Pertunjukan Seni Mahasiswa yang Memikat
Mahasiswa dari 123 perguruan tinggi di Tanah Air berkumpul di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Mereka beradu kemampuan menjadi yang terbaik dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional yang berlangsung 25-28 Oktober.
Ketika mahasiswa diberi kesempatan untuk menunjukkan bakat seni, yang terjadi adalah pertunjukan yang memikat dan keren. Beberapa di antara mereka menyuguhkan konsep yang berbeda.
Ingar bingar pertunjukan kesenian yang diikuti mahasiswa dari seluruh Indonesia menarik perhatian di Universitas Brawijaya, Malang. Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) 2022 yang berlangsung pada 25-28 Oktober 2022 menyuguhkan sekitar 15 lomba kesenian.
Di antara sekian peserta yang mampu meyakinkan juri dan keluar sebagai yang terbaik adalah Renata Listya Kusuma Wangi. Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Jawa Tengah, ini, menjuarai kategori lomba tangkai seriosa putri.
Membawakan lagu wajib “Doa” karya Binsar Sitompul dan “Elegie” karya FX Sutopo dengan iringan pianis Teresia Widianingsih, Renata mengalahkan puluhan peserta yang sebagian di antaranya berasal dari perguruan tinggi seni. Bisa dibayangkan, menyanyi seriosa tentu tak semudah genre musik lain.
“Sebelumnya tidak menyangka bakal juara. Untuk lagu 'Doa' penampilan terbaik. Kalau masalah juara itu sebenarnya bonus. Lawan-lawannya luar biasa semua,” ujarnya melalui sambungan telepon, Minggu (30/10/2022), sambil merendah. Menurut Renata, menjadi bagian kontingen Pekan Seni Mahasiswa Nasional sebenarnya sudah luar biasa, apalagi juara. Berbekal semangat dia melenggang ke Malang untuk menampilkan yang terbaik di depan juri dan penonton di Convention Hall Widyaloka Universitas Brawijaya.
Bagi Renata tak mudah membawakan lagu yang identik dibawakan orang dewasa itu. Baik lagu wajib maupun lagu pilihan butuh kesesuaian partitur. Apalagi lagu ”Doa” dia nilai cukup rumit, butuh napas panjang dan penyampaian yang mengena. Renata mengatakan ia butuh tiga kali latihan. “Kalau persiapan dari Peksimida (Pekan Seni Mahasiswa Daerah), ya, sekitar satu bulanan,” kata perempuan yang bergabung dengan paduan suara mahasiswa di tingkat universitas, Voca Erudita UNS itu.
Sebagai anggota paduan suara kampus, gadis asal Solo ini merasa tertantang untuk melantunkan lagu-lagu klasik. Apalagi, lagu ini memiliki semangat yang tak berbeda jauh dengan lagu-lagu koor yang dimainkan Voca Erudita selama ini. Agustus lalu, Voca Erudita berhasil menyabet tiga gelar pada ajang Tokyo International Choir Competition di Jepang untuk tiga kategori, yakni Champion of Mixed Choir Category, Champion of Contemporary Category, dan Champion of Folklore Category.
Selain itu, Voca Erudita juga mendapat tiga penghargaan lain, yakni Best Interpretation of Mix Choir Compulsory Song “Aki Kase Ni”, Best Interpretation Contemporary Song Category ”Under the Sea”, dan Best Interpretation of Barque Choral Works “Die Himmel Erzahlen Die Ehre Gottes”.
Sebagai aktivis gereja di Solo, Renata memang menyukai lagu-lagu klasik dan paduan suara. Dia juga pernah beberapa kali ikut acara Bintang Radio di RRI setempat dan terakhir masuk deretan 10 besar.
Mahasiswa lain yang menampilkan kebolehannya dalam membawakan seriosa adalah Gabriel Syeda PH dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Didampingi pianis Prisca Nada Nurcahyo, Gabriel membawakan lagu “Cintaku Jauh di Pulau” karya FX Sutopo dan “Srikandi” karya Mochtar Embut.
Menurut Gabriel, butuh pendekatan khusus untuk membawakan kedua lagu yang bertema cinta dari zaman berbeda dengan masanya itu. Saat lagu itu diciptakan, romantismenya berbeda dengan zaman K-Pop sekarang.
“Cukup sulit untuk menyelami lagu itu dengan relevansi saat ini. Butuh penjiwaan dan untuk menyelami tembang puitik, dari teknik, dan latihan cukup sulit,” katanya usai tampil.
Dari sisi komposer, kedua lagu itu juga berbeda. Menurut Gabriel, Mochtar Embut punya bahasa musikal yang sensitif. Setiap nada yang dia buat mewakili perasaannya. “Selama latihan energi saya cukup terkuras membawakan dua lagu itu,” ucap Gabriel yang butuh waktu satu bulan untuk persiapan mulai dari Pekan Seni Mahasiswa Kampus, Peksimida, dan Peksiminas.
