Alvian Wardhana menggerakkan literasi untuk siswa SD dan guru di Banua, Kalimantan Selatan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Alvian Wardhana (19) telah terkenal di dunia pendidikan anak berkat Literasi Anak Banua. Platform ini memberi les gratis untuk meningkatkan literasi anak-anak di desa pedalaman Kalimantan Selatan. Meskipun sedikit terhambat pandemi, Alvian tetap menemukan cara agar platform ini bisa tetap berkontribusi, yaitu dengan mendukung guru-guru setempat.
Berdiri sejak tahun 2018, Literasi Anak Banua memberi les gratis untuk anak-anak di bangku sekolah dasar berdasarkan kurikulum berbasis potensial. Potensi anak-anak digali sehingga mereka bisa diajarkan dengan gaya belajar yang cocok, misalnya secara visual, audio, atau kinestetik. Les gratis ini biasanya berlangsung dua kali dalam sepekan yang dilakukan oleh tiga sampai empat tutor di satu desa.
Anak-anak juga belajar tentang nilai kehidupan, seperti tentang perundungan, interaksi sosial, potensi diri, dan tujuan hidup. Selain itu, platform ini juga membuat taman bacaan membagikan alat tulis, seragam dan masker, serta memfasilitasi anak untuk berinteraksi dengan ”dunia luar” dengan memanfaatkan teknologi digital.
Literasi Anak Banua telah menjangkau sekitar 2.000 anak di 17 desa yang berstatus 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar) di Kabupaten Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, dan Tanah Laut. Desa-desa itu, antara lain, Desa Bararawa, Muning Dalam, Bejayau Tengah, Kamawakan, Sungai Bakar, Galam, dan Handil Babirik.
Sayang, pandemi menjadi tantangan besar bagi Alvian dan teman-teman untuk tetap melaksanakan misi Literasi Anak Banua. Kegiatan belajar mengajar tatap muka di sekolah dilarang atau hanya berlangsung secara terbatas. Sementara itu, beberapa desa memiliki sumber daya terbatas. Sinyal turut menjadi masalah sehingga les gratis daring sulit untuk dilakukan.
”Awal pandemi kami buat pembelajaran dalam skala kecil, tetapi akhirnya ada beberapa desa yang kami stop dulu karena tidak boleh ngumpul-ngumpul. Tapi ada desa yang kami ubah sistem pembelajarannya,” kata Alvian saat dihubungi dari Pelaihari, Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Sabtu (10/7/2021).
Alvian menjelaskan, sejak 2019, Literasi Anak Banua telah menyadari pentingnya untuk mendukung guru-guru pedalaman dalam mengembangkan metode pengajaran di sekolah. Guru-guru pun diperkenalkan dengan kurikulum berbasis potensial agar bisa diterapkan di sekolah.
Guru akhirnya mulai mahir menggunakan alat bantu sebagai bagian dari pengajaran. Mereka bisa menggunakan boneka tangan, video, atau dongeng. Meskipun sempat kelabakan, tutur Alvian, guru-guru tersebut ternyata bisa jika dibantu. Sejauh ini, Literasi Anak Banua telah membantu sekitar 30 guru di desa-desa Kalsel.
Buah manis dari pengenalan metode ajar itu terlihat saat pandemi Covid-19 datang menerpa. Meskipun les gratis ditiadakan di beberapa desa, metode belajar yang kreatif, menarik, dan menyenangkan itu bisa tetap berjalan di sekolah.
”Insight yang aku dapat dari program ini adalah awalnya aku merasa guru itu monoton, tapi ternyata mereka juga bisa setelah dibantu. Guru jadi bisa memaksimalkan potensi dan kemampuan mengajar mereka juga. Asalkan kita tetap rendah hati, guru juga mau terbuka tanpa melihat umur kami,” ujar Alvian.
Kembali diapresiasi
Alvian bersama empat temannya membuat Literasi Anak Banua setelah berinteraksi dengan seorang anak kelas III SD di Desa Kunyit, Tanah Laut, yang kesulitan membaca pada 2018. Alvian jadi termotivasi untuk mengikis kesenjangan pendidikan yang ada antara pedalaman dan perkotaan. Menurut dia, setiap anak memiliki hak untuk mengoptimalkan potensi diri.
Perjalanan Literasi Anak Banua untuk mencapai titik saat ini menempuh jalan panjang. Kehadirannya sempat ditolak beberapa desa karena warga jarang berinteraksi dengan masyarakat luar atau belum familiar dengan platform semacam ini.
Ditambah lagi, akses ke sebagian desa sulit. Ada desa yang harus dijangkau dengan kapal, berada di pegunungan, atau berjarak hingga 200 kilometer. Kunjungan ke sana membutuhkan perjuangan ekstra. Belum lagi tidak semua desa memiliki fasilitas yang memadai, seperti listrik, sinyal, atau toilet. Alvian dan teman-temannya kerap harus menginap di rumah warga atau kepala desa.
Operasional Literasi Anak Banua juga ditopang oleh dana mandiri dan donasi dari dalam serta luar negeri. Namun, kerja keras Alvian akhirnya membuahkan hasil.
”Capek sih pasti. Tapi apa yang saya lakukan sangat worth it karena bisa melihat langsung perubahan perspektif anak-anak, bahkan ikut lomba ke tingkat nasional. Mereka jadi memiliki value yang bernilai buat diri mereka sendiri,” tutur pemuda yang bercita-cita bekerja di PBB ini.
Alvian bahkan jadi belajar banyak lewat gerakan ini. Ia bisa berinteraksi dengan masyarakat adat sehingga tahu bahwa mereka ternyata bisa terbuka dengan orang luar. Alvian juga akhirnya mengenal lebih dekat soal kearifan lokal. Contohnya, pemuda ini bisa melihat langsung proses pemanfaatan sungai untuk air minum, cuci piring, hingga defekasi desa.
Keberadaan Literasi Anak Banua, yang kini memiliki 40 sukarelawan muda, diapresiasi di dalam dan luar negeri. Yang terbaru, Alvian berhasil meraih The Diana Award 2021 yang berlangsung secara daring pada 28 Juni 2021. Penghargaan ini diberikan kepada generasi muda yang dinilai membantu mengubah dunia menjadi lebih baik. Pangeran Harry turut hadir dalam acara ini.
Penghargaan itu tidak membuatnya kehilangan fokus. Alvian justru melihatnya sebagai kesempatan untuk berjejaring, belajar dari orang inspiratif, dan membuka peluang proyek lainnya. ”Aku juga jadi bisa membuktikan bahwa anak muda ada peranan untuk menciptakan dunia lebih baik, khususnya di bidang pendidikan,” ujarnya.