Integrasi Sistem Angkutan Umum di Jakarta Mudahkan Penumpang
Guna mendorong lebih banyak warga menggunakan angkutan umum, perlu ada perencanaan sistem angkutan umum yang terintegrasi, mulai dari ”first miles” hingga ”last miles”, lalu tarif dan sistem informasi juga terintegrasi.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mendorong lebih banyak warga menggunakan angkutan umum, sistem angkutan umum perlu direncanakan lebih terintegrasi. Terintegrasi artinya ada keterpaduan dari aspek antarmoda, rute, jadwal, tarif, hingga sistem informasi untuk memudahkan penumpang bermobilitas dan merencanakan perjalanannya.
Mizandaru Wicaksono, Senior Transport Associate ITDP Indonesia, dalam diskusi ”Urban Transport Talks Seri 2” yang digelar di Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti, Jakarta, Rabu (13/7/2022), mengatakan, sebagai kota metropolitan yang didukung delapan kota dan kabupaten penyangga di sekitarnya, Jakarta memiliki beragam angkutan umum. Hal itu memberikan pilihan bagi warga yang memiliki pola atau kebutuhan perjalanan yang berbeda-beda.
Selama ini, warga dari daerah penyangga di luar Jakarta yang mau menuju kantor atau tujuan lain di tengah kota Jakarta akan berganti moda angkutan publik beberapa kali. Pertama, angkutan dari kawasan permukiman menuju angkutan utama. Kemudian dari angkutan utama menuju titik tujuan.
Untuk angkutan dari titik perumahan menuju angkutan utama, yang kerap terlihat adalah angkutan perkotaan (angkot). Namun, angkot memiliki kecenderungan layanan sering tidak tepat waktu pada saat jam sibuk di pagi hari ataupun sore hari, sementara angkutan utama, seperti bus Transjakarta, MRT, ataupun LRT, juga KRL tepat waktu.
Akibatnya, banyak warga yang lebih memilih naik kendaraan pribadi dibandingkan angkutan umum. Kondisi ini membuat porsi pengguna angkutan umum di Jabodetabek pada 2019 hanya 22 persen.
Mizan melihat, pemerintah sepatutnya membuat perencanaan sistem angkutan umum yang terintegrasi sehingga bisa memenuhi kebutuhan pola perjalanan pengguna yang berbeda. Dimulai dari pelayanan angkutan di titik awal (rumah) menuju angkutan utama atau biasa disebut first miles.
Kemudian pelayanan angkutan utama, baik MRT, LRT, maupun bus Transjakarta. Selain itu, juga layanan pada angkutan dari titik stasiun atau halte akhir menuju tujuan atau disebut last miles.
Integrasi dari setiap moda sebaiknya dibuat dengan memadukan jadwal kedatangan keberangkatan antarmoda. Pelayanan angkutan bisa dibedakan saat jam sibuk, di luar jam sibuk. Untuk kelompok tertentu, juga sebaiknya ditetapkan ada tarif khusus.
Masih terkait dengan sistem angkutan umum, jelas Mizan, untuk mobilitas warga dengan angkutan umum, pasti akan ada jalan kakinya. Hal ini mesti menjadi perhatian juga.
”Untuk itu, kita mesti pastikan jalan kaki itu nyaman dan aman, juga ada fasilitas penerangan dan peneduhan,” kata Mizan.
Adriansyah Yasin, co-founder Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ), dalam kesempatan itu, mengatakan, selain integrasi yang sudah disebutkan tersebut, juga perlu ada integrasi informasi. Sistem integrasi yang terstandar akan memudahkan pergerakan penumpang saat transit.
Yasin mencontohkan, di satu titik transit di Jakarta yang melayani beberapa moda angkutan sekaligus, informasi terintegrasi dengan standar yang baku diperlukan penumpang. Seorang penumpang akan bisa berpindah dengan mudah dari satu moda ke moda lain dengan informasi yang terintegrasi.
”Dengan desain informasi terintegrasi di halte mana pun, kita akan dapatkan informasi yang lebih mudah. Ini akan memudahkan pengguna angkutan umum untuk menggunakan angkutan umum dan mendorong orang menggunakan angkutan umum,” ujar Yasin.
Baik Mizan maupun Yasin sepakat, untuk mendorong angkutan umum yang berkelanjutan, perencanaan sistem angkutan yang terintegrasi secara konsisten dari sejak first miles hingga last miles sangat diperlukan, didukung dengan sistem informasi terintegrasi. Kemudian kolaborasi dari semua pihak untuk mendukung sistem angkutan yang terintegrasi diperlukan untuk mendapatkan tujuan.