Dari Pakaian hingga Ayam Jago Dibawa ke Kampung Halaman
Pemudik membawa berbagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah. Mulai dari pakaian sampai ayam jago pun dibawa serta.
Bagi pemudik yang menggunakan sepeda motor, perjalanan jauh dan melelahkan tidak menjadi halangan. Bagi mereka, bertemu dengan keluarga di kampung halaman sudah menjadi ”obat rindu” yang paling mujarab.
Ahmad Bustomi (23) membonceng adiknya, Rizky Adinata (18), dengan sepeda motor, Sabtu (6/4/2024) malam. Mereka berangkat dari Bantargebang, Bekasi, dan akan melaju menuju Kota Bumi, Lampung. Dari Bekasi, Ahmad dan Rizky membawa satu kardus dan tas ransel berisi pakaian dan seekor ayam jago yang mereka masukkan dalam tas berbahan rotan.
”Ini saya bawa untuk kado keluarga di kampung,” kata Ahmad yang sudah lima tahun merantau.
Sesampainya di Kalimalang, mereka singgah sejenak di sebuah SPBU untuk menunggu seseorang. Ternyata Ahmad akan bertransaksi motor bekas dengan seseorang.
Motor matic itu juga akan dibawa ke Lampung untuk digunakan adiknya bersekolah di sana. ”Saya memilih membeli semua barang dari Jakarta karena harganya jauh lebih murah,” kata Ahmad.
Setelah transaksi selesai, Rizky membawa motor matic tersebut, sedangkan Ahmad membawa motor yang sudah mereka bawa dari Bekasi. Selanjutnya, mereka akan segera ke Pelabuhan Merak untuk berangkat ke Lampung. ”Waktu yang dibutuhkan untuk sampai rumah sekitar 15 jam,” katanya.
Walau menelan waktu sangat panjang, bagi Ahmad, mudik dengan sepeda motor jauh lebih efisien. ”Selain hemat biaya, kita juga bisa menembus panjangnya kemacetan,” kata Ahmad, yang bekerja sebagai seorang karyawan swasta di Bekasi.
Untuk sampai ke Lampung, Ahmad menyiapkan dana sekitar Rp 600.000. Selain untuk bensin dan penyeberangan kapal, uang itu juga digunakan untuk makan ketika perut keroncongan. ”Untuk makan saya keluarkan uang sekitar Rp 150.000, sedangkan untuk bensin sekitar Rp 200.000,” kata Ahmad.
Adapun untuk penyeberangan dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni, Lampung, ia harus merogoh kocek Rp 80.000 per motor.
Baca juga: Puncak Arus Mudik di Pelabuhan Bakauheni, Pemudik Sepeda Motor Dapat Pengawalan
Hal serupa juga dilakukan Mohamad Joddy (24). Dengan menggunakan motor tahun 2004, ia berangkat dari tempat tinggalnya di Halim Perdanakusuma, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, menuju Purbalingga, Jawa Tengah. Joddy tidak sendiri. Dia berangkat bersama adik dan satu rekan kerjanya. ”Kita harus konvoi agar bisa saling menjaga satu sama lain,” ujar Joddy.
Untuk sampai kampung halaman yang menelan waktu tempuh hingga 9 jam itu, Joddy harus menyiapkan dana sekitar Rp 2 juta. Selain untuk persiapan perawatan motor. Di bangku belakang, ia menyiapkan segala perlengkapan, mulai dari pakaian hingga beragam kunci untuk perbaikan motor ketika terjadi masalah di perjalanan.
”Semua harus dipersiapkan, apalagi adik saya menggunakan motor tahun 1995,” katanya.
Selain itu, motor juga dibutuhkan ketika sedang berada di kampung halaman. ”Di kampung tidak ada motor sendiri, jadi saya bawa motor sampai Jakarta,” ucap Joddy.
Memang banyak hal yang harus dipersiapkan, mulai dari fisik hingga kondisi motor yang prima. Oleh sebab itu, ketika lelah, Joddy lebih memilih untuk singgah. ”Setiap dua jam kami memutuskan untuk rehat sejenak. Apalagi, kalau sudah ngantuk lebih baik tidur di rest area (tempat istirahat) terdekat,” kata Joddy.
