Dua Sisi Rencana Reaktivasi Transjakarta Rute S41 Pondok Cabe-Lebak Bulus
Angkutan umum yang nyaman masih jadi angan bagi warga di kota-kota tetangga Jakarta.
Rencana pengoperasian Transjakarta rute S41 Pondok Cabe ke Lebak Bulus dinantikan warga yang mendamba angkutan umum yang nyaman. Namun di sisi lain, sopir angkutan kota yang dilalui rute itu khawatir pendapatan mereka berkurang. Perlu ada solusi untuk menjawab harapan warga maupun kekhawatiran sopir angkutan kota itu.
Transjakarta berencana mengoperasikan armadanya untuk melayani rute S41 Pondok Cabe ke Lebak Bulus mulai Senin (4/3/2024). Namun, rencana itu ditunda dengan alasan belum keluar izin dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
Rute baru ini merupakan reaktivasi dengan penyesuaian trayek dari Pondok Cabe ke Tanah Abang. Trayek itu berhenti melayani penumpang seiring protes dari sopir angkutan kota (angkot) 106 Parung ke Lebak Bulus pada tahun 2019 silam.
Selama ini, warga di rute tersebut hanya punya dua pilihan angkot untuk sampai ke Lebak Bulus. Angkot 106 dan D15 dengan rute dari Pamulang ke Lebak Bulus. Selebihnya menggunakan kendaraan pribadi atau ojek daring.
Baca juga: Transjakarta Masih Tuntaskan Hambatan Dua Rute Baru
Selasa (5/3/2024) siang, Kompas menjajal angkot 106 setelah turun dari MRT Jakarta di Stasiun Lebak Bulus. Angkot ini ngetem bersama D15 dan bus kota, tak jauh setelah lokasi halte Transjakarta.
Wawan (65), sopir angkot, sudah ngetem selama satu jam lebih. Dia menyebut kata Parung kepada setiap orang yang lewat di trotoar dekat angkot parkir.
Seorang siswa dan dua warga naik ke dalam angkot. Mereka duduk di deretan kursi bagian belakang. Kemudian berturut-turut naik suami-istri dan dua anak balitanya, dua siswa, dan satu warga lainnya.
Wawan meminta penumpang saling menyesuaikan posisi duduk agar pas. Sebelum melaju, ia mengencangkan pintu penumpang bagian depan. Pintu sisi kiri itu tidak tertutup sempurna karena termakan usia sehingga harus ditutup dengan tarikan kencang. ”Maklum angkot sudah tua, 20 tahun,” ujar Wawan.
Siang itu, angkot membelah jalanan yang padat hingga macet di beberapa lokasi. Teriknya matahari membuat peluh bercucuran dari kening hingga mata terasa perih kemasukan keringat.
Wawan hanya tertawa menyaksikan hal itu. Dia sudah terbiasa dengan kemacetan dan panas karena delapan kali pergi pulang dengan penumpang setiap hari.
Kemacetan selalu terjadi saat jam berangkat dan pulang kerja. Selanjutnya saat orangtua menjemput anak sekolah lantaran terbatasnya parkir mobil di sekolah maupun sekitarnya. Jika sudah macet, Wawan dan sopir angkot lainnya akan menerobos lajur yang kosong. Kuping dan muka mereka sudah tebal dari umpatan pengendara lain.
Penumpang hanya diam saja setiap kali angkot menerobos lajur yang kosong. Mereka juga tak mengeluhkan panasnya angkot, kursi yang keras seperti kayu, dan ketidaknyamanan lain di angkot. ”Sudah biasa begini. Yang penting sampai tujuan,” kata Yahya (38), salah satu penumpang.
Yahya hampir setiap hari naik angkot 106. Dia merogoh kocek Rp 16.000 untuk pergi pulang. Jumlahnya lebih murah ketimbang naik ojek daring yang mencapai Rp 50.000.
Tarif angkot 106 bervariasi. Anak sekolah biasanya membayar Rp 2.000 atau Rp 5.000, sedangkan penumpang dewasa Rp 8.000 atau Rp 10.000 untuk sekali jalan.
Nyaman
Sejauh ini angkutan umum yang nyaman masih sebatas angan bagi Yahya dan penumpang lainnya. Mereka ingin paling tidak angkot di wilayah tetangga Jakarta bisa seperti angkot Jaklingko yang melayani beberapa rute dari Lebak Bulus.
Yahya, misalnya, mendambakan angkot yang bersih dan kursinya empuk. Dia tak ingin muluk-muluk, seperti angkot tepat waktu di saat kondisi kemacetan di trayek Parung ke Lebak Bulus yang sulit terurai, atau penerapan pembayaran dengan kartu uang elektronik karena banyak penumpang belum punya kartu uang elektronik.
