12 Orang Terlibat Tradisi Perundungan Binus School Serpong
Korban perundungan di Binus School Serpong mengalami kekerasan yang dilakukan oleh 12 orang.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Sebanyak 12 orang terlibat dalam kasus perundungan di Binus School Serpong di Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong upaya diversi bagi anak korban dan anak berhadapan dengan hukum.
Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Tangerang Selatan Ajun Komisaris Alvino Cahyadi mengatakan, dari tahanan penyidikan dan gelar perkara, pihaknya menaikkan status empat saksi menjadi tersangka atas dugaan tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur atau pengeroyokan. Adapun empat tersangka itu E (18), R (18), J (18), dan G (19).
”Jadi, total ada 12 orang, delapan anak berkonflik dengan hukum (ABH) dan empat orang tersangka. Empat orang itu melakukan kekerasan. Satu sudah tidak sekolah lagi di SMA swasta, tiga masih,” kata Alvino saat konferensi pers di Markas Polres Tangerang Selatan, Jumat (1/3/2024).
Polisi menolak mengungkap nama lengkap keempat tersangka kendati mereka sudah berusia di atas 17 tahun.
Dari hasil penyelidikan, lanjut Alvino, kesimpulan dari motif kekerasan atau perundungan di Binus School Serpong, terjadi dua kali peristiwa. Pertama, pada 2 Januari 2024, anak-anak pelaku menjalankan semacam tradisi bagi calon anggota sebagai tahapan untuk bergabung dalam kelompok.
Dalam tradisi untuk bergabung dalam kelompok, korban mendapatkan tindakan kekerasan berupa rambut dijambak, diberi arahan atau instruksi untuk melepaskan celana, dada dicubit, perut dan kepala dipukul, kerah baju ditarik, perut digelitik, kaki ditendang, dan wajah dipukul.
Kedua, pada 13 Februari 2024, para pelaku melakukan kekerasan diduga karena mendapatkan informasi bahwa korban menceritakan kegiatan tradisi pada 2 Februari silam kepada saudaranya.
Ada enam pelaku yang tidak terima dengan anak korban yang menceritakan tradisi kelompoknya itu, lalu melakukan tindak kekerasan. Salah satunya dengan menyudutkan korek yang telah dipanaskan ke tangan kiri korban.
Kekerasan itu terjadi di warung belakang sekolah, Serpong Pos 5, Kelurahan Jalupang, Serpong Utara.
”Awal mula kejadian pada 2 Februari, diduga terjadi kekerasan terhadap anak korban (umur 17, pelajar kelas 1 SMA) oleh 12 orang di TKP. Para pelaku secara bergantian melakukan kekerasan dengan dalih tradisi,” ujar Alvino.
Dalam tradisi untuk bergabung dalam kelompok, korban mendapatkan tindakan kekerasan berupa rambut dijambak, diberi arahan atau instruksi untuk melepaskan celana, dada dicubit, perut dan kepala dipukul, kerah baju ditarik, perut digelitik, kaki ditendang, dan wajah dipukul.
Berdasarkan hasil visum, korban mengalami luka-luka, seperti memar dan luka lecet di leher, luka bekas sundutan rokok pada leher bagian belakang, dan luka bakar pada lengan bagian kiri.
Atas tindakan kekerasan itu, para pelaku dikenai Pasal 76C juncto Pasal 80 UU Nomor 35/2014 atas perubahan kedua UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Para pelaku terancam hukuman paling lama 3 tahun penjara.
Pelaksana Tugas Asisten Deputi Pelayanan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Atwirlany Ritonga melanjutkan, pihaknya akan terus mengawal dan memastikan anak berkonflik dengan hukum dan anak korban untuk mendapat pemulihan serta pendamping.
”Kami mendukung upaya diversi sesuai UU Peradilan Anak karena memang ancaman hukumannya di bawah 7 tahun. Semoga diversi bisa segera dilakukan,” kata Atwirlany.
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur, keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan. Tujuannya ialah menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Adapun diversi diatur dalam Pasal 5 ayat (3), yang menyebutkan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi. Pasal 8 Ayat (1) UU SPPA juga mengatur, proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua atau walinya, korban dan orangtua atau walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Senada dengan Kementerian PPPA, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dyah Puspitarini, mengatakan, pihaknya akan ikut mengawal kasus perundungan, terutama mengenai sistem peradilan anak.
”Jangan sampai ada hak-hak anak yang terabaikan. Kita memiliki kewajiban untuk mengedukasi, mencegah, dan mengampanyekan agar kekerasan ini tidak terulang kembali,” katanya.
Hingga berita ini ditulis, Haris Suhendra dari Hubungan Masyarakat Binus School Education belum merespons atau memberikan jawaban.
Diberitakan sebelumnya, sekolah berkomitmen mendukung transparansi dalam insiden perundungan siswa. Setelah mengetahui insiden tersebut, pihak sekolah melakukan investigasi secara intensif. Pihak sekolah berkomitmen untuk kooperatif membantu segala proses investigasi dari pihak berwajib.
”Semua siswa yang terbukti melakukan tindak kekerasan sudah tidak menjadi bagian dari komunitas Binus School,” kata Haris.
Tidak hanya itu, sejumlah siswa lain yang turut menyaksikan kejadian tersebut tanpa melakukan tindakan pencegahan ataupun pertolongan juga telah mendapatkan sanksi disiplin keras. ”Tidak ada alasan membenarkan segala bentuk kekerasan,” ujarnya.