Batasi Kepemilikan Kendaraan Bermotor, Dongkrak Minat Naik Kendaraan Umum
Minat warga naik transportasi umum belum optimal. Apakah perlu ada pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi?
Minat masyarakat untuk menggunakan moda transportasi umum masih minim. Hal ini tidak terlepas dari belum terintegrasinya moda transportasi umum, terutama antara DKI Jakarta dan daerah satelit lainnya. Berbagai upaya dilakukan guna meningkatkan minat warga Jakarta untuk beralih dari kendaraan bermotor ke moda transportasi umum.
Ahmad Nasrun (28), warga Kota Tangerang, masih terbiasa menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas dari tempat tinggalnya yang ada di Kota Tangerang menuju Jakarta Barat.
”Dalam keseharian saya lebih memilih menggunakan motor daripada angkutan umum,” ujar Ahmad, Jumat (15/3/2024).
Ada beberapa alasan dia memilih kendaraan pribadi. Pertama, karena pekerjaannya di bidang pemasaran menuntut dirinya tidak menetap di kantor, tetapi harus menjelajahi Jakarta. Apalagi, masih banyak daerah di Jakarta yang belum terakses angkutan umum.
”Jika dihitung masih lebih hemat menggunakan sepeda motor ketimbang menggunakan kendaraan umum,” ujar pria satu anak ini.
Baca juga: Integrasi Sistem Angkutan Umum di Jakarta Mudahkan Penumpang
Begitu juga dengan Muhammad Husein (30) yang memilih menggunakan sepeda motor dibandingkan dengan menggunakan kendaraan umum. Alasannya, karena dia harus memboncengkan istrinya yang juga berkantor di lokasi sejalur dengan tempat ia bekerja.
Selain itu, dia tidak terbiasa dengan kondisi kereta rel listrik (KRL) yang selalu berdesak-desakan di jam padat. Apalagi mengenai ketepatan waktu, angkutan umum di Jakarta masih sulit diprediksi.
Ahmad dan Husein adalah dua warga yang beraktivitas di Jakarta yang masih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum.
Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, penggunaan sepeda motor masih mendominasi. Dari 88 juta perjalanan per hari, penggunaan sepeda motor mencapai 68,3 persen. Sementara pengguna kendaraan umum masih sekitar 18,45 persen. Ketimpangan ini membuat permasalahan lalu lintas, terutama kemacetan, masih terjadi.
Kepala Pusat Data Informasi Perhubungan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Susilo Dewanto memaparkan, berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 di Pasal 8 tertulis jika target untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif, efisien, lancar, dan terintegrasi maka perjalanan warga yang menggunakan angkutan umum harus mencapai angka 60 persen.
Hanya saja, dalam pelaksanaannya, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti belum terintegrasinya permukiman penduduk dan antarmoda angkutan massal. Saat ini pembangunan masih berpihak pada penggunaan kendaraan pribadi dan jalan tol. Di sisi lain, pemanfaatan ruang secara optimal masih terbatas.
Di sisi lain, harga rumah di tengah kota juga kian tinggi sehingga banyak warga, terutama yang berpenghasilan rendah, harus tinggal di pinggiran kota yang tentu akan berdampak pada meningkatnya biaya transportasi.
”Mobilitas terbatas karena sangat bergantung pada kendaraan pribadi dan kondisi lalu lintas. Akibatnya, kemacetan lalu lintas masih saja terjadi, juga ketidaksetaraan dan degradasi lingkungan,” ucapnya.
Pemerintah terus berupaya meningkatkan cakupan angkutan umum, di antaranya dengan meningkatkan armada angkutan umum. Ia mencontohkan untuk total armada Transjakarta kini mencapai 4.543 unit. Jumlah subsidi untuk pelayanan Transjakarta bertambah dari Rp 663 miliar pada 2015 menjadi Rp 3,2 triliun pada 2023.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menuturkan, untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi, pemerintah sudah melakukan upaya pembatasan kendaraan bermotor yang diimplementasikan dalam bentuk ganjil genap.
Kemacetan lalu lintas masih saja terjadi, juga ketidaksetaraan dan degradasi lingkungan.
Kebijakan yang diberlakukan sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil Genap ini diharapkan bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
Namun, menurut Syafrin, ada hal yang lebih efektif untuk mengurangi lalu lintas kendaraan pribadi, yakni membatasi kepemilikan kendaraan bermotor.
”Di beberapa negara aturan ini sudah bisa diterapkan dan mampu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi serta beralih ke angkutan umum,” ucapnya.
