Aku Punya Tabungan, maka Aku Aman
Kelas menengah tak harus menunggu bergaji tinggi untuk menabung. Berapa pun sisa gaji, simpan saja ke tabungan.
Katanya, memiliki tabungan adalah sebuah keniscayaan. Namun, bukan perkara mudah bagi sebagian kelas menengah menyimpan sisa gaji ke tabungan. Alih-alih bersisa, pendapatan justru habis untuk menyambung hidup. Tak sedikit yang berupaya keras untuk bisa menabung dengan tidak berbelanja, hingga harus menambah sumber pemasukan.
Secangkir cokelat panas menjadi teman ngobrol Arin Setiawan (24), buruh pabrik di Jayapura, Papua. Obrolan tentang memaknai uang ini tidak berlangsung di kafe mewah, melainkan di warung kopi pinggiran kawasan Kotaraja, Jayapura, (29/1/2024) malam.
”Sejak kecil saya memang terbiasa hidup hemat. Apalagi, sekarang ada target ke depan. Jadi, harus bisa semakin menahan diri untuk segala hal yang tidak terlalu penting. Intinya, sederhana saja,” ujarnya.
Ungkapan sederhana yang dimaksudnya tergambar malam itu. Biasanya ia akan memilih makanan dan minuman dengan harga terjangkau. Kali ini, ia memesan minuman cokelat seharga Rp 7.000 per cangkir. Pun dengan penampilan, ia lebih memilih setelan pakaian merek lokal dengan harga terjangkau pula.
Baca juga: Kelas Menengah Indonesia Sulit Menjadi Kaya
Wajahnya tampak lelah setelah seharian bekerja. Sesekali dia menengok dua ponselnya yang memiliki kegunaan berbeda. Gawai Android sebagai media komunikasi sehari-hari. Sementara gawai iPhone dengan spek lebih bagus digunakan sebagai salah satu peralatan untuk menunjang pekerjaan videografinya. ”Belum ada laptop, jadi maksimalkan mengedit pakai ponsel saja. Walaupun ini bekas, masih worth it untuk menunjang pekerjaan,” ujarnya.
Selesai menamatkan pendidikan SMA pada 2019, ia lebih banyak berkecimpung sebagai pekerja lepas di bidang videografi. Sejak pertengahan 2023, ia bekerja sebagai buruh pabrik dengan sumber penghasilan tetap.
Di pabrik, dia bekerja dari Senin hingga Jumat pukul 08.00-17.00. Sementara Sabtu, ia masuk kantor setengah hari. Waktu luangnya dia manfaatkan untuk proyek videografi dengan satu atau dua garapan tiap bulan. Pendapatan yang diterimanya dari dua pekerjaan tersebut Rp 2 juta-Rp 5 juta.
Setiap bulan, ia rutin memastikan pengeluaran berjalan sesuai rencana. Pengeluarannya berkisar Rp 1,7 juta-Rp 2 juta per bulan untuk bayar kos, makan, dan kebutuhan keseharian. Sebagian uang ia kirimkan juga untuk ibu yang tinggal berbeda kota dengan dirinya. ”Saya berusaha menabung 40 persen dari pendapatan. Jika ada kebutuhan yang harus dibeli, saya menunda kebutuhan lain. Sehingga, pengeluaran tetap tidak lebih dari 60 persen,” tuturnya.
Arin yakin cara tersebut akan membawanya pada target tabungan rumah dan modal menikah. Seiring waktu, kedisiplinannya berbuah manis. Dia mampu membeli peralatan kamera yang menunjang pekerjaannya.
Di balik itu semua, ada banyak pengorbanan yang harus ia lakukan. Ia rela membatasi berbagai kebutuhan lain, seperti pakaian dan aksesori badan, serta membatasi aktivitas kumpul bersama rekan di tempat umum.
Baca juga : Kelas Menengah Menguras Gaji untuk Mobil dan Rumah
Stigma hidup boros, kesulitan menabung, hingga terjebak utang agaknya melekat pada kelompok kelas menengah. Padahal, belum tentu gajinya digunakan untuk hal-hal konsumtif. Merujuk Bank Dunia, kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran pada rentang 3,5–17 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan. Dalam perhitungan Kompas, pengeluarannya pada kisaran Rp 1,7 juta-Rp 8,2 juta per kapita per bulan.
Berhemat
Hidup di wilayah Indonesia timur sering terdengar sulit. Bagi beberapa orang, kondisi ini justru menjadi berkat karena bisa menekan perilaku konsumtif. Seperti yang dirasakan Ria Tanlain (27), pengelola penginapan keluarga di Maluku Tenggara. ”Setelah pindah (ke Maluku) malah lebih hemat, mungkin karena ini tempatnya kecil dan tidak banyak apa-apa juga, jadi bisa nabung. Membeli barang dari Pulau Jawa juga jarang, ongkos kirim seharga barang. Mahal,” kata Ria, yang pernah merantau enam tahun di Surabaya, Jawa Timur.
