Ramadhan, Momentum Jihad Ekologi
Delapan hari Ramadhan, ada 2,5 ton sampah makanan di Masjid Istiqlal. Ini momentum pertobatan ekologi umat Muslim.
Kegiatan berbagi makanan di bulan Ramadhan cenderung tinggi dibandingkan bulan-bulan lain di Indonesia. Terlepas dari kegiatan positif yang bermanfaat ini, bagi-bagi makanan tersebut meningkatkan sampah sisa makanan dan kemasannya. Jika tidak dikelola dengan baik, kegiatan mulia di bulan suci ini bisa menimbulkan persoalan lingkungan dan turunannya.
Salah satu contoh lokasi yang bisa dilihat ialah di Masjid Istiqlal Jakarta. Pengurus masjid terbesar di Asia Tenggara ini selalu menyediakan hidangan buka puasa bagi jamaah selama Ramadhan. Sedikitnya ada 4.000 porsi per hari disiapkan bagi umat Muslim yang berbuka puasa di Masjid Istiqlal.
Wakil Ketua Bidang Riayah Masjid Istiqlal AR Her Pratama mengatakan pada hari Rabu (20/3/2024), dalam delapan hari pertama puasa, jamaah yang beribadah di Istiqlal berjumlah 4.000-8.000 orang per hari. Ini hanya pada periode Senin-Kamis.
Baca juga: Mereka Tak Asing Berpuasa di Indonesia
Di periode Jumat sampai dengan Minggu, jumlah jamaah bisa meningkat 12.000-17.000 orang. Akibat kondisi tersebut, sampah di Masjid Istiqlal bisa mencapai 1 ton per hari saat Ramadhan. Angka itu setara peningkatan 50 persen dibandingkan bulan-bulan lain.
Kondisi itu dikhawatirkan semakin memberatkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bantar Gebang yang menampung sampah dari seluruh penjuru Jakarta. Berlandaskan pengalaman panjang itu, mulai Ramadhan tahun ini, pengurus Masjid Istiqlal memulai langkah pengelolaan sampah. Mereka bekerja sama dengan Unilever Indonesia untuk mengelola sampah sisa makanan dan kemasannya setiap hari, terutama di saat buka puasa bersama.
Terdapat 10 titiktempat sampah di Masjid Istiqlal. Ada tim yang berjaga di setiap titik. Pada Rabu (20/3), sejumlah orang yang selesai berbuka puasa secara mandiri diarahkan untuk memilah-milah sampah masing-masing. Ada satu tempat sampah untuk menampung berbagai limbah plastik, seperti botol, gelas plastik, atau kantong plastik.
Setelah itu, jamaah diminta untuk membuang sisa makanan di satu tempat sampah lain. Adapun kardus makanan dan sampah kertas dibuang di satu wadah khusus. Kesadaran memang belum sepenuhnya dimiliki oleh setiap jamaah. Ada beberapa orang yang main buang saja seluruh sampah ke dalam satu wadah.
Baca juga: BPOM Jakarta Uji Cepat Takjil di Benhil
Jika demikian yang terjadi, tim penjaga mesti memisahkan sampah satu persatu. Temmy, sapaan Her Pratama, mengakui bahwa hal mendasar yang dibutuhkan untuk mengelola dan memilah sampah adalah pemberian pemahaman kepada jamaah.
Kendati demikian, dengan upaya yang sudah dilakukan, banyak sampah yang terkelola karena sudah dipisahkan. Pengelola Masjid Istiqlal menyebut sekitar 10-15 persen sampah terkelola dengan baik. Angka itu diharapkan terus meningkat hingga akhir Ramadhan. Sebab, materi tentang pengelolaan sampah juga menjadi bagian yang ditekankan dalam sejumlah ceramah di Masjid Istiqlal.
“Faktanya, selama delapan hari program pemilihan sampah di masjid Istiqlal, sudah 2,5 ton sampah yang dipilah dan tidak dibuang ke TPA,” kata Temmy dalam diskusi bertajuk “Bincang Ramadhan: Ramadhan Bersih, Bersihkan Hati, Bersihkan Lingkungan” di Masjid Istiqlal.
Momentum Ramadhan ini, lanjut dia, bisa menjadi semacam latihan bagi jamaah Masjid Istiqlal. Tujuannya, agar nilai dan laku disiplin berpuasa bisa juga diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari dalam mengelola sampah.
