Pro-Kontra Warga jika Tarif KRL Jabodetabek Dinaikkan
Sejumlah penumpang merasa terbebani jika tarif KRL Jabodetabek dinaikkan.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan bersama pihak PT Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter masih membahas penyesuaian tarif KRL Jabodetabek yang memungkinkan adanya kenaikan tarif pada tahun ini. Namun, sejumlah penumpang merasa terbebani jika tarif KRL Jabodetabek dinaikkan.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati mengatakan, terkait potensi kenaikan tarif KRL masih dalam pembahasan internal bersama para stakeholders. ”Nanti pada saatnya akan kami sampaikan kepada masyarakat,” katanya saat dikonfirmasi, Kamis (29/2/2024).
Sebelumnya, Direktur Utama PT KAI Commuter Asdo Artriviyanto sempat menyampaikan soal wacana kenaikan tarif KRL pada Kamis (11/1/2024) lalu. Saat itu, ia mengatakan, pihaknya menunggu kebijakan Kemenhub terkait tarif KRL yang memang tidak naik sejak 2016.
Adapun hingga saat ini, tarif KRL ditentukan secara progresif. Tarif terdiri dari dua komponen, yaitu tarif dasar untuk 25 kilometer (km) dan tarif lanjutan progresif setiap 10 kilometer. Sejauh ini tarif dasar 25 km pertama adalah Rp 3.000. Jika penumpang menggunakan layanan KRL lebih dari 25 km akan dikenakan tarif lanjutan Rp 1.000 per 10 km.
Perjalanan tarif KRL ini dimulai pada 2013. Saat itu, tarif perjalanan pada lima stasiun pertama Rp 3.000 dan per tiga stasiun berikutnya naik Rp 1.000. Kemudian, pada 2015, tarif 25 km pertama Rp 2.000 dan setiap 10 km berikutnya ada penambahan Rp 1.000.
Pada tahun 2016, tarif KRL 25 km pertama Rp 3.000 dan setiap 10 km berikutnya ada penambahan Rp 1.000. Tarif terjauh Rp 12.000. Lalu, pada 2017, tarif KRL 25 km pertama tetap Rp 3.000 dan tambahan tarif setiap 10 km berikutnya tetap Rp 1.000. Namun, tarif terjauh Rp 13.000 yang dikaitkan perluasan jangkauan layanan hingga ke Stasiun Rangkas Bitung.
Dari data tersebut, terlihat tarif dasar KRL Jabodetabek tidak berubah sejak 2016. Di sisi lain, rata-rata upah minimum regional Jabodetabek mengalami penyesuaian atau kenaikan setiap tahunnya.
Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Aditya Dwi Laksana berpendapat, penyesuaian tarif KRL Jabodetabek sebenarnya memang dapat dilakukan.
Aditya menjelaskan, penyesuaian tarif diperlukan untuk mengurangi beban pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, anggaran negara sejauh ini sudah cukup terbebani oleh skema subsidi atau public service obligation (PSO) untuk operasional KRL Jabodetabek.
Menurut dia, dana subsidi tersebut sebaiknya dikurangi dan dialokasikan pada moda transportasi lain, terutama di wilayah dengan upah minimum lebih kecil dibandingkan Jakarta dan sekitarnya. Ia mencontohkan dana subsidi KRL Jabodetabek dapat dialihkan ke KRL Jogja-Solo yang tingkat pendapatan masyarakatnya lebih rendah dibandingkan dengan Jakarta.
”Rencana usulan kenaikan tarif yang beredar juga sebenarnya per kilometer tidak terlalu besar,” kata Aditya.
Pro-kontra
Warga Depok, Rini Fitrasari (26), setuju jika ada kenaikan tarif KRL Jabodetabek asalkan ada perbaikan fasilitas. Menurut dia, jumlah moda transportasi tersebut perlu segera ditambah agar penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama.
Warga Jakarta Pusat, Yosvita (22), sependapat bahwa kenaikan tarif KRL berkorelasi dengan peningkatan layanan dan fasilitas kereta komuter. Meski demikian, ia menilai, warga dengan ekonomi lemah masih memerlukan subsidi.
”Karena jika katakanlah naik hingga Rp 2.000, sebagian warga pasti akan merasa terbebani. Apalagi jika mereka hanya menggunakan KRL dengan jarak terdekat,” ujarnya.
Terlebih kalau mereka (penumpang) cuma naik sebentar, tapi tarifnya besar, pasti tidak mau.
Musfida Zulfah (27), sesama warga Jakarta Pusat, tegas menyatakan keberatan dengan kenaikan tarif KRL Jabodetabek. Menurut dia, tarif Rp 3.000 untuk 25 km pertama sudah pas.
Zulfah menggunakan KRL Jabodetabek sebagai moda transportasi sehari-hari, yakni naik dari Stasiun Sudirman dan turun di Stasiun Tanjung Barat. Jarak dari rumahnya di Stasiun Sudirman masih 3 kilometer. Biasanya, ia diantarkan suaminya atau kadangkala naik ojek daring ke stasiun.
”Akan semakin mahal pengeluaran sehari-hari. Kalau pulang-pergi berarti tarifnya dua kali naik,” kata perempuan yang gaji perbulannya UMP Jakarta ini.
Seperti halnya Zulfah, Aryo (32) tidak setuju tarif KRL langganannya naik. Warga Jakarta Selatan ini menilai, kenaikan tarif KRL Jabodetabek dapat membuat sejumlah penumpang beralih ke transportasi pribadi, termasuk dirinya.
”Terlebih kalau mereka (penumpang) cuma naik sebentar, tapi tarifnya besar, pasti tidak mau,” ujar Aryo.
Adapun saat ini, volume tertinggi harian KRL Jabodetabek tercatat pada 13 Februari 2024 sebanyak 1.005.819 orang. Adapun rata-rata volume pengguna KRL Jabodetabek pada Januari dan Februari 2024 sebesar 916.101 orang saat hari kerja dan 726.192 orang saat akhir pekan.
Volume pengguna KRL Jabodetabek mencapai 290 juta penumpang sepanjang 2023 dengan rata-rata volume pengguna KRL Jabodetabek sebesar 870.782 orang saat hari kerja Senin hingga Jumat dan sebesar 656.935 orang saat akhir pekan.
Berdasarkan hasil survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)-Badan Kebijakan Transportasi (BKT) pada 2021, penumpang KRL Jabodetabek yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 4 juta sebanyak 56,06 persen. Mereka mayoritas bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan paling tinggi Rp 4 juta.