Menurut Joddy, pulang dengan sepeda motor membawa kesan yang mendalam. ”Motoran bersama ribuan pemudik itu rasanya sangat berbeda. Lelah, tapi menyenangkan,” katanya yang sudah tujuh tahun terakhir selalu mudik menggunakan sepeda motor.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Ade Ary Syam Indradi berharap pemudik motor lebih berhati-hati ketika menempuh perjalanan panjang. ”Sebenarnya sepeda motor memang tidak dirancang untuk perjalanan jauh. Namun, kami tidak bisa melarang. Semua keputusan ada di pemudik sendiri,” kata Ade.
Kepada seluruh pemudik, Ade berharap agar mempersiapkan diri sebelum ”mengarungi” jalanan. Persiapan itu seperti kondisi fisik dan kendaraan harus prima, serta memiliki wawasan mengenai rute yang akan ditempuh dan juga fasilitas publik yang ada di sekitarnya. ”Mulai dari keberadaan tempat ibadah, restoran, SPBU, hingga toilet,” katanya.
Sebenarnya, ujar Ade, Polri sudah berupaya untuk mengurangi pemudik menggunakan sepeda motor dengan menggalakkan mudik gratis dan parkir gratis di polsek dan polres. Namun, tetap saja jumlah pemudik yang menggunakan motor cukup tinggi.
Survei Angkutan Lebaran dari Kementerian Perhubungan menunjukkan, secara nasional ada 193,6 juta orang yang melakukan pergerakan pada masa angkutan Lebaran. Dari jumlah itu, sebesar 16,07 persen atau sekitar 31,12 juta orang menggunakan sepeda motor. Adapun untuk wilayah Jabodetabek sekitar 9,02 persen atau 2,56 juta orang masih menggunakan sepeda motor.
Baca juga: Pemudik Sepeda Rayakan Lebaran dengan Gowes Ratusan Kilometer
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, mengatakan, penggunaan motor untuk mudik sebenarnya sangat berbahaya. Teringat ketika tahun 2005 saat banyak pemudik motor yang kehilangan nyawa. ”Bahkan, ada anak balita yang meninggal dalam pelukan orantuanya,” kata Djoko.
Seharusnya perlu ada aturan tegas agar pemudik tidak bisa lagi menggunakan motor untuk pulang kampung, misalnya dengan membatasi kapasitas motor menjadi di bawah 100 (cubic capacity/cc). Nyatanya, banyak pabrikan yang berlomba meningkatkan kapasitas CC-nya. ”Tak heran jumlah pemudik motor semakin banyak,” katanya.
Sejumlah program, seperti mudik gratis, hanya menekan sekitar 5 persen untuk beralih dari sepeda motor ke angkutan umum. Menurut Djoko, untuk mengurangi masyarakat menggunakan sepeda motor, hal yang perlu dibenahi adalah meningkatkan kualitas angkutan umum hingga daerah pelosok.
Survei Angkutan Lebaran dari Kementerian Perhubungan menunjukkan, secara nasional ada 193,6 juta orang yang melakukan pergerakan pada masa angkutan Lebaran. Dari jumlah itu, sebesar 16,07 persen atau sekitar 31,12 juta orang menggunakan sepeda motor.
Ketua Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya Muhammad Ichsan Hadjri menuturkan, mudik ke kampung halaman merupakan suatu cara untuk merealisasikan pemerataan ekonomi. ”Dengan adanya mudik, perputaran uang tidak hanya terkonsentrasi di perkotaan, tetapi juga mengalir hingga desa,” katanya.
Ia mencontohkan, sebelum mudik, banyak persiapan yang harus dilalui, mulai dari persiapan kendaraan hingga barang-barang yang harus dibawa. Tidak hanya itu, ketika di perjalanan, pemudik juga akan mengeluarkan uang untuk makan atau membeli oleh-oleh tambahan.
Sesampainya di kampung halaman, ada tradisi salam tempel yang tentu juga akan mengalirkan dana kepada anak. Anak juga akan menggunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu. ”Tentu ini adalah pergerakan ekonomi yang baik,” katanya.
Danu berpose di samping muatan motornya yang diberi tulisan pesan moral "Orangtua tidak minta macam-macam, yang penting anaknya datang" di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur, Jumat (5/4/2024).
Apalagi, saat ini aparatur sipil negara mendapatkan THR dan gaji ke-13 secara penuh. Kondisi ini membuat geliat ekonomi juga semakin baik. ”Setidaknya 20 persen THR bisa digunakan untuk mudik atau membeli kebutuhan saat Lebaran,” kata Ichsan.
Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Sebab, konsumsi rumah tangga juga menjadi daya dorong pertumbuhan ekonomi, baik di daerah maupun untuk cakupan nasional.