Hal itu bisa dimanifestasikan melalui ceramah, diskusi, dan pembiasaan di masjid selama Ramadhan. Menurutnya, banyak ayat Al-Quran yang menyerukan umat Muslim untuk menjaga bumi dan bisa disampaikan dalam ceramah dan diskusi di masjid.
“Salah satu faktor yang paling efektif menyadarkan publik adalah dengan agama,” kata dia.
Baca juga: Seabad Bubur Harisah Panjunan Cirebon, Setia Setiap Bulan Puasa
Dalam diskusi yang sama, Sekretaris Perusahaan sekaligus Direktur Urusan Keberlanjutan Unilever Indonesia Nurdiana Darus mengatakan, selama Ramadhan masjid menjadi semacam rumah kedua bagi umat muslim. Untuk itu, inisiatif memilah dan mengelola sampah di tingkat masjid bisa menjadi gerakan progresif bagi kehidupan.
“Sejauh ini, setidaknya sampah di Masjid Istiqlal bisa diproses 300 kilogram per hari. Itu untuk didaur ulang agar tak langsung terbuang ke TPA,” katanya.
Jihad ekologi
Fenomena peningkatan sampah selama Ramadhan bisa menjadi momentum penyadaran publik, setidaknya dimulai dari umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Menurut Koordinator Green Faith Indonesia sekaligus Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah Hening Parlan, Indonesia termasuk tinggi di skala global dalam aspek sampah makanan.
Berdasarkan data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Indonesia menduduki peringkat ke-121 dari 196 negara untuk soal sampah makanan. Akan tetapi, peringkat ini harus dimaknai secara komprehensif. Indonesia memproduksi 20,9 juta ton sampah makanan per tahun. Artinya, setiap penduduk Indonesia memproduksi 77 kilogram sampah makanan per tahun.
Baca juga: Perayaan Natal ”Green Christmas” demi Kelestarian Lingkungan
Menurut Hening, angka itu ironis karena umat Islam memercayai Allah dan Rasul meminta manusia menjaga dan menyelamatkan bumi. Jika tidak dilaksanakan, itu bisa dimaknai umat Muslim tidak bersungguh-sungguh dalam beragama Islam.
“Pada Ramadhan ini, mari kita melakukan pertobatan ekologis. Dari langkah tobat ini, kita bisa melakukan jihad ekologi. Tidak usah jauh-jauh, mulai dari pilah sampah, tidak belanja banyak-banyak, memasak secukupnya, dan seterusnya,” tutur Hening.
Baca juga: Mudik Aman, Rumah Antikemalingan
Melalui langkah-langkah sederhana itu, manusia bisa menjaga kualitas dan kelestarian lingkungan tempat tinggalnya. Ia mencontohkan, botol plastik yang terbuang begitu saja di tanah tidak bisa terurai sampai 400 tahun; satu puntung rokok tidak bisa terurai selama 50 tahun.
Hening mengatakan, jika perilaku mengelola sampah umat Muslim buruk, itu bisa menjadi dosa jariah. “Ternyata (kalau) dosa jariah kita lebih banyak dari amal jariah kita, celaka, kan?” kata dia.
Pemerintah DKI Jakarta mencatat, setidaknya ada 5,8 ton sampah yang sulit dikelola oleh mereka. Sebanyak 46-48 persen di antaranya berupa sampah organik, termasuk sisa-sisa makanan. Hal itu belum terselesaikan meski pemerintah sudah menggunakan teknologi pengelolaan dan pengolahan sampah.
Baca juga: Pengelolaan Sampah Makanan Antardaerah Belum Satu Visi
Menurut Kepala Bidang Pengurangan dan Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Dedy Setiono, pengurangan sampah dari sumbernya adalah hal utama yang harus dilakukan. Selain pemilahan sampah dan mengurangi produksi sampah di tingkat individu, pengelolaan di tempat-tempat publik juga penting dilakukan.
“Sehingga sampah yang dikirim ke TPA Bantar Gebang akan semakin sedikit, terutama food waste,” kata Dedy.
Inisiatif yang dilakukan oleh Masjid Istiqlal bisa menjadi contoh bagi masjid-masjid lain di Indonesia. Lewat cara-cara itu, bulan Ramadhan bukan hanya untuk mengontrol diri terhadap sesuatu yang privat, tetapi juga berdimensi ekologi—menjaga lingkungan, tempat tinggal manusia.