Menjaga Idealisme Anak Muda
Anak muda dengan idealisme dan pikiran kritis yang tak terbendung dapat menjadi kekuatan untuk menggerakkan arah kebijakan yang pro terhadap kesejahteraan masyarakat. Bukan tidak mungkin, tahun politik ini jadi momentum.
”Idealisme menjadi kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh seorang pemuda” -Tan Malaka-
Ungkapan Tan Malaka pada masa itu ada benarnya. Anak muda dengan idealisme dan pikiran kritis yang tak terbendung dapat menjadi kekuatan untuk menggerakkan arah kebijakan yang pro terhadap kesejahteraan masyarakat. Bukan tidak mungkin, tahun politik ini jadi momentumnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Berlatar polusi udara di langit Jakarta yang menyerupai awan mendung pada Selasa (15/8/2023) di kawasan Senayan, Jakarta, sejumlah organisasi dan komunitas besutan anak muda berkumpul di acara Media & Youth Collabor(act)ion yang diselenggarakan Development Dialogue Asia. Dalam kegelisahan yang serupa, mereka menanam bibit harapan untuk menyemainya menjadi wajah Indonesia yang sarat keadilan dan sejahtera.
Kendati demikian, mereka yakin anak muda memiliki kepedulian yang tinggi untuk membangun negeri. Co-founder Generasi Melek Politik Neildeva Despendya menjelaskan, anak muda itu sebenarnya peka dan haus akan informasi. Bahkan, ia menyebutkan, anak muda menyukai berita atau informasi yang mendalam dengan pemaparan yang akurat terkait kondisi bersanding data dan fakta.
”Siapa bilang dangkal? Anak muda itu rasa ingin tahunya besar dan mereka mau membaca topik serius sekalipun sehingga butuh juga sumber informasi yang tepercaya dan lengkap,” jelas Neildeva.
Sejumlah isu yang mencuri perhatian dan didalami anak muda berkaitan dengan lingkungan, antikorupsi, demokrasi, hingga kebebasan sipil. Sementara topiknya yaitu seputar pemilihan umum dan pemindahan ibu kota.
Untuk pemilu yang akan berlangsung pada 2024, organisasi Think Policy dan media digital What Is Up, Indonesia? berkolaborasi membuat portal Bijak Memilih. Lewat portal ini, anak muda dapat mempelajari berbagai isu strategis dan posisi partai politik pada setiap isu tersebut. Ada kuis juga yang diperuntukkan bagi mereka yang masih belum yakin isu mana yang terpenting.
Nyaris serupa, Kawula 17 juga membuat Voting Advice Application di portalnya. Melalui hal ini, anak muda dapat memperoleh gambaran partai politik mana yang sesuai dengan isu yang paling prioritas dengannya. Kawula 17 juga aktif melakukan survei berkaitan dengan perspektif politik yang diharapkan dapat membantu anak muda dalam menghadapi pemilu nanti.
”Cara menjangkau anak muda saat ini, terutama Gen Z itu harus otentik. Apatisme itu muncul karena mungkin enggak sesuai dengan apa yang mereka harapkan dan jauh dari otentik. Mereka itu lebih jujur,” ujar Corporate Communications Lead Think Policy Yosifebi Ramadhani.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, ada sekitar 107 juta pemilih muda di bawah usia 40 tahun atau mencapai 55 persen dari keseluruhan jumlah pemilih. Suara anak muda pun menjadi penting dan tengah diperebutkan para pemburu jabatan. Namun, perlu diingat, anak muda saat ini yang diklaim dangkal atau hanya hobi receh di media sosial sebenarnya kumpulan orang yang kritis dengan cara mereka.
Media sosial
Salah satu contohnya Asoka Pradhana (22), mahasiswa jurusan Hubungan Internasional di Binus Alam Sutera, mengikuti perkembangan politik di Indonesia melalui media sosial. Asoka mengaku menjelang Pemilu 2024 dirinya semakin aktif dalam mencari informasi politik.
”Menjelang pemilu, saya biasanya aktif dalam mencari informasi politik karena hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan kondisi politik lima tahun ke depan dalam memilih calon presiden dan wakilnya tersebut,” ungkap Asoka.
Setiap informasi yang didapatkan melalui media sosial tidak diterima begitu saja. Asoka menyebut dirinya wajib melakukan cross check untuk mencegah kesalahan informasi yang diterimanya.
