Koalisi Masyarakat Sipil Berencana Gugat UU Daerah Khusus Jakarta
UU Daerah Khusus Jakarta berpotensi menimbulkan masalah karena pembahasannya tidak terbuka dan minim partisipasi publik.
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil berencana menggugat Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta ke Mahkamah Konstitusi karena pembahasannya tidak terbuka atau minim partisipasi publik.
Koalisi yang terdiri dari 19 organisasi atau perwakilan masyarakat ini terlebih dulu akan berdiskusi dengan pemerintah dan dewan tentang implikasi berlakunya undang-undang tersebut.
Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta sudah disahkan menjadi Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta dalam Rapat Paripurna DPR Ke-14 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024, Kamis (28/3/2024). Fraksi PKS satu-satunya fraksi yang menolak pengesahan tersebut.
Baca juga: RUU DKJ Disahkan, Pemindahan Ibu Kota Tunggu Keputusan Presiden
Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU Daerah Khusus Jakarta) ini terdiri dari 12 bab dan 73 pasal. Selanjutnya, pemindahan ibu kota baru ke Nusantara, Kalimantan Timur, akan dilaksanakan setelah terbit peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan keputusan presiden.
Koalisi Orang Muda dan Masyarakat Sipil Jakarta berencana menggugat beleid itu karena pembahasannya tidak terbuka atau minim partisipasi publik hingga pengesahannya yang tergesa-gesa.
”Gugatan masih dalam pembicaraan. Kamis ini akan diskusi terbatas terlebih dulu, menghadirkan anggota DPR,” ujar Dika Muhammad, perwakilan Koalisi Orang Muda dan Masyarakat Sipil Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Diskusi terbatas tentang mengurai implikasi berlakunya UU Daerah Khusus Jakarta itu akan berlangsung pada Kamis (4/4/2024) esok.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, anggota Fraksi PKB DPR Luluk Nur Hamidah, anggota Fraksi PKS DPR Mardani Ali Sera, anggota DPD Fahira Idris, dan ahli tata kota Marco Kusumawijaya direncanakan hadir dalam diskusi tersebut.
Dika mengatakan, sedari awal koalisi mendorong adanya partisipasi publik dalam pembahasan UU Daerah Khusus Jakarta.
Kali terakhir, koalisi yang terdiri dari Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia DKI Jakarta, Komite Pemantau Parlemen Jabotabek, Indonesia Budget Center, Gusdurian Jakarta, Safnet, Forum Islam Progresif, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Jakarta, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik DKI Jakarta, Relawan Pendidikan dan Advokasi Pendidikan DKI Jakarta, dan lainnya bersurat kepada Presiden Joko Widodo dan DPR, Rabu (27/3/2024).
Dalam surat kepada presiden dan DPR, koalisi memprotes tidak adanya partisipasi publik yang bermakna dalam pembahasan undang-undang, serta sosialisasi dan dialog publik yang belum cukup luas ataupun mendalam untuk menjaring aspirasi dan masukan dari berbagai kelompok masyarakat.
Pasal ini masih berpotensi menjadi pasal bagi-bagi kekuasaan.
Dengan demikian, undang-undang berpotensi melayani kepentingan oligarki dan kelompok tertentu, serta memperkuat sentralisasi dan melemahkan kontrol publik.
”Masih mengandung banyak pasal yang kurang jelas dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Apalagi, kajian dan analisis dampaknya terhadap berbagai aspek belum tuntas dilakukan,” kata Dika.
Koalisi meminta Presiden dan DPR menunda pengesahan, merevisi dan menyempurnakan, serta memastikan pembahasan secara terbuka.
Potensi masalah
Koalisi Orang Muda dan Masyarakat Sipil Jakarta juga menyoroti sejumlah pasal yang berpotensi jadi masalah di kemudian hari. Munculnya pasal bermasalah ini karena masyarakat tidak diberi akses untuk mengetahui perkembangan pembahasan UU Daerah Khusus Jakarta.
Pasal dimaksud adalah Pasal 55 tentang Ketua dan Anggota Dewan Kawasan Aglomerasi Ditunjuk oleh Presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai dewan kawasan aglomerasi dan tata penunjukannya diatur dengan peraturan presiden.
Baca juga: Harapan dan Nasib Jakarta di Balik Pengesahan RUU DKJ
Kemudian, keberadaan dewan kota dan lembaga musyawarah kelurahan. Pasal 17 mengatur gubernur menetapkan anggota dewan kota/kabupaten dan Pasal 18 mengatur wali kota/bupati menetapkan anggota lembaga musyawarah kelurahan berdasarkan usulan dari camat.
”Pasal ini masih berpotensi menjadi pasal bagi-bagi kekuasaan,” ucap Elizabet Kusrini, perwakilan dari Koalisi Orang Muda dan Masyarakat Sipil Jakarta.
Sama halnya dewan kota dan lembaga musyawarah kelurahan yang berpotensi menjadi lahan politik baru di luar mekanisme pemilihan yang sudah ada.
Kedua lembaga itu dinilai tidak akan efektif bekerja karena hanya akan menjadi lembaga penampung dan penyampai aspirasi, tidak mempunyai kekuatan politik, dan menghabiskan APBD ketimbang kerja nyata yang ada hasilnya.
”Dewan kota/kabupaten dan lembaga musyawarah kelurahan tidak memiliki relevansi kerja dengan kekhususan yang diberi pada Jakarta,” ujar Elizabet.
Kawal implementasi
Selain rencana menggugat, UU Daerah Khusus Jakarta juga akan dikawal implementasinya. Diyakini akan ada banyak masalah lantaran pembahasannya yang minim partisipasi masyarakat.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta Ary Subagyo Wibowo menuturkan, pihaknya tidak jadi menggugat beleid tersebut setelah dibatalkannya ketentuan presiden menunjuk gubernur dan wakil gubernur. Namun, implementasi undang-undang ini akan dikawal.
”Saatnya mengawal karena Jakarta tidak dipersiapkan dengan baik sebagai kota bisnis dan kota global. Proses transisi seharusnya dilakukan saat ini, tetapi belum tersentuh. Kesannya pekerjaan yang dipaksakan,” kata Ary.
Secara terpisah, anggota Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta, Suhud Alynudin, mengutarakan hal serupa. UU Daerah Khusus Jakarta sudah resmi sekalipun sebagai sebuah aturan yang dibuat tergesa-gesa, tertutup, dan minim partisipasi publik.
”Kami (PKS) meyakini akan banyak kekurangan. Di level implementasi akan ada persoalan. Untuk itu, kami akan terus mencermati dan mengkaji implementasi, serta dampaknya terhadap pengelolaan negara ke depan,” tutur Suhud.
Dari mencermati dan mengkaji ini tidak tertutup kemungkinan adanya revisi atau penyempurnaan. Bahkan, bisa dicabut karena dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat ke depan.
Baca juga: Dibahas Tanpa Partisipasi Publik Bermakna, RUU DKJ Rawan Digugat ke MK
Sehubungan dengan sahnya UU Daerah Khusus Jakarta, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menanti adanya peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan keputusan presiden untuk tindak lanjut.
”Nanti dibahas Istana, mungkin tidak terlalu lama keluarnya,” ujar Heru.