”Badboy” Jadi Idola dan Perundungan di Sekolah yang Tak Kunjung Berhenti
Dari perspektif remaja, ”badboy” punya banyak nilai. ”Badboy” menjadi karakter yang spesial.
Kasus dugaan perundungan atau bullying oleh siswa Binus School Serpong, Tangerang Selatan, menjadi perhatian publik. Kasus perundungan seperti di sekolah ini kerap terjadi di fasilitas pendidikan lainnya dan belum ada upaya konkret menekan jumlah kasus yang menimbulkan banyak korban.
Jauh sebelum kasus perundungan seorang siswa di Binus School Serpong, Kompas pernah mencatat kasus serupa, salah satunya di SMA Don Bosco Pondok Indah, Jakarta Selatan. Enam pelajar kelas III menganiaya tujuh pelajar adik kelasnya pada Juli 2012.
Baca juga: Siswa Binus School Serpong Dua Kali Alami Perundungan
Ada pula kasus perundungan pada September 2023 yang melibatkan siswa SMP Negeri 2 Cimanggu di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sebuah video yang lantas viral di media sosial menampilkan seorang siswa ditendang, diseret, dipukul, dan diinjak siswa lain.
Pada Juli 2022, F (11) meninggal diduga karena depresi akibat perundungan. F diketahui dipaksa bersetubuh dengan kucing. Tindakan asusila ini direkam, diunggah, dan videonya viral di media sosial. Setelah itu, F menjadi pendiam serta tak mau makan dan minum.
Sejumlah kasus dari tahun ke tahun itu memperlihatkan perundungan selalu terjadi dan belum ada langkah untuk menekan terjadinya perundungan dan korban.
Berdasarkan data yang dihimpun Yayasan Cahaya Guru pada 1 Januari-10 Desember 2023 melalui pemantauan pemberitaan media massa tersertifikasi Dewan Pers, tercatat 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2023.
Dari 136 kasus itu, ada 134 pelaku dan 339 korban, dengan 19 korban di antaranya meninggal. Berdasarkan data itu, kasus perundungan sebanyak 42 kasus, kekerasan seksual 40 kasus, dan kekerasan fisik 34 kasus (Kompas, 18/12/2023).
Data lainnya dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat ada 127 kasus kekerasan di sekolah pada 2021-2023. Rinciannya, ada 7 kasus pada 2021, 68 kasus pada 2022, dan 52 kasus di 2023. Kasus perundungan paling banyak dilaporkan, disusul kasus kekerasan seksual dan intoleransi (Kompas, 31/1/2024).
Pengungkapan kasus
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati mengatakan, masih maraknya kasus perundungan dan terbaru yang terjadi di Binus School Serpong memperlihatkan pendidikan belum bebas dari perundungan dan kekerasan fisik.
Keluarga, lingkungan sosial, sekolah, dan pemerintah harus melihat rentetan kasus perundungan sebagai masalah serius yang harus segera dicari jalan keluarnya. Tidak hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga perlu ada evaluasi menyeluruh terkait dunia pendidikan di Indonesia.
”Untuk kasus di Binus, kami ikut mengawasi. Selain pengungkapan kasusnya, kami juga akan mendampingi korban. Perlindungan kepada korban dan pelaku karena masih anak-anak,” ujar Ai, Selasa (20/2/2024).
Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Tangerang Selatan Ajun Komisaris Alvino Cahyadi mengatakan, pihaknya masih menyelidiki kasus dugaan perundungan siswa Binus School Serpong.
”Orangtua pelaku sudah kami periksa untuk dimintai keterangan terkait perbuatan yang terjadi. Kondisi korban rawat jalan. Usia korban anak di bawah 18 tahun. Dijadwalkan pemeriksaan psikologis terhadap korban,” tutur Alvino.
Dari keterangan sementara, dugaan tindak kekerasan terhadap korban terjadi dua kali, yakni pada 2 Februari 2024 dan 13 Februari 2024. Namun, untuk kepastian kronologi, lanjut Alvino, pihaknya masih akan mendalami keterangan dari saksi ataupun bukti-bukti, salah satunya rekaman video.
”Rencana hari ini (Selasa, 20 Februari) melakukan gelar perkara untuk peningkatan status dari penyelidikan menjadi penyidikan,” katanya.
Baca juga: Binus School Serpong Investigasi Dugaan Perundungan
Corporate Marketing Communications General Manager Binus Group Haris Suhendra mengatakan, dugaan perundungan salah satu siswa menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti. Pihak sekolah telah memanggil pihak-pihak yang terlibat.