”Saya cross check dari sumber dan data faktual yang ada, misalnya saya baca berita dari dua sumber media atau tunggu konferensi pers lebih lanjut,” ucapnya.
Tak hanya aktif dalam mencari informasi, Asoka juga aktif dalam diskusi politik bersama teman-temannya dengan tujuan memperluas wawasan politiknya. ”Ini saatnya anak muda berperan dalam politik serta memiliki mindset kritis dan wawasan luas, apalagi medsos sudah menjadi wadah yang bisa menampung pendapat mereka,” kata Asoka.
Tidak hanya Asoka, Nehamia Kristiani (22) dari Universitas Multimedia Nusantara juga lekat dengan media sosial. Mahasiswa jurusan Jurnalistik ini mengaku semenjak beberapa waktu belakangan informasi politik kerap didapatkan melalui media sosial. ”Kalau politik biasanya dari berita-berita medsos, apalagi ini sudah mau pemilu, jadi berita politik semakin banyak dilihat,” katanya.
Berkat media sosial, Nehamia mengaku mendapatkan berita politik secara up to date. Hal ini memudahkannya dalam mencari informasi kondisi politik di Indonesia menjelang Pemilu 2024. ”Sebenarnya walau enggak dicari pasti muncul sendiri di medsos dan itu buat aku update tentang politik di Indonesia,” ucapnya.
General Coordinator Pamflet Coory Yohana sepakat perkembangan media sosial di Indonesia ini membantu pesatnya informasi, terutama terkait politik dan berbagai isu strategis. ”Yang jadi persoalan adalah bagaimana menyampaikan informasi itu agar bisa tepat sasaran ke anak muda karena tidak ada formula khusus. Hari ini begini, besok bisa jadi berubah. Dinamis banget. Ini enggak hanya jadi tantangan kami, tapi juga bagi media mainstream untuk memberikan informasi yang tepat bagi anak muda,” kata Coory.
Kamar diskusi
Agil Mustaqim (20), mahasiswa jurusan Ilmu Politik di Universitas Indonesia, justru kerap melakukan diskusi terkait isu-isu politik, khususnya terkait pemilu yang akan datang. ”Di lingkup kelas atau tongkrongan, pembicaraan terkait pemilu makin meningkat. Mulai dari bagaimana koalisi mulai terbentuk, prediksi pergerakan politik, dan lain-lain,” ujarnya.
Berbeda dengan Asoka dan Nehamia, Agil malah sangat berhati-hati untuk beropini di media sosial karena enggan dilabeli masuk ke golongan tertentu akibat dugaan berpihak ke salah satu calon.
Namun, ruang diskusi ini dilakukan Asoka dan Nehamia. Bahkan, informasi yang didapatkan melalui media sosial itulah yang menjadi bahan diskusi. Nehamia menilai diskusi tersebut mempermudah dalam memahami kondisi politik di Indonesia, terutama bagi orang awam seperti dirinya.
Baca juga: Animo Mahasiswa Bergabung Organisasi Kampus
Coory pun menjelaskan komunitasnya, yakni Pamflet, kerap membantu para anak muda yang merasa awam ini untuk bergerak. Ada tiga divisi di Pamflet, yakni Youth Activism, Youth Movement, dan Youth Studies. Mereka dapat memilih sesuai dengan ketertarikan dan apa yang ingin mereka capai. Mereka juga bisa memperdalam isu.
Sementara itu, Yosi menambahkan, Think Policy memiliki program untuk mahasiswa dan profesional muda memahami pembentukan kebijakan yang tepat.
Begitu pula Generasi Melek Politik punya program Academia Politica untuk mahasiswa. ”Adanya gap informasi dan pandangan itu benar adanya. Isu IKN, misalnya, anak muda di kota besar kritis tentang dampak lingkungan. Anak muda di Kalimantan itu, ya, setuju setuju saja dengan IKN karena dinilainya daerahnya bisa berkembang,” ungkap Neildeva.
Jadi, anak muda sebenarnya punya sikap. Hati-hati saja karena sikap dan suara mereka bisa jadi mengubah perhitungan yang ada.
Kolaborasi dengan Peserta Intern Kompas: - Aurelia Tamirin, Mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia - Alethea Pricila Sianturi, Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara