekerjaan lain. Meski begitu, antusiasme murid dan orangtua menjadi penyemangat bagi Rara dan teman-temannya.
Perpustakaan gratis
Inisiatif sosial positif lain datang dari kakak beradik Nishrin Assegaf (21) dan Nihlah Assegaf (17). Bulan Juni lalu, mereka membuka perpustakaan untuk publik yang bernama Foreword Library di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Nihlah sebagai pendiri dan kurator perpustakaan mengatakan, ide awal mendirikan perpustakaan didasari pada kecintaannya terhadap buku dan hobi membaca. ”Aku seneng banget baca buku dan ingin membagikan rasa senang itu ke orang lain. Aku juga ingin membuat kegiatan membaca bukan kegiatan individu, tapi kolaboratif dan komunal. Bukan hanya menyediakan buku, melainkan juga tempat yang nyaman untuk membaca untuk anak muda di Jakarta,” cerita Nihlah ketika diwawancara bersama tim Foreword lainnya pada Selasa (29/8/2023).
Nihlah dan Nishrin tidak melakukan segalanya sendiri. Mereka turut merangkul teman-teman dekat mereka yang juga hobi membaca untuk menjadikan inisiatif ini nyata. Salah satunya Madina Malahayati Chumaera (22) yang berperan sebagai general manager. Ia setuju bergabung karena turut merasakan kebutuhannya akan ruang untuk membaca. ”Waktu ngobrol dengan Nishrin tentang ide (perpustakaan) ini, aku setuju banget juga waktu jadi remaja, aku enggak nemu banyak space yang accessible untuk menumbuhkan minat baca. Aku setuju remaja butuh rumah tempat mereka bisa singgah dan take break dari kesibukan,” cerita Madina.
Perjalanan membentuk perpustakaan tentu tidak mudah. Dengan kolaborasi, berbagai tahap persiapan mereka lalui, mulai dari penyediaan dan kurasi buku, pencarian tempat yang strategis, menata ruangan, hingga persiapan-persiapan lain. Ilzan Rashuan Wijaya (21) sebagai advisor turut bercerita terkait perannya dalam persiapan ini. ”Semua buku dikurasi langsung oleh Nihlah, sedangkan aku dan Nishrin lebih fokus mengonsep tema perpustakaan, mencari furnitur, hingga mengatur penataan dua ruangan perpustakaan. Kami ingin membangun tema yang menarik, tapi juga nyaman,” kata Ilzan.
Tidak hanya Ilzan, Alyssa Chairani Istiqomah (24) yang berperan sebagai pustakawan juga menceritakan perannya. ”Sebelum dibuka untuk publik, sekitar sebulan persiapan membuat katalog semua buku sekitar 500 eksemplar dan masukin ke sistem library management kami dan mengatur sistem membership untuk peminjaman buku,” kata Alyssa. Perpustakaan ini terbuka gratis bagi publik dan berbayar untuk meminjam.
Usaha 6 anak muda dalam tim Foreword Library membuahkan hasil.
Antusiasme pengunjung yang datang dan meminjam buku melebihi ekspektasi mereka. ”Sejak kami buka hingga lebih malam dan di hari Sabtu, pengunjung jadi makin ramai. Setiap hari, pasti ada lebih dari 10 pengunjung. Aku sampai hafal muka pengunjung setia Foreword dan mereka udah aku anggap teman jadi mereka pun lebih nyaman untuk datang kembali,” sahut Alyssa.
Tidak hanya pengunjung, banyak pula komunitas lain yang turut ingin berkolaborasi dengan tim Foreword. ”Waktu baru buka aku surprised banget tiba-tiba udah ada yang nanya-nanya tentang book club atau bikin event jadi udah banyak yang mau collab dengan Foreword,” cerita Nihlah. Hingga kini, sudah terdapat 4 event kolaborasi, seperti kolaborasi acara “Book Blind Date” dengan komunitas Pinter dan lokakarya daur ulang sampah dengan Reading Nook.
Menjalani kegiatan perpustakaan bukanlah tanpa tantangan. ”Salah satu tantangannya ketika member Foreword balikin buku dengan kondisi kurang bagus atau enggak ada kabar,” cerita Alyssa.
Tantangan juga hadir dari segi keberlanjutan perpustakaan. ”To make Foreword sustain, kami sekarang udah launch merchandise yang bisa dibeli dan terus explorepartnership dan exposure lebih. Kami juga berusaha agar terus ada pengunjung reguler dan ramahnya Kak Alyssa sangat membantu membuat pengunjung senang datang ke Foreword,” kata Ilzan.
Baca juga: Menjaga Idealisme Anak Muda
Tim Foreword sama-sama menyadari bahwa keberhasilan Foreword Library hingga saat ini tidak lepas dari privilese yang mereka miliki, khususnya dari aspek dukungan finansial. ”Kami sangat beruntung punya kapasitas dan privilege dan dengan keberuntungan kami, kami ingin terus bisa membagikannya supaya bisa bermanfaat bagi temen-temen lain, khususnya di Jakarta Selatan,” ujar Ilzan.
Ke depannya, tim Foreword berharap dapat terus mengembangkan perpustakaan. Selain itu, mereka juga ingin memaksimalkan potensi pemanfaatan ruang yang dimiliki Foreword melalui kolaborasi dengan berbagai komunitas anak muda.
Kolaborasi dengan Peserta Intern Kompas:
- Aurelia Tamirin, Mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia
- Alethea Pricila Sianturi, Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara