Kenaikan Tarif Transjakarta Jangan Bebankan Masyarakat Lemah
Selain memperbaiki layanan, kenaikan tarif Transjakarta harus disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan bayar pengguna.
Bus Transjakarta dari Stasiun Palmerah ke Tosari terisi penuh oleh penumpang, Sabtu (20/4/2024) pagi. Miranda (24), seorang penumpang bus, harus berdiri karena tidak ada satu pun kursi bus yang tersisa.
Kondisi seperti ini sudah sering Miranda rasakan. Namun, dengan ongkos Rp 3.500 untuk perjalanan lebih kurang 6 kilometer, ia merasa kurang bersyukur jika harus terus-terusan mengeluh.
”Kadang kalau lagi capek saya mengeluh harus berdiri terus sepanjang perjalanan. Untung busnya bersih dan AC nya sejuk,” kata warga Jakarta Selatan ini.
Disinggung mengenai rencana kenaikan tarif Transjakarta yang masih dikaji, Miranda mengaku sudah mendengar kabar ini beberapa waktu lalu. Ia berpendapat, kenaikan tarif pasti akan terjadi seiring berjalannya waktu. Sebab, seluruh kebutuhan pasti akan naik dari tahun ke tahun.
”Saya sih setuju saja asal tidak kemahalan dan menjadi beban bagi masyarakat. Penumpang Transjakarta ini bisa dibilang seluruh kalangan. Bagi kaum lemah, jangan sampai membebani mereka,” kata Miranda.
Selain itu, tentunya layanan dan kualitas bus hingga halte harus ditingkatkkan. Miranda berharap tidak ada penumpang yang merasa kesusahan, seperti bingung dengan rute, desak-desakan, hingga terjatuh, saat berada di dalam bus dan di halte.
Di awal kemunculannya pada Februari 2004, tarif Transjakarta dipatok seharga Rp 2.000. Sementara tarif layanan bus transjakarta sebesar Rp 3.500 pada pukul 07.00-24.00 WIB dan tarif Rp 2.000 pada pukul 05.00-07.00 WIB sudah berlaku sejak 2007 dan belum ada perubahan sampai saat ini.
Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mengkaji rencana kenaikan tarif Transiakarta. Sebab, ada usulan penyesuaian tarif dari Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) sejak setahun lalu. Tarif Transjakarta yang diusulkan menjadi Rp 4.000. Sementara pada jam sibuk (pukul 07.01-10.00 WIB dan pukul 16.01-21.00 WIB) diusulkan menjadi Rp 5.000.
Saya sih setuju saja asal tidak kemahalan dan menjadi beban bagi masyarakat. Penumpang Transjakarta ini bisa dibilang seluruh kalangan. Bagi kaum lemah, jangan sampai membebani mereka.
Sebagai penumpang setia Transjakarta sejak empat tahun silam, Syahrul Fauzi (28) mengaku kurang setuju jika tarif transportasi publik ini mengalami kenaikan. Jika tarif naik, pengeluarannya pun akan bertambah.
”Otomatis kami, para pekerja ini, pastinya menggunakan Transjakarta di jam sibuk. Dalam satu hari berarti bisa menghabiskan ongkos Rp 10.000 untuk pulang-pergi. Naiknya Rp 3.000 dari sekarang yang sehari pulang pergi Rp 7.000. Kalau misal dikalikan 30 hari, ya berarti pengeluaran naik Rp 90.000. Tinggi juga,” kata warga Jakarta Pusat ini.
Syahrul pun berharap agar tarif bus Transjakarta tidak naik. Kalaupun harus naik, ia berpendapat tarif Rp 4.000 sudah cukup. Sebab, tidak semua orang memiliki dana cukup apabila tarif naik.
”Sebelum menaikkan tarif, kualitas halte mohon diperbaiki. Kadang ada halte yang AC nya tidak terasa. Kebersihannya juga tolong diperhatikan, terutama untuk halte-halte yang sudah tua,” ujarnya.
Berbeda dengan Syahrul, warga Jakarta Selatan, Alda Fitria (30), menilai kenaikan tarif Transjakarta wajar karena tarif Rp 3.500 belum naik sejak 2007, sedangkan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta naik.
Baca juga: Kenaikan Tarif Transjakarta Masih Dikaji dengan Melibatkan Masyarakat
”Kenaikan tarif masih wajar jika di rentang Rp 4.000-Rp 5.000 untuk sekali perjalanan, tetapi lebih baik dikenakan secara keseluruhan, tidak hanya untuk jam sibuk saja. Jangan saat jam sibuk lebih mahal lagi,” tuturnya.
Alda pun meminta PT Transjakarta untuk membenahi pelayanan, terutama penumpukan penumpang pada jam sibuk karena kurangnya armada.
Sebelumnya, DTKJ telah melakukan survei terkait evaluasi rencana kenaikan tarif Transjakarta pada tahun 2023. Ada 1.204 responden dalam survei itu.
Dalam survei, responden turut memberikan aspirasi dan masukan untuk Transjakarta. Paling banyak, 44 persen menginginkan peningkatan atau perbaikan layanan Transjakarta, mikrotrans, Jaklingko, dan BRT terintegrasi. Selebihnya, 29 persen sarana, 13 persen prasarana, dan masing-masing 7 persen terkait teknologi informasi dan sumber daya manusia.
Responden juga turut menjawab kesanggupan membayar tarif untuk satu perialanan Transjakarta. Mereka dengan penghasilan lebih dari Rp 3.5 juta sanggup membavar Rp 7.916, Rp 3.5 juta sampai Rp 7 juta sanggup Rp 9.178, Rp 7 juta sampai Rp 13 juta sanggup Rp 21.073, Rp 13 juta sampai Rp 20 juta sanggup Rp 43.488, dan lebih dari Rp 20 juta sanggup Rp 74.085.
DTKJ juga memperhitungkan marginal efek dan elastisitas. Setiap kenaikan tarif Rp 1.000 akan berdampak pada turunnya 1,87 persen penumpang Transjakarta dan kenaikan tarif 10 persen mengurangi 0.76 persen pengguna BRT Transjakarta.
”Penyesuaian tarif mesti diawali dengan sosialisasi yang baik. Masukan masyarakat tentang pelayanan Transjakarta sangat penting,” ujar Ketua DTKJ Haris Muhammadun.
Perlu disesuaikan
Transjakarta belum ada perubahan tarif sejak pertama beroperasi. Meski begitu, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, menilai bahwa kenaikan tarif tetap harus disesuaikan dengan kemampuan bayar (ability to pay) dan kemauan bayar (willingnes to pay) pengguna.
Selain itu, dengan kenaikan tarif, konsumen harus mendapatkan manfaat yang akan diterima. Artinya, harus ada perbaikan pelayanan dan peningkatan standar pelayanan minimal.
”Dari catatan kami, yang sering dikeluhkan konsumen adalah waktu tunggu yang lama, kapasitas Transjakarta, serta sistem tap in dan tap out yang kadang bermasalah,” katanya.
Baca juga: Transjakarta, 20 Tahun Perjalanan Membangun Budaya Transportasi Publik
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang menilai kebijakan penetapan tarif Transjakarta yang lebih mahal ketika jam sibuk tidak tepat karena berbeda dengan sifat tarif electronic road pricing(ERP).
”Pelayanan di angkutan umum hukumnya bukan tarif seperti ERP yang bila volume kendaraan naik, bayarnya lebih mahal,” ujarnya.
Alih-alih harus membayar lebih, menurut Deddy, pengguna Transjakarta pada jam sibuk berhak mendapatkan tarif yang lebih murah karena standar pelayanan minimal (SPM) transportasi akan menurun saat itu.
”Seharusnya malah kebalikannya. Bila menggunakan angkutan umum di rush hour, baiknya tarifnya malah menurun, bahkan bisa gratis. Sebab, kenyamanan penumpang akan menurun karena transportasi penuh dan sesak,” kata Deddy.
Sementara itu, saat ini PT Transjakarta tengah meningkatkan layanan dan kenyamanan pelanggan pada tahun 2024. Hal ini mulai dari penataan seluruh rute hingga pembenahan ruang tunggu penumpang.
Baca juga: Transjakarta Masih Tuntaskan Hambatan Dua Rute Baru
”Kami memiliki kegiatan utama mulai dari restrukturisasi rute yang jumlahnya ada 236 hingga perbaikan halte,” kata Direktur Operasional dan Keselamatan Transjakarta Daud Joseph.
Terkait pembenahan rute, kata Daud, akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sehingga kegiatan penataan bisa lebih matang. Adapun PT Transjakarta masih merampungkan hambatan operasionalisasi dua rute barunya. Rute dari Pondok Cabe ke Lebak Bulus terkendala belum keluarnya izin dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek, sedangkan rute Pulogadung ke kantor Wali Kota Jakarta Utara via Tipar Cakung masih dalam proses mediasi karena protes dari sopir angkot.
Lalu, PT Transjakarta juga akan membenahi ruang tunggu bus pengumpan (feeder) agar sesuai standar dengan halte Transjkarta pada umumnya.
”Semua bangunannya harus nyaman, teduh, dan memiliki penyejuk udara (AC) agar pelanggan tidak kepanasan dan kehujanan,” ujar Daud.
Pihaknya juga mengalokasikan ruang hingga 30 persen di sejumlah halte untuk gerai usaha mikro, kecil, dan menengah guna mendukung perkembangan ekonomi DKI Jakarta.
Kemudian, PT Transjakarta berencana menambah rute-rute bus pengumpan untuk memudahkan warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang akan berpergian. Namun, Daud belum bisa menyampaikan rute penambahan lebih detail karena saat ini pihaknya dengan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) masih merumuskan sistem yang baik.
Tiru Jawa Tengah
Pengamat transportasi dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menawarkan solusi agar masyarakat lemah tidak terbebani dengan kenaikan tarif Transjakarta. Ia berpendapat, Pemprov DKI bisa menerapkan cara yang diberlakukan Pemprov Jawa Tengah dalam mensubsidi penumpang bus.
Saat ini, tarif bus Trans Jateng untuk umum ialah Rp 4.000. Sedangkan untuk pelajar, mahasiswa, buruh, dan veteran tarifnya hanya Rp 2.000.
Tarif separuh harga ini berlaku dengan syarat penumpangnya memakai seragam (pelajar dan buruh), pakaian rapi (mahasiswa), dan menunjukkan kartu pelajar, kartu mahasiswa, atau ID Card Asli atau bukti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan / Jamsostek (bagi buruh). Sedangkan bagi veteran syaratnya menunjukkan tanda anggota veteran.
Menurut Djoko, pihak Transjakarta bisa membuka pendaftaran bagi warga yang mau mendapatkan tarif khusus. Jika buruh, selain menunjukkan KTP, mereka juga bisa menunjukkan surat keterangan dari tempat bekerja atau RT setempat.
“Jika ketahuan berbohong (mungkin ada yang melapor atau ada petugas yang bisa memferifikasi), bisa dicabut dan bisa juga untuk sementara waktu tidak boleh menggunakan bus Transjakarta,” kata Djoko.