Pengalaman baru pun dirasakan Clarissa Jessy Setiawan dari Kampus ISI Denpasar. Dia membawakan ”Doa” dan lagu karya Mochtar Embut lainnya, “Gadis Bernyanyi di Cerah Hari”, dengan iringan pianis Jazz Baldwin.
“Ini pertama kali saya ikut Peksiminas. Jujur saja, semua kontingen berat karena mereka akademisi dan memiliki sepak terjang di bidang vokal seriosa,” katanya. Meski seriosa jarang dinyanyikan, khususnya oleh anak muda, namun di kampus, genre ini (vokal klasik) menjadi dasar dalam pendidikan musik.
Ratusan peserta
Seriosa hanya menjadi salah satu seni yang ditampilkan dalam Peksiminas yang diikuti Badan Pembina Seni Mahasiswa Seluruh Indonesia (BPSMI )dari 32 provinsi dengan jumlah peserta 838 mahasiswa dari 123 perguruan tinggi. Mereka bersaing dalam 15 tangkai lomba, antara lain baca puisi, desain poster, komik strip, penulisan cerpen, seni lukis, keroncong, dan tari.
Koordinator Dewan Juri AG Sudibyo mengatakan, Peksiminas digelar dua tahun sekali. Kegiatan lomba yang kini berada di bawah Puspresnas (Pusat Prestasi Nasional) Kemendikbud-Ristek, ini, sebelumnya didahului gelaran Peksimida di daerah masing-masing. ”Bahkan ada pekan seni kampus dulu, sebagai ajang seleksi awal sebelum berlomba mewakili daerah masing-masing,” katanya.
Menurut Sudibyo, dua tahun lalu Peksiminas terpaksa dilakukan secara daring, karena pandemi Covid-19. ”Di sini kita menemukan bakat-bakat muda, yang semoga nanti bisa beradu di tingkat regional dan internasional,” katanya.
Salah satu peserta yang juga tampil memukau adalah Handi, mahasiswa asal Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat. Membawakan naskah “Pidato” karya Putu Fajar Arcana, Handi keluar sebagai juara kedua monolog.
Dipadu tiga buah cermin berbahan akrilik untuk mengisi setting panggung di Auditorium Fakultas Teknik, Handi tampil penuh penghayatan membawakan cerita berlatar tahun 1965. Saat seseorang bernama Meler dicap sebagai antek PKI kemudian dihabisi karena membela lahan yang menjadi penghidupannya. Meler kemudian merasuki tubuh saudaranya untuk bercerita tentang kisah kematiannya.
Menurut dia yang cukup berat adalah bagaimana memasukkan energi tokoh Meler dalam pementasan. “Energi yang mau dimasukin ke diri saya untuk disampaikan kepada seluruh apresiator. Itu menurut saya yang paling berat,” ujarnya.
Untungnya Handi sudah menguasai naskah ini lebih dari setahun lalu sehingga kesulitan itu bisa dia patahkan. Adapun setting panggung didapat melalui pendekatan lain. Sebelumnya, mereka pernah memakai konsep siluet namun terasa kurang.
“Kami coba-coba akhirnya dapat yang pantulan dari akrilik. Saya itu adalah arwah Meler (yang merasuk ke tubuh saudaranya),” tutur pemuda yang tergabung dalam Teater 28 Universitas Siliwangi itu.
Sang Sutradara, Bode Riswandi, menuturkan, ada beberapa naskah dalam Peksiminas ini namun dirinya lebih jatuh cinta pada ”Pidato”. ”Naskah ini sudah dua kali kami pentaskan sebelumnya namun dengan konsep dan setting yang sepenuhnya berubah,” kata Bode.
Menurut Bode naskah ini memiliki kekuatan dramatik dan memberikan ruang baru bagi dirinya bagaimana menghadirkan tokoh dari dunia maya yang meminjam tubuh saudaranya. Bagaimana memunculkan unsur humanisme universal dari naskah ke dalam bentuk visual.
Baca juga: Unjuk Karya Desainer Muda
“Kita terpancing bagaimana menghadirkan situasi alam roh, bagaimana dia menceritakan masa hidupnya. Biasanya dalam monolog dia akan memecah tubuhnya sendiri menjadi aktor yang lain. Nah, saya mencoba meminimalisasi itu menggunakan mirror. Bayangan-bayangan tadi menjadi semacam instrospeksi, dimensi-dimensi sebagai masa silam,” ujarnya.
Dikutip dari laman prasetya.ub.ac.id, Rektor Universitas Brawijaya Widodo mengatakan kesenian telah menjadi bagian penting dalam pembentukan peradaban manusia, melalui sains dan teknologi. Seni, sains, dan perkembangan teknologi tidak bisa dipisahkan.
Ketiganya berjalan beriringan. Kesenian akan mengarahkan perkembangan sains dan teknologi secara humanis, memberikan harmoni dengan alam, serta selaras dengan kebudayaan masyarakat.