Adyatmaka Jati Tertambat pada Musik Enkulturasi
Adyatmaka Jati mengembangkan bakatnya bermusik dengan musik enkulturasi.
Dari ayah dan ibu yang sama-sama aktif berolah vokal di komunitas gereja, Adyatmaka Jati (25) mengenal musik lebih dekat. Saat masih duduk di bangku kelas III sekolah dasar, usia delapan tahun, perjalanannya dengan musik telah dimulai.
”Waktu itu ceritanya aku dikursuskan sama orang tuaku. Instrumennya organ. Belajar lagu-lagu pop, bau-bau jazz. Efektif belajar dari tahun 2003 sampai 2010,” kenang Jati saat dihubungi melalui telepon di Yogyakarta, Rabu (7/7/2021).
Pilihan pada organ, menurut Jati, bukan kemauan pribadinya, tapi ”paksaan” orangtuanya, terutama sang ayah yang melihat potensi Jati di bidang musik. ”Pas ditanya maunya (kursus) apa, ya maunya yang agak kerenanlah, yang laki banget. Kalau di TV yang paling kelihatan, kan, gitar sama drum. Pokoknya yang kerenlah,” imbuh Jati.
Tapi ternyata waktu itu keinginannya itu dibelokkan oleh sang ayah. Alasannya, kalau Jati hanya belajar gitar atau drum, seumur hidup dia hanya akan bisa memainkan instrumen itu saja. Tetapi bila dia belajar organ, kelak akan bisa memainkan alat musik apa saja.
Jati menurut. Di kelak kemudian hari, Jati membuktikan kata-kata sang ayah. Selain organ, Jati akhirnya bisa memainkan piano, gitar, bas, hingga drum. ”Tapi ya sekadar bisa,” ujarnya merendah.
Saat sekolah di Seminari Petrus Canisius, kecintaan Jati pada musik terus tumbuh. Dia bergabung dengan kegiatan ekstra kurikuler Orkestra. Di sana, kemampuan musiknya semakin terasah. Dari organ, Jati pun mahir memainkan piano dan biola. Dari situ muncul keinginannya untuk kelak, dapat bergabung dan tampil dalam sebuah orkestra.
Tekadnya itu mengantar Jati untuk lebih serius menekuni impiannya. Saat mulai memasuki dunia kampus, tahun 2014, Jati dengan sadar mengambil mayor cello. Cello adalah salah satu alat musik gesek yang berperan besar dalam sebuah orkestra.
”Waktu itu aku melihat peluang. Di kampus, kalau ambil piano udah banyak. Gitar apalagi. Aku melihat, instrumen yang dibutuhkan dan masih sedikit ya cello,” katanya.
Mimpinya kala itu makin mengerucut. Dia ingin tampil bersama orkestra di Istana Merdeka Jakarta. Tak dinyana, tahun 2018 mimpinya tercapai. Jati berhasil lolos menjadi Tim Orkestra Gita Bahana Nusantara (GBN) dan tampil dalam Perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka Jakarta. Tim orchestra GBN, terdiri dari para musisi muda dari seluruh provinsi di Indonesia yang sebelumnya harus lolos audisi.
Pengalaman bermusik Jati semakin luas. Jati lalu bergabung bersama Oni n Friend, mengiringi para penyanyi di Final Indonesian Voice juga final Indonesian Idol. Jati juga beberapa kali mengiringi konser Didi Kempot (alm) serta menjadi konduktor.
Di luar musik orkestra, saat masih tercatat sebagai mahasiswa, Jati juga membentuk kelompok band yang kemudian berhasil menjuarai festival band nasional. Menyabet hadiah berupa kesempatan rekaman dari sponsor utama.
Tak berhenti di situ, Jati juga merambah bidang musik yang lain seperti mencipta dan mengaransemen lagu. Salah satu lagu ciptaannya adalah ”Mars Gusdurian”, yang dibuat secara kolaborasi bersama sang ibu yang menulis lirik. Lagu ini pertama kali dinyanyikan saat sewindu haul Gus Dur, oleh Komunitas Paduan Suara Lintas Iman Purwokerto.
Terus mekar
Cinta Jati pada musik terus mekar. Tapi kali ini dia tertarik pada musik enkulturasi, berupa lagu-lagu daerah yang diliturgikan, yang dia temukan di buku Madah Bakti. Buku Madah Bakti adalah buku nyanyian untuk beribadah di Gereja, berisi lagu-lagu yang diambil dari gaya setiap lagu daerah. Misalnya lagu Kalimantan, Batak, atau Flores.
Musik-musik enkulturasi Madah Bakti tersebut dibuat oleh Pusat Musik Liturgi (PML) yang berada di Yogyakarta, sejak tahun 1971 hingga kini. Misinya adalah agar apa yang ada dan dirasakan oleh masyarakat juga muncul dalam peribadahan. Sehingga, apa yang mereka alami saat beribadah sama dengan apa yang mereka alami sehari-hari.
”Kalau pakai bahasa Latin misalnya, kan merekaenggak ngerti. Jadi, lagu-lagu daerah itu diambil ciri-ciri musiknya, kemudian dijadikan lagu untuk mengiringi ibadah,” kata Jati.
Menurut dia, musik enkulturasi tersebut sangat unik dan menarik, hal baru yang menarik minatnya dengan kuat. Ketertarikannya yang besar itu membuat Jati, untuk skripsinya, meneliti tentang musik enkulturasi. Tak disangka, Jati kemudian justru diminta oleh Romo Prier, Pimpinan PML, untuk bekerja di PML.
Setelah wisuda dari kampus, 1 Februari 2021, Jati resmi menjadi salah satu staf di PML. Dia menjadi salah satu staf yang terbilang muda di PML. Selain dipercaya menggawangi akun media sosial PML, Jati juga membuat lagu-lagu iringan khusus untuk kibor. ”Aku mengubah yang tadinya untuk organ (yang pakai kaki), diubah hanya untuk keyboard,” ungkap Jati.
Usianya bersama PML memang belum panjang. Jati masih harus belajar banyak. Seperti motonya, di mana pun dia berada, dan apa pun yang dia lakukan, dia selalu berusaha untuk menikmatinya. Apalagi, pekerjaannya saat ini masih tetap berhubungan dengan musik.
Saat ini, Jati mendedikasikan cintanya pada musik di PML. Terlebih pandemi Covid-19 membuat harapannya untuk keliling Indonesia, menyelami musik-musik tradisional sebagai material musik enkulturasi masih tertunda. Salah satu mimpinya adalah mengunjungi Aceh dan Papua. Terutama Aceh karena belum ada musik Gereja gaya Aceh.
”Mimpiku adalah aku ingin belajar aransemen untuk lagu-lagu enkulturasi. Aku ingin belajar itu. Karena musik daerah itu sangat beragam, aku harus tahu dulu sebelum mengaransemen. Enggak asal bikin. Ini juga salah satu misiku. Bermusik, kan, enggak hanya mencari profit, tapi apa yang kita lakukan juga untuk kebaikan orang lain juga,” ujarnya. Jati, ... teruslah mekar.
Adyatmaka Jati
Lahir: Klaten, 21 Agustus 1995
Ayah: FA Agus Wahyudi (Guru SMAN 2 Purwokerto)
Ibu: E Herni Widiastuti (Guru SMPN 2 Purwokerto)
Pendidikan:
- SMA Seminari Petrus Canisius, Magelang
- Universitas Negeri Yogyakarta