Baca juga: Siasat Hemat Kelas Menengah, Rela Macet dan Berdesakan di Transportasi Publik
Davina (28), penumpang lain, juga mendambakan angkutan umum yang nyaman. Mulai dari peremajaan angkot sehingga tak cemas ketika melaju di jalanan hingga penumpang tak berdesak-desakan. ”Mau mengomel, tapi hanya ada ini (angkot). Mudah-mudahan angkot bisa terintegrasi dan jadi bagus kayak Jakarta,” ucap Davina.
Silang pendapat
Berbeda dengan warga yang mendamba angkutan umum nyaman, sejumlah sopir khawatir pendapatannya berkurang jika Transjakarta mengoperasikan rute Pondok Cabe ke Lebak Bulus.
Agus (33), sopir lainnya, mengandalkan penumpang yang turun dari MRT Jakarta dan Transjakarta. Sementara ojek daring merupakan saingan bagi penumpang yang buru-buru atau ingin cepat melewati kemacetan.
Rata-rata dalam sehari pendapatan kotornya Rp 300.000. Uang itu lantas dikurangi Rp 100.000 untuk setoran, retribusi Rp 3.000, dan BBM Rp 100.000 sampai Rp 150.000. ”Makanya lama ngetem. Tunggu penumpang MRT Jakarta dan Transjakarta turun,” ucap Agus.
Agus khawatir pendapatannya tergerus Transjakarta jika rencana pengoperasian rute S41 Pondok Cabe ke Lebak Bulus. Kekhawatiran ini sama seperti kejadian tahun 2019. Sopir angkot juga ogah-ogahan masuk ke Terminal Pondok Cabe. ”Tidak strategis. Jauh dari jalan. Mana ada penumpang (sedikit),” kata Agus.
Lokasi Terminal Pondok Cabe sekitar 500 meter dari jalan raya. Saat melihat terminal Selasa siang, terpantau hanya satu angkot yang masuk dan keluar dari terminal karena tidak ada penumpang.
Ipei (42), sopir lain, juga menyampaikan hal senada. Kekhawatiran pendapatannya akan berkurang menjadi alasan ia tidak setuju dengan pengoperasian rute Transjakarta dari Pondok Cabe ke Lebak Bulus.
”Makin ramai kendaraan. Makin macet. Jadi adu-aduan,” kata Ipei yang meyakini masuknya Transjakarta akan menambah kemacetan dan terjadi rebutan penumpang dengan angkot.
Kebutuhan
Transjakarta mencatat 8.000-10.000 penumpang setiap bulan menggunakan layanan dari Pondok Cabe ke Tanah Abang. Artinya, ada potensi yang cukup besar dengan 260-330 pengguna setiap hari.
Ketua Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta Yusa Cahya Permana mengingatkan bahwa yang dibutuhkan dalam aktivasi rute Transjakarta adalah kerja sama dan kesadaran semua pemangku kepentingan bahwa ada kebutuhan untuk melayani warga. Jadi, aktivasi rute seharusnya dipermudah, bukan dipersulit. ”Jika ditemukan kendala sebaiknya diselesaikan hingga akar masalah,” ujar Yusa.
Rute Pondok Cabe ke Tanah Abang dan kini Pondok Cabe ke Lebak Bulus, misalnya, timbul tenggelam. Menurut Yusa, bukan karena tidak ada penumpang, tetapi ada masalah nonteknis.
”Disebut masalah nonteknis karena lintas provinsi memang layak ada payung legal dari BPTJ untuk mengurangi potensi masalah di lapangan,” ucap Yusa.
Contoh lainnya, rute 10M Pulogadung ke Kantor Wali Kota Jakarta Utara via Tipar Cakung yang beroperasi mulai Kamis (22/2/2024), diprotes para sopir angkot. Mereka berunjuk rasa di Tipar Cakung, Jumat (23/2/2024).
Yusa mengatakan, rute ini merupakan reaktivasi dan penyesuaian rute metromini. Bedanya, dulu tidak ada masalah seperti sekarang. Artinya, patut dipertanyakan ada apa sebenarnya.
”Apakah karena tarif terlalu murah sehingga membuat operator swasta takut atau hal lain. Ini harus dijawab hingga akar masalah agar tidak berulang,” kata Yusa.
Satu catatan darinya, koordinasi dengan BPTJ sudah cukup baik sebenarnya. Namun, masih ada kendala komunikasi antara Jakarta dan tetangganya di Bodetabek dengan pemangku kepentingan terkait.