Virginia Rosa da Silva, Komunitas Literasi Penerang Belu
Komunitas Lorosae hadir di Belu, Nusa Tenggara Timur, sejak tahun 2020. Bergerak di bidang literasi, komunitas hasil besutan para anak muda setempat ini ingin melawan kebodohan dan kemiskinan
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Minimnya budaya literasi menjadi momok berkelanjutan di Belu, Nusa Tenggara Timur. Satu kelompok anak muda muncul untuk mengisi kekosongan yang belum dapat dipenuhi oleh pendidikan formal tersebut. Kelompok itu bernama Komunitas Lorosae.
Lahir di masa pandemi, Komunitas Lorosae resmi berdiri sejak 5 Juli 2020 atas inisiatif empat anak muda Belu yang tengah merantau di Kupang. Mereka adalah Jejen Aryanto Nakamnanu, Elisabeth Afriani Costa, Josef Kanisius Bau, dan Virginia Rosa da Silva yang akrab disapa Vivin.
Lorosae berasal dari bahasa Tetun. Loro berarti matahari, sedangkan sa’e berarti terbit. Dengan demikian, Lorosae berarti matahari terbit.
“Secara filosofis, kami memilih nama itu karena matahari terbit dari timur. Sebagai bagian dari wilayah timur Indonesia, harapan kami bisa terbit menyinari segala tempat,” kata Vivin dalam wawancara virtual dari Yogyakarta, Rabu (7/12/2022).
Komunitas Lorosae bergerak di bidang pendidikan nonformal. Semangat komunitas ini adalah menggunakan literasi untuk melawan kebodohan dan kemiskinan. Mengutip Badan Pusat Statistik NTT, persentase buta huruf penduduk Belu berumur 15 tahun ke atas ialah 6,48 persen untuk laki-laki dan 7,05 untuk perempuan pada 2021. Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya.
Vivin melanjutkan, mereka ingin membangun kesadaran kritis sehingga masyarakat Belu bisa merefleksikan apa yang terjadi di sekitar, baik itu isu politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. “Dari kesadaran yang muncul, mereka bisa melakukan aksi pembangunan nyata yang berdampak,” ujarnya.
Komunitas Lorosae mempunyai sejumlah program, antara lain Buku Lapak, Rumah Baca Lorosae, dan Diskusi Kamisan. Buku Lapak membuka lapak buku bacaan di kawasan Lapangan Umum atau di Plaza Pelayanan Publik di Atambua, ibu kota Belu, pada akhir pekan. Ada sekitar 100 judul buku tersedia di mana mayoritas dipinjam dari perpustakaan daerah. Lapak ini biasanya dibuka pada hari Jumat dan Sabtu dari sore sampai malam.
Sementara itu, Rumah Baca Lorosae terletak di rumah Vivin yang berada di Halilulik, sebuah kota kecil yang berjarak 20 kilometer dari Atambua. Di samping perpustakaan, rumah baca yang terbuat dari bebak atau semacam pohon gewang ini menjadi ruang bagi anak-anak setempat belajar bersama setiap hari. Pembangunan rumah baca ini berasal dari dana swadaya sekaligus donasi umum.
“Di rumah baca itu, mereka belajar menulis sederhana. Saya juga kaget karena di sana anak-anak kelas lima dan enam SD belum bisa membaca atau melakukan perkalian dua digit. Kebanyakan yang mengajar mereka itu anak-anak SMA atau yang sudah tamat kuliah,” kata Vivin.
Komunitas Lorosae turut mengadakan Diskusi Kamisan secara daring setidaknya sebulan satu kali. Topik yang dibahas beragam, mulai dari sastra, pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, hingga isu-isu lainnya yang berkaitan dengan anak muda.
Regenerasi komunitas
Komunitas Lorosae sejatinya berdiri atas keinginan para anak muda berbuat sesuatu demi tanah kelahiran. Akan tetapi, seiring waktu, kesibukan pekerjaan membuat para pendiri lain kesulitan mendedikasikan waktu penuh untuk mengurus komunitas. Beberapa pendiri tengah meniti karier di luar Belu.
Alhasil, Vivin berjibaku menjaga kelangsungan Komunitas Lorosae selama ini. Ia pun tengah melanjutkan pendidikan ke Jawa sejak pertengahan Juni lalu. Karena itu, kepengurusan penuh Komunitas Lorosae hendak dilanjutkan pendiri lain yang akan menetap di Atambua.
“Masalah komunitas itu sama, yaitu ketersediaan sumber daya manusia untuk menjaga keberlanjutan. Di komunitas seperti ini, anak muda datang dan pergi. Tapi kami berusaha memberdayakan semua anak muda yang ada, misalnya anak selesai kuliah yang masih menganggur kami ajak jadi pengajar untuk regenerasi,” kata Vivin.
Walaupun baru bertumbuh, Komunitas Lorosae dengan 30-an anggota aktif ini telah menunjukkan dampaknya. Vivin menceritakan, Buku Lapak biasanya didatangi belasan pembaca. Bahkan anggota polisi yang berkantor dekat lokasi lapak ikut datang membaca. Diskusi Kamisan pun memiliki audiens setia.
Di Rumah Baca Lorosae, sekitar 8-15 anak dengan senang hati datang menimba ilmu setiap hari. Di luar program-program tersebut, Komunitas Lorosae menggelar proyek yang melibatkan kolaborasi antara komunitas lain dan masyarakat. Mereka, misalnya, pernah melakukan penanaman pohon di Hutan Adat Tala dan menggelar pesta ramah anak.
“Literasi itu bukan cuma tentang baca dan tulis, tetapi membentuk komunitas berdasarkan realitas yang kami lihat dan apa yang mau kami bangun. Kita berbicara isu besar, tetapi di sekitar ternyata banyak orang putus sekolah. Kami memulai dari hal yang sederhana dulu,” ujar Vivin.
Virginia Rosa da Silva
Lahir: Dili, Timor Leste, 9 September 1998
Pendidikan: Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pembelajaran, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta (2022-sekarang)
Pengalaman, antara lain:
Pendiri Bersama dan Sekretaris Komunitas Lorosae, 2020-sekarang
Anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kupang, 2017–sekarang
Prestasi, antara lain :
Juara I Lomba Menulis Opini memperingati Hari Pendidikan Nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan MIPA, 2017
Juara II Lomba Microteaching se-daratan Timor, Piala Dekan Cup, yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Nusa Cendana, 2019