Siasat Hemat Kelas Menengah, Rela Macet dan Berdesakan di Transportasi Publik
Transportasi publik menjadi pilihan sebagian masyarakat kelas menengah Indonesia yang ingin berhemat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biaya transportasi ideal menurut Bank Dunia adalah 10 persen pendapatan bulanan. Namun, masih banyak penduduk kelas menengah Indonesia yang mengeluarkan biaya transportasi melebihi batas ideal tersebut. Demi menghemat pengeluaran, mereka rela menembus macet dengan motor pribadi hingga berjibaku dengan transportasi umum yang penuh sesak.
Karyawan swasta Dito Imbang Irawan (29) menghabiskan waktu 1,5 jam untuk berangkat dari rumahnya di Depok menuju kantornya di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Ia lebih dulu naik mobil pribadi dengan istrinya yang bekerja di kawasan Ragunan, Jakarta Timur, kemudian naik bus Transjakarta selama 30 menit ke Jakarta Barat. Tarif sekali naik bus Rp 3.500.
Dito butuh waktu 2,5 jam untuk pulang. Perjalanannya dimulai dengan naik bus Transjakarta dari Tanjung Dureng ke Cawang, Jakarta Timur, dengan tarif Rp 3.500. Setelah itu ia naik kereta rel listrik (KRL) dari Stasiun Cawang menuju Stasiun Depok Baru dengan tarif Rp 3.500. Perjalanannya berlanjut dengan menumpang angkot ke rumah dengan tarif Rp 6.000.
”Biaya transportasi berkisar Rp 2 juta-Rp 2,3 juta per bulan. Itu sudah dengan uang bensin mobil,” kata Dito, di Jakarta, Senin (26/2/2024). ”Biaya transportasi 30 persen dari penghasilan (bulanan) saya,” ucapnya.
Opsi ini sudah paling hemat bagi Dito. Ia pernah mengendarai mobil pribadi dari rumah ke kantor yang ternyata memakan ongkos lebih mahal. Bensin mobilnya cepat habis lantaran Dito kerap terjebak macet. Selain lebih mahal, mengendarai mobil sendiri pun membuat bapak satu anak ini kelelahan.
”Saya enggak sanggup bawa kendaraan sendiri. Kita sudah capek dan lelah di kantor, terus harus pulang bawa kendaraan sendiri. Itu makan tenaga banget. Kalau dapat kursi di transportasi umum, setidaknya kita bisa duduk dan istirahat. Tapi, kadang KRL penuh dan saya harus menunggu kereta selanjutnya,” tutur Dito.
Baharuddin (20), warga Tanah Abang, Jakarta Pusat, pun menggunakan transportasi publik untuk ke tempat kerjanya di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam sehari ia membayar Rp 10.000-Rp 15.000. Dengan begitu, gaji bulanannya Rp 5,1 juta miliknya tak lekas habis.
”Pengeluaran di transportasi bisa ditekan. Tapi, pakai transportasi publik di Jakarta capek dan stres loh karena macetnya. Kalau masuk pagi itu, menderita banget. Sampai kantor sudah habis energi,” kata Bahar.
Sementara itu, Yudi Mulyanto (32), karyawan swasta di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, memilih menggunakan sepeda motor dari rumahnya di Cilincing, Jakarta Utara, untuk bepergian sehari-hari. Ia malas menggunakan transportasi publik karena macet. Akses menuju halte pun jauh dari rumahnya.
”Sama-sama rugi, sama-sama kena macet juga. Cuma kalau motor bisa menyalip kanan-kiri, tapi bensin memang boros. Seminggu bisa habis Rp 200.000 lebih kurang,” katanya.
Biaya transportasi besar
Liputan Jurnalisme Data Harian Kompas, Senin (26/2/2024), mencatat ada tiga pengeluaran teratas kelompok calon kelas menengah (aspiring middle class) dan kelas menengah (middle class) adalah pembelian kendaraan pribadi (mobil/sepeda motor), sewa/kontrak rumah, dan pembelian BBM. Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menganalisis berdasarkan data mikro Konsumsi/Pengeluaran Makanan dan Bukan Makanan dan Pendapatan Rumah Tangga Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2021.
Setiap bulan, keluarga calon kelas menengah menghabiskan Rp 1,58 juta untuk membayar cicilan kendaraan bermotor, Rp 504.822 untuk sewa/kontrak rumah, dan untuk membeli bensin Rp 228.378.
Kita sudah capek dan lelah di kantor, terus harus pulang bawa kendaraan sendiri. Itu makan tenaga banget. Kalau dapat kursi di transportasi umum, setidaknya kita bisa duduk dan istirahat.
Adapun kelompok kelas menengah mengeluarkan uang dua kali lipat lebih banyak. Mereka membayar Rp 5,89 juta per rumah tangga untuk kendaraan bermotor per bulan. Tiap-tiap keluarga juga mesti menyisihkan Rp 1,01 juta setiap bulan untuk sewa/kontrak rumah dan Rp 505.620 untuk membeli BBM.
Menurut Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno, masyarakat yang menggunakan angkutan umum bisa menghemat biaya transportasi hingga 50 persen per bulan. Untuk itu, dibutuhkan layanan angkutan umum yang mudah diakses, bertarif murah, aman, dan nyaman.
”Lebih dari 50 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan dan hampir 60 persen PDB (pendapatan domestik bruto) berasal dari kota,” kata Djoko. ”Motorisasi dan pertumbuhan cepat kendaraan pribadi berdampak pada kemacetan, keselamatan jalan, emisi lokal, dan global,” katanya.
Adapun kemacetan kerap jadi kendala publik, kerugian akibat kemacetan di Jakarta, misalnya, mencapai Rp 65 triliun per tahun. Sementara kemacetan di Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, dan Makassar mencapai Rp 12 triliun per tahun. besaran angka itu sudah melebihi APBD kota-kota tersebut.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, kecepatan rata-rata kendaraan dan angkutan umum perkotaan pada jam puncak kemacetan di semua jaringan jalan adalah 30 kilometer (km) per jam, bahkan jika terjadi kemacetan parah hanya bisa 20 per jam.
Adapun masyarakat menengah ke bawah menghabiskan 25-30 persen dari pendapatan per bulan untuk biaya transportasi. Sementara standar Bank Dunia merekomendasikan maksimal persentase biaya transportasi sebesar 10 persen dari pendapatan.
”Kawasan perumahan yang dibangun tanpa disertai layanan angkutan umum akan memberatkan kelompok pekerja berpenghasilan menengah ke bawah,” ucap Djoko.