Kisah mereka yang tidak bisa mudik di tengah kesulitan ekonomi. Menahan rindu demi mendapat cuan.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
Tidak semua orang punya kesempatan untuk mudikLebaran dan bertemu keluarga di kampung halaman. Sebagian harus tetap bekerja atau mencari cuan di perantauan karena kesulitan ekonomi. Para pedagang kecil, tukang parkir, hingga asisten rumah tangga menahan rindu bertemu keluarga demi mendapat cuan.
Lebaran tahun ini, Herianto (55) tidak bisa mudik lagi ke kampung halamannya di Jambi atau ke kampung istri di Tegal, Jawa Tengah. Pria plontos itu berjualan minuman dalam kemasan yang dijajakan di atas gerobak di sekitar kawasan Blok M, Jakarta.
Herianto memilih pulang ke kampung di hari biasa. Di hari biasa, harga tiket lebih terjangkau bagi pekerja informal sepertinya. “Saya tidak mudik Lebaran tahun ini agar tetap bisa berjualan,” katanya, di Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Pikir Herianto, ada peluang untuk mendulang cuan lebih banyak. Persaingan lebih longgar. Sebab, banyak teman sesama pedagang di pusat perbelanjaan itu yang mudik di saat libur Lebaran.
Saat Lebaran hari pertama, Jakarta memang sepi. Namun, selang satu atau dua hari, banyak orang jalan-jalan ke kawasan perbelanjaan itu. Dia menyadari bahwa ia bukan pekerja formal yang setiap Lebaran mendapat tunjangan hari raya.
Oleh karena itu, tetap berjualan adalah bentuk siasat yang ia lakukan agar bisa memperoleh penghasilan lebih. Sebab, baginya, kembali ke kampung halaman saat Lebaran membutuhkan biaya besar.
Selain biaya transportasi, dia juga harus memberi “salam tempel” untuk kemenakan. “Kami kagak dapat tunjangan,” katanya dalam dialek Betawi.
Pengemudi daring yang duduk di samping Herianto langsung menimpali perkataan itu. “Kalau dia mudik, kagak ada yang saya utangin nanti,” selorohnya. Mereka terbahak menertawakan penderitaannya tak bisa pulang kampung.
Di depan kantor Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), seorang juru parkir, Sunarto (51), sibuk mengatur parkir dan melayani pembayaran digital.
Ia termasuk pekerja informal yang memilih tidak mudik di waktu libur Lebaran 2024. Ia memang berniat akan pulang ke Boyolali, Jawa Tengah, tetapi setelah arus balik Lebaran usai.
Bagi Sunarto, mudik adalah momen perjumpaan dengan keluarga. Untuk berjumpa keluarga, ia punya pandangan tak harus dilakukan di hari libur Lebaran. Dia juga tidak ingin ikut bermacet-macetan di jalan.
Ia ingat betul pada libur Lebaran 2016 kemacetan parah terjadi di pintu tol Trans-Jawa di Kabupaten Brebes, Jateng. “Orang kayak saya kalau enggak mudik bisa mengurangi macet juga,” katanya.
Sunarto memilih pulang kampung setelah Lebaran. Rencana itu ia susun untuk menghindari kemacetan hingga keramaian di jalan dan kampung halaman. Selain itu, ia ingin memberi kesempatan orang lain untuk menikmati program mudik gratis yang diselenggarakan pemerintah dan sejumlah perusahaan.
“Kalau buat pulang ke kampung, saya bisa bayar ongkos sendiri. Kalau orang kantoran kan liburnya diatur. Orang kayak saya bebas memilih pulang kampung kapan saja,” katanya.
Ia berniat mengendarai sepeda motor ke Boyolali. Ia menyadari hal itu tidak dianjurkan pemerintah karena riskan mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Kendati demikian, ia punya kesenangan tersendiri menempuh perjalanan jarak jauh seorang diri di atas "kuda besi". Sunarto bercerita, banyak pengalaman mengobrol dengan orang tak dikenal saat beristirahat di perjalanan.
Dari pengalamannya, ia menempuh sedikitnya 12 jam berkendara dari Jakarta ke Boyolali. Itu diselingi dengan istirahat untuk tidur di sekitar Cirebon, Jawa Barat, dan Pekalongan, Jawa Tengah.
Aini (42) yang tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur, juga memilih tidak mudik tahun ini. Ia menjadi infal atau asisten rumah tangga (ART) pengganti. “Peluang menjadi ART pengganti bisa saya manfaatkan untuk memperoleh penghasilan tambahan,” katanya.
Aini mendapat upah Rp 250.000 per hari. Dia bertugas menyapu, mengepel, memasak, mencuci pakaian, dan cuci piring. Berdasarkan kesepakatan ia dan kenalannya, Aini akan bekerja setidaknya tujuh hari.
Menurut Aini, tawaran itu lumayan untuk menambah penghasilannya. Dia akan pulang kampung di waktu lain. Uang hasil ART dadakan bisa digunakan untuk pulang kampung, meskipun tidak saat Lebaran.
Abdul Kadir Riyadi, Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya mengatakan, Mudik merupakan tradisi yang dilakukan untuk tujuan mendasar, yakni silaturahmi. Tradisi ini mengakar kuat pada masyarakat Indonesia. Mudik jadi salah satu fragmen penjaga warisan historis yang dimulai dari kelompok sosial yang paling kecil, yakni keluarga (Kompas, 18/4/2023).
Sesuai teori migrasi dari Everett Lee (1984), salah satu sifat perpindahan penduduk adalah nonpermanen. Keinginan masyarakat—di mana pun itu—untuk kembali sejenak ke kampung setelah sekian lama tinggal di perkotaan menjadi kebutuhan emosional yang layak diperjuangkan.
Namun, tidak semua masyarakat berkesempatan mudik dan bersilaturahmi dengan keluarga. Sebagian harus tetap berjuang di perantauan, menahan rindu di tengah kesulitan ekonomi…