”Kami sedang menyelidiki peristiwa ini secara serius dan cepat. Tujuan kami adalah memberikan dukungan kepada korban, menegakkan aturan sekolah, dan mencegah hal serupa tidak terjadi lagi,” ujar Haris.
Haris belum bisa memerinci peristiwa yang terjadi di lingkungan sekolah Binus karena masih dalam proses penyelidikan. Meski demikian, Haris mengatakan, Binus School tidak menoleransi tindak kekerasan dalam bentuk apa pun dan sekolah bertanggung jawab untuk mencegah kekerasan itu.
Bergabung dengan geng itu untuk menancapkan eksistensinya atau bisa ikut populer.
Eksistensi remaja
Psikolog remaja Lucia Peppy saat dihubungi pada Selasa mengatakan, pencarian identitas dan jati diri menjadi fase penting remaja. Ada beberapa aturan yang selama ini wajib dijalankan dengan ketat, lalu seiring usia mereka bertambah ada kelonggaran dari orangtua. Di situ, mereka dihadapkan pada pencarian identitas dengan memprosesnya berdasarkan referensi di luar lingkungan keluarga.
Kehidupan remaja bisa sangat terpengaruh oleh lingkaran pertemanan. Maka, tak heran hingga saat ini geng atau kumpulan beberapa orang masih sangat relevan di sekolah dan di luar sekolah. Dari geng ini mereka ingin terlihat dan mendapat pengakuan sesuai dengan identitas mereka.
”Seperti di lingkungan sekolah, misalnya, ada anak-anak populer atau dikenal luas. Lalu, ini menjadi dorongan bagi para remaja menciptakan identitasnya untuk menjadi terkenal atau bergabung dengan geng itu untuk menancapkan eksistensinya atau bisa ikut populer. Eksistensi, pengakuan identitas ini, sangat penting bagi remaja,” kata Peppy.
Di lingkungan sekolah, lanjutnya, ada anggapan atau pandangan menjadi badboy itu keren meski tidak berprestasi. Pandangan itu terus ada karena tidak lepas dari penerimaan dan stigma sosial yang diterima pelajar bahwa menjadi keren dibuktikan dengan menjadi badboy.
Menjadi seorang badboy artinya ia merasa lebih dalam beberapa hal, dianggap dewasa, pria, berani, dan tampil beda. Dari perspektif remaja, badboy memiliki banyak nilai. Badboy menjadi suatu karakter yang spesial. Pengakuan badboy ini menjadi sebuah norma.
”Kenapa perempuan (remaja) suka badboy. Kenyataan mereka mencari sosok berkarakter seperti itu. Remaja, baik perempuan maupun pria, akan mencari sesuatu yang luar biasa di lingkungan mereka, apalagi jika dia badboy berprestasi akademik dan olahraga,” katanya.
Ada banyak korban, mereka tidak paham bahwa mereka adalah korban bullying.
Dari beberapa kasus dan juga hasil studi, tak jarang ditemukan beberapa remaja akan melakukan apa pun demi bisa masuk dalam lingkaran pertemanan atau geng di lingkungan sosial ataupun sekolah. Hal yang mengerikan, ada perintah untuk mencelakai pihak lain. Ketika perintah itu sudah dilakukan, calon anggota akan diterima.
Dalam usia pencarian identitas, anak-anak remaja ini sering kali tidak jelas dalam melihat dan menyikapi bahwa tindakan yang mereka lakukan bisa dan sudah menyakitkan fisik dan psikis.
”Bahwa yang dialaminya merupakan sebuah perjuangan agar bisa seperti mereka. Kenapa seperti itu karena fokus mereka harus bisa diterima. Ada banyak korban, mereka tidak paham bahwa mereka adalah korban bullying,” ujarnya.
Di sisi orang-orang di dalam geng, mereka tidak sepenuhnya menutup mata bahwa tindakan mereka itu salah dan melanggar. Perkembangan informasi dan teknologi membuat mereka juga belajar untuk mencari cara melindungi diri jika terjerat masalah akibat tindakan mereka.
Menurut Peppy, penanganan di sekolah ataupun keluarga kerap melupakan intervensi pendekatan psikologis untuk mencari tahu apa yang diinginkan dan dibuktikan anak. Penanganan selama ini lebih kepada hal normatif, yaitu menyalahkan dan mengatakan tindakan menyimpang anak merupakan hal tidak benar dan melanggar.
”Cara normatif ini kadang tidak mempan untuk mereka. Perlu pula ada pendidikan tentang pengelolaan emosi dan mengerti cara menyalurkan energi negatif ke positif,” katanya.