Terjebak Tembang Lawas
Lagu lawas mampu membangkitkan nostalgia bagi para penggemarnya. Sejumlah anak muda generasi kekinian punya alasan tertentu menyukai lagu-lagu karya musisi lama ini.
Satu tembang lawas diyakini mampu menghadirkan ribuan kenangan serta ingatan lama saat dilantunkan kembali. Beragam kenangan indah, sedih, baik tentang cinta atau orang yang dicintai, sedih, marah, atau juga rasa kecewa.
Saat penyanyi pop legendaris asal Inggris Raya, Richard Paul Astley alias Rick Astley, mengguncang dunia dengan lagu debutnya ”Never Gonna Give You Up”, kedua orangtua Aradea Abimanyu (19) boleh jadi belum pernah saling jumpa.
Pada tahun 1987, lagu pop bernada riang dan ringan itu merajai tangga-tangga lagu di 25 negara, yang menjadikannya lagu terpopuler dan mengglobal. Kini Abimanyu, mahasiswa semester tiga di salah satu kampus swasta Ibu Kota, mengaku sangat menggandrungi sang penyanyi dan lagu-lagunya.
Dia bahkan mengaku masih terus mengikuti perjalanan karier dan album Rick Astley, yang sempat menyatakan pensiun di puncak kariernya pada usia 27 tahun di tahun 1993. Album terbaru Rick Astley bahkan masih diluncurkan tiga tahun lalu, The Best of Me (2019).
”Ada satu lagu di album barunya itu yang saya suka. Judulnya, ’She Makes Me’. Saya masih ngikutin lagu-lagunya sampai sekarang sih,” ujar Abimanyu saat dikontak per telepon, Rabu (4/8/2021).
Jika tanpa pandemi dan Rick Astley akan berkonser di Jakarta, Abimanyu mengaku ingin menonton langsung penyanyi idolanya itu.
Namun begitu, lantas apa yang membuat mahasiswa usia 19 tahun, yang berselisih jarak waktu sangat jauh dari generasi Rick Astley, bisa memiliki selera bermusik lawasan? Apa pula yang menjadikan Abimanyu seolah seseorang dengan ”jiwa tua”, yang terperangkap di tubuh seorang pemuda?
Awalnya, dia bercerita, pengaruh kedua orangtua dan kakaknya lumayan dominan dalam memperkenalkan lagu-lagu lama dari beragam genre. Jika sang papa dan mama mengenalkan padanya lagu-lagu dari band macam Genesis, Chicago, atau The Police, maka dari sang kakak dia mengenal genre rock dan heavy metal era 1990-an macam Bon Jovi Skid Row dan Metallica.
”Waktu kecil dulu ya dengar semua itu hampir setiap hari, terutama dalam perjalanan di mobil. Papa sering menyetel kaset atau CD koleksinya,” tambah Abimanyu.
Pengalaman kurang lebih sama juga diceritakan Julia Chatriana (24), mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Bakrie Jakarta, dan Dessy Silitonga (29), social media specialist di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Keduanya berkisah saat dihubungi secara terpisah.
Julia bercerita, mendiang bapaknya dulu kerap menyetel musik-musik rock dan country dari penyanyi atau band era 1970-an hingga 1980-an. Sementara sang mama adalah penggemar musik pop dari band Inggris macam Duran Duran. Sedari kecil, Julia dan adiknya memang kerap ”dicekoki” lagu-lagu lama.
”Kalau dulu Bapak nyetel lagunya kan dari pemutar kaset yang speaker-nya ukuran besar-besar itu. Untuk musisi dalam negeri, saya juga suka penyanyi kegemaran mama, Chrisye. Sampai sekarang masih suka dengerin lagu-lagunya,” tambah Julia.
Sementara Dessy mengaku sangat familiar dengan lagu-lagu para musisi besar. Beberapa adArt Garfunkel, The Beatles, Bee Gees, The Rolling Stones, Frank Sinatra, Elvis Presley, Janis Joplin, dan ABBA.
Menyentuh perasaan
Selain alasan nostalgia, Dessy juga mengaku suka lirik dan melodi tembang-tembang lawas, yang menurut penilaiannya mampu menyentuh perasaan. Hal itu buatnya memberi semacam pengalaman berbeda dibanding ketika dirinya mendengarkan lagu-lagu sekarang.