Untuk berhemat, dia jarang beli makan di restoran, tetapi memilih memasak di rumah. Ia juga tak banyak bepergian ke luar kota, lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di tempat tinggalnya. Ini sejalan dengan pekerjaan tambahan yang dilakukannya sebagai ilustrator.
Dengan pendapatan hingga Rp 7 juta, dia lebih banyak mengucurkannya pada investasi dan tabungan dengan alokasi 45 persen. ”Menjaga tabungan penting, karena bila ikut tren, tabungan setiap tahun pasti habis,” ucapnya.
Memastikan tujuan
Sebelum menabung, penting untuk memastikan tujuan yang ingin dicapai. Keputusan untuk menabung persiapan haji dilakukan oleh Liana (28), karyawan di Yogyakarta. Setelah mendengar kajian agama pada tahun 2020, dia tergerak untuk mempunyai tabungan haji reguler. Ia membayangkan, jika tahun 2024 mendaftar program haji, maka masa tunggunya sekitar 30 tahun.
Langkah awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan uang setoran awal mendaftar haji sebanyak Rp 25 juta. Ini dituangkan dalam tabungan reksa dana Rp 100.000-Rp 200.000 per bulan. Selain tabungan haji, Liana juga menyiapkan dana darurat dan tabungan nikah meski belum bertemu dengan tambatan hati.
Prinsipnya adalah Liana bakal menekan pengeluaran yang tidak penting. Misalnya, kalau barang masih bisa dipakai, sebisa mungkin tidak beli.
”Karena aku tidak punya uang, makanya harus menabung. Sebenarnya aku agak terlambat untuk mulai, seharusnya menabung itu bisa dilakukan sejak kuliah S-1, ya,” ucap Liana terkekeh.
Sama halnya dengan Zahra (28), warga Klaten, Jawa Tengah, yang menabung dengan tujuan tertentu. Sejak anaknya lahir, dia mulai menyiapkan dana pendidikan anak. Tak muluk-muluk, targetnya adalah bisa mengumpulkan biaya untuk masuk PAUD dan TK. ”Tabungan kalau tidak disiapkan dari sekarang, ujug-ujug kagetlah tiba-tiba pengeluaran uangnya jadi besar banget. Kan, berasa ya,” ujarnya lirih.
Karena aku tidak punya uang, makanya harus menabung.
Sebelum menyiapkan target nominal yang bakal ditabung, dia melakukan survei ke sejumlah sekolah untuk memastikan besaran biaya masuk, kurikulum yang diterapkan, kualitas tenaga pengajar, dan lokasi yang dekat. Saat ini, biaya masuk untuk PAUD dan TK swasta yang menjadi tujuannya sekitar Rp 5 juta. Sementara uang masuk SD swasta berkisar Rp 15 juta-Rp 20 juta.
Baca juga: Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak
Selain bekerja sebagai tutor di sebuah universitas, dia membuka jasa titip belanja (jastip) berupa buku, aksesori anak, dan produk perawatan diri. Ia mencontohkan, ongkos jastip sebuah buku bisa Rp 10.000 per eksemplar. Jika terjual 10 buku, maka keuntungan yang bisa dikantongi Rp 100.000.
”Komitmenku, keuntungan dari jastip pasti aku tabung buat anak. Berapa pun jumlahnya langsung kumasukkan ke rekening khusus. Alhamdulillah sudah lebih, ini bisa buat jenjang selanjutnya,” kata Zahra. Akan tetapi, tidak semua kelompok kelas menengah berkesempatan untuk menabung. Beberapa tak memiliki sisa gaji karena memang habis untuk menghidupi keluarga.
Baca juga : Gaji ”Ngepas”, Anak Muda Jungkir Balik Mengelola Keuangan
Menurut perencana keuangan Nadia Harsya, penting untuk mengetahui tujuan perencanaan keuangan yang sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Hal ini akan memudahkan kelas menengah untuk mencapai target yang ingin dicapai.
Keputusan untuk mulai menabung tidak harus menunggu saat pendapatannya sudah tinggi. Jauh lebih penting adalah membiasakan diri menyisihkan berapa pun sisa gaji yang ada untuk ditabung. Ketika budaya menabung sudah terbentuk, maka peningkatan gaji berapa pun selalu ada yang dialokasikan untuk tabungan.
”Yang tak kalah penting dari mengatur keuangan adalah punya uangnya dulu. Harus mencari tahu bagaimana cara bisa menghasilkan uang, mungkin dari bekerja, berdagang/bisnis, dan ’freelance’. Kalau ternyata belum surplus atau ’boncos mulu’, solusinya adalah ’ngirit’ (berhemat) atau mencari income tambahan,” tutur Nadia.
Yang tak kalah penting dari mengatur keuangan adalah punya uangnya dulu.
Ketika uang sudah digenggam, sebaiknya buat catatan pengeluaran harian secara rutin. Selanjutnya, perhatikan lebih detail pos-pos pengeluaran itu. Jika ada sisa, maka bisa ditabung. Jika sebaliknya, maka harus dilakukan evaluasi. Rupanya memiliki tabungan tak hanya membuat aman, tapi juga lebih tenang.