Di sisi lain, upaya integrasi moda transportasi juga terus dilakukan. Selain menambah armada, kerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah satelit juga terus dilakukan. Hanya saja, proses percepatan integrasi masih terkendala anggaran.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, Jakarta memiliki sistem moda transportasi umum paling baik. Kondisi ini terjadi karena mereka disokong dengan anggaran yang mencukupi.
Namun, pembenahan sistem transportasi umum harus dijalankan segera karena kerugian akibat kemacetan sudah sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2020-2024 menunjukkan kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp 65 triliun.
Adapun untuk beberapa kota besar, seperti Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar, kerugian ekonomi akibat kemacetan sudah mencapai Rp 12 triliun.
Baca juga: 70 Persen Warga Jakarta Ditargetkan Beralih ke Transportasi Umum
Karena itu, pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, juga telah berupaya menstimulasi angkutan umum di daerah, salah satunya dengan penggunaan layanan dengan skema by the service (BTS).
Skema ini diimplementasikan dengan cara membeli layanan dari operator dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan bertujuan meningkatkan pengguna transportasi publik. Namun, pelaksanaan BTS hanya untuk melecut pemerintah daerah dan instansi terkait, termasuk swasta untuk turut berkontribusi memajukan moda transportasi umum di daerahnya.
”Kreativitas dari pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk merealisasikan integrasi sistem transportasi umum ini,” kata Budi.
Kepala Badan Kebijakan Transportasi dari Kementerian Perhubungan Robby Kurniawan menuturkan, keberadaan BTS mampu mengungkit perpindahan warga dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Dari data hasil survei pelanggan BTS periode 1 Mei-8 Juni 2023 terhadap 20.735 pengguna BTS di 10 kota di Indonesia menunjukkan, 72 persen pengguna kendaraan sepeda motor beralih ke angkutan umum.
Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar 61 persen. Sementara pengguna mobil pribadi yang beralih ke angkutan umum mencapai 23 persen atau naik dari periode yang sama tahun 2022, yakni hanya 5 persen.
Sarana pendukung
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga berpendapat, dalam upaya meningkatkan minat warga untuk beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum tidak hanya cukup sebatas penambahan armada, tetapi juga optimalisasi sarana pendukungnya. Misalnya, pembangunan trotoar yang ramah pejalan kaki.
Sayangnya, pembangunan trotoar di Jakarta belum memiliki pedoman yang jelas. Pedoman yang dimaksud adalah rencana induk fasilitas pejalan kaki yang dituangkan dalam peraturan daerah. Ini penting sebagai tolok ukur pembangunan.
Nirwono berpendapat, selama ini, pemerintah belum memiliki pegangan yang jelas terkait pembangunan trotoar. Semua masih terpaku atas usulan dari suku dinas di masing-masing kota.
”Seharusnya, suku dinas-lah yang harus mengikuti aturan dari pemprov, bukan sebaliknya,” katanya.
APBD bisa dihemat atau dialihkan untuk pembangunan trotoar baru di daerah pinggiran.
Menurut dia, dalam membangun fasilitas umum, seperti trotoar, halte, dan jembatan penyeberangan, orang harus didasari atas satu visi utama, yakni untuk memudahkan warga mengakses angkutan umum atau untuk pengembangan kawasan.
”Jika fasilitas pendukung tidak nyaman bagaimana warga mau beralih ke angkutan umum?” ucapnya.
Nirwono mencontohkan kawasan Sudirman-Thamrin yang memiliki trotoar, JPO, dan halte yang baik. Itu tidak lepas dari terintegrasinya moda transportasi umum baik LRT, MRT, KRL, dan BRT Transjakarta. Sayangnya, mumpuninya, fasilitas umum di pusat kota belum merata hingga ke pinggiran Jakarta.
Jika rencana induk sudah diterbitkan, tentu akan lebih mudah bagi pemerintah menentukan skala prioritas. Selain itu, keberadaan rencana induk juga menjadi landasan bagi pemerintah untuk mengajak pihak swasta berkontribusi dalam pembangunan fasilitas umum di Jakarta melalui skema pungutan penambahan koefisien lantai bangunan (KLB).
Skema ini sudah pernah dilakukan pada masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama. Dengan begitu, pemerintah mengajak serta swasta untuk bertanggung jawab dalam pembangunan kota.
”APBD bisa dihemat atau dialihkan untuk pembangunan trotoar baru di daerah pinggiran,” ujar Nirwono.
Beragam upaya untuk mendongkrak minat masyarakat guna menggunakan angkutan umum harus dilakukan secara cermat dan cepat agar mobilitas warga tidak terganggu akibat gagalnya sistem angkutan di Jakarta. Butuh peran semua pihak untuk mewujudkan kelancaran mobilitas warga Jakarta.