”Pas dengerin rasa kayak enak, senang, dan sedihnya dapet sesuai musik yang saya dengerin. Musisi zaman dulu sepertinya kalau bikin lagu benar-benar dari hati, relatable kadang, dan juga romantis tapi gak cheesy,” ujar Dessy.
Semua itu memang yang mendasari Dessy menyukai lagu-lagu tertentu. Pada dasarnya Dessy mengaku dirinya senang mendengarkan musik jika sesuai dengan apa yang sedang dia rasakan. Boleh jadi, ketenangan dan lirik satu lagu sangat relate dengan keadaan dan situasi yang dialaminya.
Alasan lebih serius mengapa menyukai musik dan lagu-lagu lama dikemukakan Christophorus Hasto (25). Belakangan arsitek muda ini mengaku semakin sadar banyak musik baru semakin tak mampu memuaskan selera serta pencariannya.
Dari situ, Hasto lalu mencoba memperkaya spektrum musiknya dengan mendengarkan lagu-lagu tempo dulu. Dia menilai, dari banyak segi musik lawasan terbilang punya beberapa kelebihan dibandingkan dengan musik kekinian.
Setidaknya dari segi komposisi, musikalitas, bunyi, dan lirik. Musik tempo dulu, terutama di era 1970-an dan 1980-an, terkesan lebih eksperimental. Hasto mencontohkan beberapa musisi asing macam Tatsurō Yamashita dan Marvin Gaye. Keduanya senang bereksperimen dan hal itu berkontribusi membentuk gaya bermusik masing-masing yang khas.
Sementara dari segi lirik, Hasto berpendapat lirik musisi Indonesia kekinian cenderung harfiah, sementara para senior mereka dahulu lebih puitis sehingga membutuhkan interpretasi. Selain puitis, Hasto menilai lirik-lirik lagu jadul kaya dengan beragam kosakata bahasa Indonesia, yang menambah pengetahuannya.
”Akan tetapi bukan berarti musik sekarang enggak bagus, ya. Banyak juga musisi sekarang yang mengikuti referensi musik dan pemusik terdahulu seperti (dilakukan) Ardhito Pramono,” ujar Hasto menambahkan.
Hasto rajin menjelajah dan memperkaya khazanah musik lawasnya kini dengan bantuan beragam platform musik digital. Dari sana dia mengenal banyak musisi lawas, terutama asal Tanah Air, seperti Chrisye, Utha Likumahuwa, Guruh Soekarnoputra, Chandra Darusman, dan Band Karimata.
Tak hanya platform musik digital, pengayaan lagu-lagu lama juga bisa didapat dari banyak sumber lain, termasuk platform menonton film berbayar (OTT). Seperti dialami Julia, dia mengenal dan menggemari band asal Kanada tahun 1970-an, Bachman Turner Overdrive, dari film serial Van Helsing di Netflix.
Lebih lanjut alasan lebih pragmatis menyukai tembang-tembang lawas dilontarkan Vincent Alston (19), mahasiswa Program Studi Film Fakultas Seni dan Desain Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Buat Vincent, lagu-lagu musisi lama mampu membuatnya tenang dan fokus, terutama saat tengah mengerjakan tugas.
”Waktu SMA, aku sering ngerjain tugas malam-malam sambil dengerin lagu. Terus kayak bosan gitu kan dengar lagu zaman sekarang, jadi aku coba dengerin lagu lama, salah satunya adalah ’Just the Two of Us’ dari Grover Washington Jr dan Bill Withers,” ujar Vincent, dari Surabaya.
Baca juga : Adyatmaka Jati Tertambat pada Musik Enkulturasi
Kebiasaan itu berlanjut sampai sekarang. Tak hanya untuk mencari ketenangan, Vincent juga mengaku kerap mendengarkan musik-musik rock lama macam Queen dan The Beatles, terutama yang mampu membangkitkan semangat.
”Aku kalau dengerin lagu lumayan perhatiin sih liriknya. Lagu dulu itu bagus-bagus, enak, dan gak segalau sekarang,” ujarnya.